5. KESEMPATAN DAN ANCAMAN

2457 Words
Sebelumnya, saat Rayhan tiba-tiba memberinya beberapa kamera pengawas, Airin sempat dilanda kebingungan. Ia langsung bertanya dan terus saja mengajak Rayhan berdiskusi. Meminta pendapat sang adik sepupu, cara apa yang sebenarnya tepat untuk menjebak Athar agar masuk ke dalam perangkapnya. Sungguh, Airin sama sekali tidak pandai untuk urusan seperti ini. Dirinya gugup sekaligus khawatir kalau-kalau apa yang sudah direncanakan jadi gagal dan malah tidak membuahkan hasil apa-apa. "Seharusnya untuk urusan beginian, Kak Airin itu diskusinya sama Ashraf. Dia cukup ahli soal jebak menjebak musuh atau menyelesaikan masalah tanpa harus keluar banyak tenaga." Airin pun sebenarnya berpikir demikian. Selama ini, baik urusan keluarga atau apa pun itu yang menyangkut masalah pekerjaan, selalu Ashraf yang maju untuk menyelesaikan. Pria itu selalu berhasil menghandle masalah hingga akhirnya bisa teratasi dengan baik. "Masalahnya, dari awal kakak udah abaikan peringatan Ashraf, Ray. Asal tau aja, dulu dia satu-satunya orang yang nggak setuju kakak nikah sama Athar." Rayhan langsung tertawa. Paham sekali dengan posisi Airin saat ini. Kalau dirinya jadi Ashraf pun akan melakukan tindakan yang sama. Sudah diperingatkan tapi nggak dengar. Giliran benar kejadian, baru menyesal yang sebenarnya tiada guna. "Mau ngatain ini ketulah, tapi lebih tua kak Airin dari pada Ashraf. Ya sudah, terima nasib aja lah, Kak." "Ya kalau kakak ngomong atau cerita masalah ini, yang ada Ashraf bakal langsung bunuhh Athar karena sudah jelas-jelas mengkhianati kakak." "Kenapa nggak dibiarin aja, Kak?" tanya Rayhan kemudian. "Toh, pengkhianat perlu dikasih pelajaran, kan?" "Betul," angguk Airin setuju. "Tapi, bukan dengan cara dihajar sampai babak belur. Kakak maunya pakai cara yang jauh lebih elegan buat kasih pelajaran ke orang-orang yang sudah mengkhianati kakak." Rayhan berusaha memaklumi. Lagi pula, setiap orang punya masing-masing cara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. "Terus, ini kakak maunya gimana?" Airin kembali diam. Bukan karena tidak bisa menjawab. Hanya berpikir sebentar. Meyakinkan dirinya harus menggunakan cara apa untuk menjebak Athar dan Nonie agar perselingkuhan keduanya bisa ia ungkap tanpa ada lagi yang bisa mengelak. "Menurutmu, gimana kalau kakak pergokin mereka berdua saat kencan di hotel, akhir pekan nanti." "Maksudnya, Kak Airin mau buntutin Kak Athar dan Nonie saat pergi ke hotel?" Airin mengangguk. Menurutnya, hanya itu satu-satunya cara untuk menangkap basah sang suami kalau selama ini terlibat perselingkuhan dengan wanita lain di belakangnya. "Kakak bakal berusaha cari tau hotel mana yang bakal mereka pakai untuk bertemu. Nanti, kakak bakal buntutin. Dan setelah di tkp, langsung aja grebek mereka berdua." Rayhan tertawa mendengar penjelasan Airin. Sebagai orang yang awam, ia maklumi saja rencana yang disusun kakak sepupunya tersebut. "Gini deh, Kak. Aku ajarin cara yang lebih masuk akal dan menurutku lebih nendang buat kak Airin eksekusi." "Emangnya kamu punya rencana gimana?" Rayhan lantas berpindah posisi duduk. Mendekati Airin, kemudian mulai memberikan penjelasan sedetail mungkin. Berharap, apa yang ia sampaikan membuka jalan pikiran sang kakak sepupu. "Barusan, aku kasih kakak tiga kamera mini untuk mengawasi gerak gerik kak Athar. Kamera tersebut, bisa aja kakak pasang di tempat-tempat yang memungkinkan beliau berinteraksi dengan Nonie. Misalnya, di ruang kerja. Di kantor, atau bahkan di kamar kak Airin sendiri." "Bentar, Ray!" sela Airin. Ada satu hal yang membuatnya langsung mengajukan pertanyaan. "Taruh kamera pengawas ini di kamar? Maksudmu kamar yang kakak dan Athar selama ini gunakan?" Rayhan mengangguk. "Begini, Kak. Sebelumnya, Kak Airin cerita kalau Nonie ngajak Kak Athar akhir pekan ini buat ketemuan di hotel karena pengen kencan dan merayakan ulang tahun Nonie, kan?" "Iya. Kakak dengar sendiri kok." "Okay," sahut Rayhan lagi. "Menurutku, ketimbang Kak Airin yang repot terus cape-cape buntutin mereka berdua. Dan lagi, untuk urusan grebek orang di hotel butuh prosedur yang panjang. Terlebih, kak Airin kudu bawa serta polisi segala macam, kenapa nggak kakak kasih umpan aja biar Kak Athar bawa Nonie ke rumah kalian berdua?" Airin mengerjap. Pelan-pelan berusaha mencerna apa yang baru saja Rayhan jelaskan kepadanya. Ini gimana bisa mengatur Athar agar membawa Nonie ke kediaman mereka. "Gimana caranya, Ray." "Simple nya, buat aja kesan seolah-olah weekend besok kakak yang bakalan nggak ada di rumah. Pancing kak Athar dengan membuat kesan kalau melakukan tindak perselingkuhan di rumah kalian lebih aman ketimbang dia ketemu sama Nonie di luaran sana." Untuk kesekian kalinya, Airin diam lagi. Berusaha berpikir cepat, lalu tak lama wanita itu mengangguk paham. Dasarnya memang pintar, ia mengerti apa yang Rayhan maksudkan barusan. Kenapa nggak kepikiran juga dari tadi. "Ah, kakak paham. Kakak buat aja skenario seolah-olah besok nggak ada di rumah untuk beberapa hari. Terus, buat juga para ART untuk berkegiatan di luar. Jadi, Athar bakal ngira kalau rumah dalam kondisi aman terkendali untuk dia bawa Nonie kencan. Gitu kan maksudmu?" Rayhan menjentikkan jarinya ke udara. Senang karena Airin bisa menangkap apa yang sudah dirinya maksudkan. Kalau gini kan enak diskusinya jadi nyambung. "Kalau kak Athar melakukan perselingkuhan di rumah, kan kak Airin bisa lebih mudah mergokinnya. Yang jadi masalah nanti, Kak Airin sanggup atau nggak lihatnya." Airin menarik napasnya berulang kali. Bertanya juga pada diri sendiri, sudah siapkah hatinya untuk kembali melihat Athar melakukan pengkhinatan di depan matanya sendiri. "Siap nggak siap. Harus siap, Ray." "Terus, kalau udah ketahuan, Kak Airin mau ngapain coba?" "Seperti ucapan kak Airin sebelumnya, kakak bakal kasih pelajaran dan kesempatan. Kakak tahu mungkin kamu anggap kakak bodoh dan naif. Tapi, sekali lagi kakak nggak rela rumah tangga yang susah payah kakak bangun, harus hancur gitu aja." "Semua keputusan ada di tangan Kak Airin." "Tapi, Ray. Kalau ternyata rencana ini nggak berhasil gimana? Maksud kakak, kalau ternyata saat kakak pergi si Athar tetap nggak bawa Nonie ke rumah, kakak harus gimana?" "Tenang, Kak. Berdoa aja rencana ini berhasil. Kalau pun meleset, kita bakal jalankan rencana cadangan. Yang penting sekarang, yakin aja dulu." Itu sebabnya, Airin berpura-pura mengatakan kalau dirinya ada tugas ke luar kota padahal saat ini ia tengah menginap di salah satu apartemen miliknya. Pun demi membuat Athar lebih leluasa dan menganggap situasi semakin aman, Airin juga sengaja meliburkan dua asisten rumah tangganya dengan mengatakan kalau mereka dipinjam sebentar oleh sang ibu yang tengah butuh bantuan. Selama ini, rumah Airin sendiri sebenarnya sudah di lengkapi CCTV. Tapi, seperti kata Rayhan juga, bisa jadi Athar mematikan sebentar kamera pengawas tersebut. Atau pun kalau perbuatan terlarang mereka sampai terekam, Athar pasti tidak bodoh dengan membiarkannya begitu saja. Karena hal ini juga, gunanya Rayhan memberikan Airin kamera pengawas dengan bentuk mini. Sehingga bisa ditaruh di beberapa titik atau tempat-tempat tersembunyi dan bisa merekam secara jelas apa yang Athar lakukan sepeninggalan Airin. Dari kamera pengawas yang sempat ia sembunyikan di beberapa titik tertentu, Airin dapat melihat apa saja kegiatan yang Athar lakukan di rumah mereka. Untuk malam harinya, menurut Airin kondisi Athar masih aman terkendali. Berbeda jelas dengan apa yang terjadi di keesokan harinya. Sambil menikmati teh yang ia sengaja buat, Airin melihat bagaimana Athar saat itu tengah duduk di ruang televisi. Hingga tak berapa lama, ia mendapati sang suami menerima tamu yang tak lain adalah Nonie. Detik itu juga detak jantung Airin berpacu dua kali lebih cepat. Hatinya sakit sekaligus nyeri tatkala melihat Nonie yang begitu datang tau-tau langsung memeluk bahkan dengan tidak sabarannya melabuhkan ciuman ke bibir sang suami. Menarik napasnya dalam-dalam, sambil terus memerhatikan apa yang tersuguh di layar ponsel, Airin menghubungi Rayhan. Ia pikir, tidak bisa kalau harus melakukan ini sendiri. Airin meyakini dirinya butuh seorang pendamping. Itu sebabnya, ia membuat janji untuk bertemu Rayhan lima belas menit lagi di kediamannya. Setelah itu, Airin gegas memilih untuk segera berangkat pulang menuju rumah. Dari depan kediamannya, Airin menunggu beberapa saat di dalam mobil sampai akhirnya Rayhan benar-benar datang menyusul. Dengan perasaan hati tercabik-cabik, Airin menunjukkan apa yang kini terlihat di layar ponselnya kepada sang adik sepupu. "Mereka berdua ada di kamar, Ray. Kakak rasa nggak sanggup liat kelakuan Athar dan Nonie sekarang." Rayhan lantas mengambil segera ponsel yang Airin pegang sebelumnya. Dalam rekaman kamera pengawas yang kebetulan sangat pas dipasang oleh Airin, Rayhan bisa melihat bagaimana saat ini Nonie dan Athar yang sedang berada di kamar, bahkan di atas ranjang dalam keadaan tanpa busana. "Ya Tuhan. Ayo kak, buruan masuk. Ini, mumpung mereka berdua belum ke surga, kak Airin seret aja keduanya ke neraka. Kak Airin bawa kunci cadangan, kan?" Airin mengangguk. Keluar dari mobil, ia dan Rayhan langsung melangkah menuju pelataran rumah. Di depan pintu, dirinya menekan pin pada smartlock hingga akhirnya terbuka lebar. Melangkah dengan pasti, Airin membawa kakinya menuju lantai dua. Di depan kamar, bersama Rayhan juga, samar keduanya mendengarkan obrolan yang diyakini antara sang suami dan Nonie, sepupunya. "Mas Athar selama ini puas kan tiap bercinta sama aku?" "Puas banget, malahan. Kamu itu udah buat aku ketagihan, Sayang." "Gombal." "Serius. Makanya Mas nggak mau lepasin kamu." "Memangnya Kak Airin kenapa? Nggak bisa puasin Mas Athar?" "Bukan nggak bisa puasin. Tapi ... Airin itu nggak seksi dan lagi mainnya juga nggak seberani kamu. Malah terkesan pasif. Ga banyak juga gaya bercinta yang bisa dia lakukan. Jadi, monoton dan membosankan. Makanya, Mas lebih suka habisin waktu di atas ranjang sama kamu. Lebih memuaskan dan menantang." Dari balik pintu kamar, hati Airin terasa di koyak. Malu bukan main dan juga merasa terhina atas rahasia ranjang yang jelas-jelas suaminya itu beberkan dengan santainya kepada perempuan lain. Menyadari sang kakak sepupu tersulut emosinya, Rayhan menegur. Berusaha mengingatkan agar Airin tidak terpancing. "Nggak usah didengerin, Kak," bisik Rayhan hati-hati. Airin mengangguk. Tanpa perlu banyak berpikir lagi, ia memutuskan untuk segera masuk kamar. Dari netranya, Airin dapat melihat bagaimana sang suami yang mengenakan busana dan dalam posisi menindih tubuh Nonie. Rasanya sakit. Tapi, Airin berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Enak saja kalau dirinya disangka lemah oleh para pecundang di depannya itu. "Gimana rasanya bawa perempuan lain tidur di atas tempat tidur kita, Mas?" Athar tersentak kaget. Refleks menoleh, dirinya mendapati Airin yang menatap dengan raut wajah sulit sekali untuk ditebak. "Airin ... Sayang." Buru-buru Athar turun dari tubuh Nonie. Meraih pakaiannya yang teronggok di lantai dan langsung mengenakan saat itu juga. Sementara Airin memilih untuk melangkah menuju lemari. Mengambil salah satu pakaian yang ia punya, kemudian berjalan ke arah kasur lalu melemparkan sengaja pakaian yang baru saja ia ambil ke arah Nonie. "Cepat pakai! Atau kamu mau Kakak seret terus suruh pulang tanpa pakai busana?" "Airin, dengarkan aku dulu," sela Athar berusaha menenangkan Airin, mengajak sang istri untuk berbicara pelan-pelan. Mungkin ingin memberi penjelasan walaupun sadar sudah tidak ada lagi yang bisa pria itu tepis atau elakkan. "Oh, tentu. Kamu memang harus jelaskan semuanya ke aku, Mas." "Aku minta maaf, Rin," ungkap Athar sambil duduk tertunduk. Dari wajahnya menyiratkan pria itu amat sangat menyesal. Entah menyesal karena sudah merasa khilaf atau menyesal karena perbuatannya selama ini dengan Nonie harus ketahuan. "Aku nggak maksud menyakiti hati kamu." "Oh, ya? Terus ini namanya apa, Mas?" "Rin, ini semua cuma ---" "Kesalahpahaman? Sampai naik ke atas tempat tidur. Ini yang aku tau ya, Mas. Nggak tau sebelumnya kalian berdua sudah berapa kali tidur bareng. Apa? Aku kurang seksi? Kurang berani? Kurang lihai di atas tempat tidur? Keterlaluan!" "Airin ..." ucap Athar dengan lirih. Habis sudah kata-kata untuk membela diri. "Aku sadar sudah melakukan kesalahan fatal. Tapi, tolong kasih aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki ini semua. Salahku memang besar. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak mau kalau harus kehilangan kamu." Airin berdecak. Masih memasang wajah santai, ia kembali menanggapi ucapan Athar. "Maaf? Apa menurutmu hal menjijikkan ini bisa dimaafkan? Kalau kamu sadar diri, harusnya kalian berdua di lempari batu sampai mati!" "Airin..." cicit Athar penuh mohon. "Demi Tuhan, Mas mohon sama kamu." Airin menatap lekat dan mengunci pandangan Athar. Beberapa detik berselang, perempuan itu mengangguk sembari memasang ekspresi tenang. "Ok, aku akan maafin kamu." Airin terus saja berusaha untuk tetap tampil elegan dan tidak sedikit pun mau menunjukkan kesedihan atau kerapuhan yang sebenarnya ia rasakan. "Jangan khawatir, Mas. Dari dulu, aku orangnya pemaaf, kan? Tapi, untuk melupakan kejadian hari ini? Jangan harap aku bisa!" "Rin..." Athar terpojok. Ia yakin Airin benar-benar sedang murka kepadanya. "Mas sadar udah nggak tau diri. Tapi, tolong, sekali ini aja beri Mas maaf dan kesempatan." Airin tertawa. Tapi, wanita itu malah memberikan jawaban di luar dugaan. "Ok, aku bakal kasih Mas Athar satu kesempatan." Athar langsung mengangguk berulang kali. Mana mungkin ia mengabaikan kesempatan berharga ini. "Makasih, Rin. Jangan khawatir, Mas nggak bakal mengulangi hal bodoh ini lagi." Airin tersenyum remeh. Tidak begitu menggubris ucapan Athar yang entah serius atau dibuat-buat. Baginya, sang suami sudah cacat. Kepercayaannya pun hanya tersisa berapa persennya saja. Beralih dari Athar, kini Airin menatap tajam ke arah Nonie. Menunggu dengan sabar apa yang akan sepupunya itu katakan setelah kepergok sengaja menjadi duri dalam rumah tangganya. "Kak Airin, aku minta maaf." Nonie nampak duduk bersimpuh di ruang tamu. Berusaha memohon maaf kepada Airin yang kini duduk di hadapannya. "Kakak yakin, kamu sadar benar kalau Athar ini suami kakak, kan?" Airin menatap murka. Dirinya tidak menampik bahwa ada keinginan untuk menghajar orang yang sudah merusak rumah tangganya. Akan tetapi, besarnya akal dan rasa sabar ketimbang nafsu yang ia punya, Airin urung mengotori tangannya dengan melakukan tindakan bodoh. "Demi Tuhan, Aku nggak maksud buat godain kak Athar," aku Nonie berusaha meyakinkan. "Lagi pula, apa yang kami berdua lakukan selama ini di belakang kak Airin atas dasar suka sama suka." Athar detik itu juga menoleh ke arah Nonie. Sadar apa yang perempuan di sebelahnya katakan malah membuat posisinya semakin salah. "Apa gini ucapan terima kasihmu atas pekerjaan yang udah kakak kasih?" tanya Airin sekali lagi. "Aku minta maaf, Kak," cicit Nonie sekali lagi. "Aku ngaku salah. Aku udah khilaf lakuin ini semua." "Ini sih bukan khilaf namanya. Tapi ketagihan. Lagian, selingkuh itu dilakukan secara sadar, Non," celetuk Rayhan gemas sendiri. Membuatnya yang tadi diam, sampai ikut-ikutan berbicara. "Mulai besok, kamu nggak perlu lagi kerja di kantor Athar," perintah Airin kemudian. Nonie sampai mendongak. "Silakan kamu cari kerjaan aja di tempat lain." "Tapi, Kak. Kalau berhenti, aku bakal kasih makan Mama dan Adik-adik pakai apa?" "Ya dikasih makan nasi lah, Nonie." Rayhan yang menyahut. Dasarnya dari tadi sudah amat sangat gemas, jiwa julidnya langsung meronta-ronta ingin membalas ucapan Nonie yang terkesan tidak tahu malu. "Masa iya kamu kasih makan batu. Salahmu sendiri sudah berbuat kelewatan." Airin menatap Rayhan. Menggeleng, meminta sepupunya itu berhenti berbicara. "Terserah kamu mau kasih makan Mama dan adik-adikmu apa. Sudah bukan urusan kakak. Lagi pula, selama ini kakak udah baik, tapi kamu malah sia-siakan kebaikan itu." "Nonie mohon, jangan berhentikan Nonie, kak," pinta perempuan itu mengiba. Tapi, karena sudah muak, Airin sama sekali tidak perduli dengan rengekan Nonie yang entah tulus atau karena terpaksa. "Nggak. Keputusan kakak sudah bulat. Sekarang, silakan kamu pergi dan kakak harap nggak pernah lagi muncul di hadapan Kakak atau Athar. Kalau sampai kamu berani ganggu lagi, jangan salahkan kakak laporkan kelakuanmu ke keluarga besar." Nonie bangkit dari duduknya. Dengan perasaan sedih bercampur marah ia berniat untuk segera pergi. Namun, sebelum benar-benar keluar, wanita seksi berparas cantik itu menyempatkan diri untuk berbicara terakhir kalinya. "Nonie pastikan kak Airin bakal menyesal karena udah perlakukan Nonie begini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD