Wanita Gila

1066 Words
"Ada apa?" tanya Berlyn yang baru saja keluar. "Dia baru saja mengungkapkan perasaannya padaku, padahal kita saling melihat baru 2 menit 30 detik yang lalu!" Lemparan ekspresi heran untuk Bona, Berlyn pun sama gilanya. "Kau menghitungnya?" "Tidak, hanya perkiraan!" 'Mereka wanita gila semua!' batin pria yang diketahui seorang kurir itu. "Nona Nona, saya hanya menghantar barang atas nama Bella Ashoka!" Seketika Berlyn dan Bona saling memandang, mencerna isi pikiran masing-masing. "Apa putriku membuat akun apalikasi shopping?" tanya Berlyn. "Mana mungkin. Bella tidak terlalu pandai bermain ponsel!" jawab Bona. "Apa alamatnya benar?" tanya Berlyn dengan tampang bodoh. "Ya, apa kau tahu nama panjangnya juga?" sahut Bona. "Keluarganya?" timpal Berlyn. "Hobinya?" "Umurnya?" "Tempat bermainnya?" "Dan, siapa bibi tercantiknya?" Melongo, ya tentu saja. Pertanyaan di luar jangkauan itu membuat pria ini menghela napas dengan sabar. "Saya tidak sedang menyensus penduduk, Nona!" "Panggil saja Bella-Nya!" titah dia. Karena sudah terlalu kesal, pria itu duduk tanpa izin dengan menenggak sebotol air begitu cepat. "Baiklah!" Mereka sama-sama memasuki rumah, setelah itu keduanya kembali dengan membawa satu anak kecil. "Bella jujur pada mami—" "BERLYN ...." Panggilan dari Warsih di dalam membuat Berlyn berhenti berucap. Ia segera memasuki rumah meninggalkan mereka dengan terburu-buru. "Baiklah biar aku yang bertanya. Bella jujur dengan bibi apa kau—" "BONA CEPAT BANTU AKU!" Lagi-lagi gagal menginterogasi Bella, Bona justru tergesa-gesa menghampiri Berlyn. Bella yang polos dan tak tahu apa-apa, bertanya pada pria bule di hadapannya itu, "Aku tidak berbohong kenapa harus jujur?" tanyanya. "Ah, mereka yang berbohong Nona kecil. Maukah kau ikut denganku sekarang?" "Ke mana?" "Ke mana saja yang kau mau!" Dia tersenyum licik. Bella menimbang beberapa saat, sebelum akhirnya menerima uluran tangan itu. "Ayo!" *** Darte tersenyum di kala keponakannya membawa seseorang yang dia mau. Rasa sakit yang sedari tadi ia rasa-rasa, tiba-tiba melebur. "Nona kecil!" "Paman!" "Darte sudah kubawakan anak ini, sekarang mana motorku?" Sementara Luke menagih. Dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Butuh perjuangan untuk sampai di rumah Bella, ia harus bertanya-tanya seperti wartawan di mana lokasi rumah Berlyn, belum lagi menghadapi kebodohan mereka tadi. "Kau tahu aku butuh perjuangan untuk menculiknya? Aku harus melewati dua samudra, meloncati tiga sungai, dan harus menembus mars dan saturnus, belum lagi melawan angin yang mengajakku ribut!" Prak! "Mulutmu seperti petasan korek!" Satu kunci motor mendarat pas di badan Luke, dia tersenyum cerah sembari menciumi benda itu.. "Terima kasih Pamanku. Kau yang terbaik, aku akan kembali dengan permintaanku selanjutnya. Bye!" Tatapan jengah, ya itulah yang diberikan Darte. Namun sebelum benar-benar pergi Luke berucap, "Oh ya apa kau menyukai wanita-wanita gila itu?" "Siapa dia?" "Ibu dari anakmu!" Darte menatap putrinya, setelah itu ia kembali melihat Luke. Ternyata keponakannya itu sudah menghilang dari pandangan. Darte kembali lagi pada Bella, bahkan dia sudah memangkunya. 'Aku yakin bocah ini anak hasil hubunganku dengannya dulu,' batin dia. "Kata mamiku kau orang gila yang mengaku-ngaku." Bagaimana perasaan seseorang yang sudah menerka-nerka tiba-tiba dipatahkan oleh ucapan yang menyangkal itu. Darte sudah tampak datar saat ini. "Kau itu anakku!" "Apa kau Papaku?" "Ya!" "Apa benar aku punya Papa?" "Ya, panggil saja aku Papa!" "Tapi papaku sudah jadi ubi. Kata mami, papa sudah ditanam di belakang rumah. Dia mati karena kepalanya dimakan kucing!" 'Kisah macam apa itu? Berlyn benar-benar bodoh mengarang cerita!' "Tidak. Itu semua bohong, aku ini papamu. Apa kau tidak pernah merasa iri melihat teman-temanmu memiliki papa?" Bella menunduk memilin bajunya, bibir kecil itu maju beberapa senti. Darte merasa jika ucapannya menyinggung. "Aku juga ingin punya papa ....." "Bella ketahuilah aku ini papamu. Lihatlaha, mata kita sama. Berlyn mamimu maka akulah papamu!" "Tidak, papaku sudah mati dimakan kucing, Paman. Aku tidak mudah percaya!" *** Berlyn dengan Bona baru saja menghantar sang nenek ke klinik. Tadi, Warsih tiba-tiba merasa sesak napas. Namun kini wanita itu sudah kembali beristirahat di rumah. Sementara saat ini. "Bagaimana ini?" Berlyn sedang menangis karena anaknya hilang. Bona pun terlihat memojok dengan isi kepala yang kusut. Mereka saling merutuki kebodohan diri masing-masing. "Berlyn aku rasa ini perbuatan Darte!" "Seseorang menculik tadi bukan dia. Apa itu suruhannya atau anak buah yang sedang menyamar?" "Bisa saja, sudah kupastikan saat ini Bella sedang berada di rumah Darte!" "Tapi kota dia lumayan jauh dari sini!" "Berlyn bodoh, udang saja punya otak masa kau tak ada! Bisa saja dia menyewa tempat tinggal. Kau tahu? Pria itu memiliki banyak kekayaan, dia bisa saja membeli rumah di sekitar daerah kita!" "Lalu bagaimana ini, sudah mau malam!" "MAMI, BIBIK!!" Pembicaraan mereka terhenti, melihat sosok bocah berperut buncit dengan tangan yang sibuk membawa banyak barang. Berlyn dengan Bona terkejut, keduanya menekap mulut seraya berjalan menghampiri. "Oh anakku!" Berlyn memeluk kencang, sedangkan Bona terlihat menangis lantang. Kekhawatiran mereka seketika hilang, mendatangkan kebahagiaan. Bella yang tak mengerti ada apa dengan mereka, hanya mampu berkedip-kedip manatap mami dan bibinya. "Kau ke mana saja?" tanya Bona. "Main dengan Paman!" Terlihat mobil sedan di balik kejauhan masih terparkir. Tampak seseorang di dalamnya tengah menahan senyum melihat ketiga perempuan di sana. "Manis sekali!" *** "Kanker paru-paru stadium 3? Nenek saya bukan perokok, Dok!" "Kanker paru-paru, umumnya memang disebabkan seseorang perokok aktif atau mungkin jika bukan perokok dia yang sering terpapar polusi. Sebelumnya apa pasien tidak mengeluh? Jika stadium akhir, maka penyakitnya sudah komplikasi!" Berlyn tampak menunduk, sesekali matanya menatap ke arah sang nenek yang masih terbaring di brankar. Hatinya tersayat, mempertahankan hidup adalah pilihan. Maka ia akan berjuang demi menyembuhkannya. "Kenapa nenek tidak pernah bilang?" tanya Bona lemas. "Ini kelalaian kita!" Kemudian ia bertanya lagi, "Bagaimana cara penyembuhannya?" "Penanganan. Perawatan pereda, kemoterapi, imunoterapi, bedah atau melakukan operasi besar pembedahan d*da untuk memberikan akses ke tenggorokan, jantung dan paru-paru!" "Berapa biaya pengobatannya, Dok?" tanya Bona ragu-ragu. "Untuk biaya bisa berkisar 5 sampai 80 juta sesuai tingkat keparahan." Seketika keduanya saling terdiam merenung. Sampai di rumah pun mereka terlihat kusut dengan isi kepala yang berantakan. "Bagaimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Penghasilan di kebun sekarang sangat minim," ucap Berlyn bersedih. "Aku akan terpaksa berhenti kuliah, aku ingin bekerja sekarang!" sahut Bona. "Nenek sakit, maka aku yang akan mengurus kebun. Bona, bekerja pun belum tentu mencakupi kebutuhan biaya operasi nenek!" Bona menunduk, merasa jika ucapan Berlyn ada benarnya. "Sementara nenek harus segera ditangani!" lanjutnya. Namun tiba-tiba guratan di wajahnya berubah binar, seperti ada cahaya yang memasuki otak perempuan itu. "Berlyn baru saja Tuhan mengirimkanku ide!" "Lewat mana?" "Jalur prestasi!" Bisakah mereka serius? Lihat dia, sudah sangat datar menanggapi pertanyaan bodoh sahabatnya. "Aku serius!" "Yakin kali ini tidak sesat?" "Aku serius!" ulang Bona. "Apa itu?" "Menipu Darte!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD