Pulang dari rumah Aya, Yoga segera mandi air dingin begitu tiba di indekosnya. Dia perlu mengguyur kepalanya cukup lama di bawah guyuran shower berharap agar otak kembali waras seperti semula.
Bagaimana bisa dia tak henti-hentinya membayangkan gimana seksinya bagian tubuh Aya yang terekspos? Lalu, bagian yang lainnya yang tersembunyi, apa lebih indah dari pada yang telah dilihatnya?
"Stop it, Ga!" Yoga mendesis kesal sambil meninju dinding di dekatnya. Berlama-lama di kamar mandi bukannya benar, otaknya malah semakin gesrek. "Bisa-bisanya lo berpikir m***m tentang sahabat lo sendiri."
Yoga meraih handuk dan keluar dari kamar mandi.
Usai menggunakan baju, Yoga meraih ponselnya sambil duduk bersandar di ranjangnya. Niatnya ingin mengintip i********: milik Nadiya, namun jemarinya malah mengetik nama sahabatnya yang sudah 2 kali membuat otaknya berpikiran kotor.
Rupanya, Aya mengunggah sebuah foto beberapa jam yang lalu. Sepertinya saat mereka masih berada di mall. Yoga menggeram kesal melihat foto yang diunggah Aya itu adalah foto perempuan itu menggunakan baju seksi tadi. Apa maksud perempuan itu pamer bentuk tubuhnya?
Yoga membuka kolom komentar. Ada banyak komentar dari para lelaki. Cantik, imut, seksi, dan emot love serta hot memenuhi kolom komentar pada posting-an foto perempuan itu. Yoga mencibir, cantik dan imut dari mana? Amit-amit yang ada!
Kalau seksi, Yoga tak menampik hal itu. Tubuh Aya memang terlihat menggoda dengan pakaian seperti itu. Kulitnya yang putih dan mulus... ah, Yoga kan jadi terbayang-bayang bagaimana menggodanya kulit itu.
"Astaga... gue kenapa, sih?" Yoga mengusap kasar wajahnya.
Yoga meletakkan kembali ponselnya di atas nakas yang berada di samping ranjangnya. Lalu, dia merebahkan diri sambil memejamkan mata. Baru beberapa menit, matanya terbuka. Dia duduk meraih ponselnya dan kembali menelusuri akun i********: milik Aya.
Kenapa Yoga jadi mendadak stalking Aya begini?
Hal yang tak pernah Yoga lakukan sebelumnya. Mana pernah dia berkunjung ke i********: Aya selama ini?
Yoga hanya menyukai foto Aya apabila perempuan itu menandainya pada foto mereka bersama, lengkap dengan teman yang lainnya juga seperti Fero, Maudy dan Dikta. Selain itu, Yoga sama sekali tak pernah menyukai atau mengomentari foto sahabatnya yang bernama Soraya itu. Dia akan melewatkan posting-an Aya begitu saja apabila dia sedang men-scroll timeline dan tiba-tiba ada unggahan dari akun Aya.
Mata Yoga menyipit ketika melihat sebuah akun yang familiar olehnya. Aku teman nongkrongnya di club. Lelaki itu tampak mengomentari foto Aya.
Andreas Cantik dan imut, as always. Kali ini tambah satu lagi, seksi. So beautiful... Soraya ?
Apa Yoga tak salah baca?
Dia mengucek matanya, lalu kembali membaca komentar salah satu temannya di posting-an foto Aya. Ternyata benar, Andreas temannya yang berkomentar setelah dia memastikan dengan mengunjungi akun lelaki itu. Seorang Andreas yang tajir dan tampan, idola banyak perempuan ketika mereka sedang berada di club, memuji seorang Soraya?
Yoga terkekeh. Dia tahu betul gimana karakter Andreas yang merupakan teman dekatnya itu. Lelaki itu sering jual mahal kepada banyak perempuan yang ingin mendekatinya. Namun, dia malah terang-terangan memuji Aya di akun perempuan itu?
Yoga jadi beralih pada foto Aya yang lainnya di akun perempuan itu. Ada sekitar 100-an lebih foto di sana. Dan, Andreas menyukai setiap foto yang Aya unggah? Tidak hanya itu, setelah Yoga cek secara random, Andreas juga mengomentari foto Aya. Kalau tidak menuliskan kata-kata, lelaki itu meninggalkan emot. Yoga geleng-geleng kepala nyaris tak percaya mengetahui hal itu.
Malam ini, Yoga malah menghabiskan waktunya sebelum tidur dengan mengecek satu-persatu foto Aya. Kurang kerjaan sekali, bukan?
"Gue heran deh, ini bocah nggak ada cantik-cantiknya, kenapa banyak banget cowok yang kayaknya tertarik sama dia?" Yoga kembali terkekeh. "Lo pada belum tahu aja gimana manja dan ribetnya seorang Soraya," gumam Yoga sambil menatap foto Aya dengan tatapan mengejek.
***
Yoga tak meminta bantuan Aya lagi untuk mendekati Nadiya, dia akan berusaha sendiri saja. Pasalnya, otaknya belakangan ini suka kegeser kalau melihat tampilan Aya yang pakai baju seksi. Yoga heran, perasaan dulu Aya tak pernah memakai baju seperti itu ketika pergi bersamanya atau ramai dengan teman mereka yang lain.
Baru saja Yoga hendak keluar dari indekos, ingin bertemu temannya ingin membahas perihal rencana Wedding Organizer yang akan dia jalani, tiba-tiba ada telepon masuk dari Aya.
Yoga berdecak.
Mau apa lagi perempuan itu?
Namun, Yoga tetap mengangkat telepon dari Aya.
"Paan?" tanyanya ketus.
"Udah baca di grup, 'kan?"
Yoga agak menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar sahutan suara cempreng Aya di seberang sana.
"Grup mana? Ada apaan emang?"
"Geng-an kita."
"Oh. Belum baca gue."
"Maudy sama Fero ngajakin kita pada makan di resto mewah daerah SCBD."
"Kapan?"
"Besok malam."
"Hmmm. Ya udah. Gue bisa, kok."
"Umm, boleh bareng nggak, Ga?" pinta Aya di seberang sana dengan melembutkan suaranya. Seperti biasa kalau sedang membutuhkan Yoga, pasti Aya akan berlemah lembut.
Ada maunya aja, manis benar!
"Boleh," jawab Yoga cepat. Kali ini tak mau berdebat. Lagi pula, pikirannya belum benar-benar stabil. Ingin menolak, kasihan juga dengan Aya. Berangkat dengan siapa perempuan itu? Yoga tak yakin Aya akan diiznkan keluar malam apabila pergi sendirian.
Ah, semoga saja besok Aya tidak berpakaian aneh yang bisa membuatnya gelisah, bahkan sampai berkeringat dingin.
***
Keesokan harinya, Yoga tertegun melihat penampilan Aya yang baru saja keluar dari rumah. Perempuan itu menggunakan baju dengan model off-shoulder berwarna merah maroon dengan bawahan skirt putih di bawah dengkul berwarna putih. Dan Aya menggulung rambutnya hingga leher putih jenjangnya terlihat jelas, tampak mulus.
Aya benar-benar terlihat memukau hari ini.
"Kenapa lihatin gue kayak gitu? Baru ngeliat cewek cantik ya, Masnya?" tanya Aya pada Yoga yang menatapnya tanpa berkedip bersandar di depan mobilnya. Mereka berangkat menjelang maghrib, karena jalanan di sekitar sana lumayan macet biasanya.
Lamunan Yoga buyar seketika.
"Cantik dari Hongkong!"
Aya manyun.
"Sekali-kali muji teman sendiri apa salahnya sih, Ga?"
"Lah, gue ngomong fakta. Emang lo nggak cantik."
Aya tidak mau memperpanjang. Dia memilih untuk langsung masuk ke dalam mobil Yoga.
Yoga dan Aya tiba di sana lebih dulu, disusul oleh Dikta. Maudy dan Fero datang paling belakangan. Ternyata, malam ini kedua sahabatnya itu mengumumkan jika mereka berdua telah berpacaran. Dan Fero, berniat untuk mentraktir semua sahabatnya.
"Makan-makan besar malam ini?" tanya Yoga pada Fero.
"Ya. Terserah kalian mau pesan apa aja. Bungkus juga boleh!"
"Sikatttt!!!" Yoga yang sudah tak sabar memanggil pelayan yang berada di dekat kami. Definisi teman tidak tahu malu dia itu. Saat pelayan datang, dia menyebutkan beberapa menu plus untuk dibungkus juga dia bilangnya.
Padahal, Yoga bukanlah anak orang yang tidak mampu. Keluarganya cukup berada. Namun, yang namanya anak kos, dia juga kadang perlu perhitungan dalam mengeluarkan uang. Apalagi dia belum mendapatkan penghasilan, masih uang dari orang tua. Terkadang, Yoga malah malas untuk meminta jika orang tuanya telah mentransfer uang padanya.
"Busyettt, pesanan lo banyak amat, Ga! Habis sama lo sendirian?" tanya Fero heran.
"Habislah. Kalau nggak tinggal bungkus juga. Kenapa? Lo takut nggak mampu bayarnya?"
"Gue? Nggak mampu bayar? Segini masih kecil bagi gue," ujar Fero sombong. "Kalau mau, sana lo bisa pesan lagi!"
Yoga mencibir. Dia tahu Fero sekarang banyak uang karena telah menjadi CEO menggantikan posisi kakaknya di kantor.
"Lo mau pesen apa, Ay?" tanya Maudy pada Aya.
"Gue mau cheese plater, angus fillet served with sour bread, light creamed chestnut soup dan minumnya green matcha tea soufle."
"Tuh kan, Aya aja yang cewek pesan makanannya tiga macam," protes Yoga setelah Aya membacakan pesanannya.
"Tiga macam tapi menunya 'kan dikit-dikit per porsinya. Lo coba perhatiin lagi gambarnya," ujar Aya.
"Nah, kalau gitu nggak apa-apa dong gue pesen banyak," ujar Yoga tak mau kalah dari Aya.
"Tapi nggak gitu juga kali. Harga satu menunya itu mahal. Bisa habis jutaan si Fero," celutuk Dikta.
"Santai, Bro. Paling cuma habis 4 jutaan," ujar Fero enteng. "Nggak masalah bagi gue."
"Asik!! Berarti habis ini kalau kalian mau nikah, bisa traktir kita lagi dong? Liburan ke mana gitu." Yoga kembali bersuara.
Sekalian, Yoga kangen liburan bersama para sahabatnya itu.
"Baru juga kerja, Ga. Fero kan ada impian juga," sahut Maudy. Perempuan itu jelas tidak ingin Fero terlalu boros.
Pulang dari situ, Yoga mendapat telepon dari Andreas. Lelaki itu mengajaknya berkumpul di club malam ini. Yoga menolaknya dengan mengatakan ada janjian ada acara bersama temannya yang lain.
Usai mematikan sambungan telepon, Yoga menoleh pada Aya yang tengah sibuk bermain ponsel.
"Lo kenal sama Andreas, Ay?"
"Andreas mana?"
"Itu. Gue semalam nggak sengaja lihat posting-an lo, terus ada dia yang komentar."
"Oh, Andreas yang itu. Iya, kenal. Kenapa?"
"Kenal deket?"
"Lumayan. Kakak kelas gue waktu SMA, beda satu tahun di atas gue. Lo kenal juga?"
Yoga mengangguk. "Teman nongkrong bareng."
"Kalian deket banget?" ulang Yoga lagi, memastikan.
"Ya, gitu. Dia perhatian. Sering pengen anter jemput gue dari sekolah sampe kuliah, tapi gue nggak kasih izin."
Yoga kembali tercengang.
Andreas yang tidak mau ribet mau repot-repot antar jemput Aya?
"Kenapa emangnya? Kok, lo nggak mau?"
"Kak Javier nggak begitu suka sama dia. Nggak tahu kenapa."
Entah kenapa, Yoga agak lega mendengarnya.