Enam

1314 Words
Aya bersorak senang. Bagaimana tidak? Dia baru saja mendapatkan transferan uang yang cukup banyak dari Fero. Aya akan bersenang-senang hari ini. Rencana menginap di rumah Maudy untuk menemani sahabatnya itu sekaligus ingin nonton lakorn Thailand bersama, tak apa jika tidak jadi. Barusan saat dia sudah bersiap akan ke rumah Maudy, Fero tiba-tiba menelponnya dan mengatakan jika dirinya tak usah datang ke rumah Maudy. Kata Fero, Maudy adalah urusannya. Aya awalnya tak mau membatalkan rencananya dengan Maudy, namun karena Fero memaksa dan menawarkan sejumlah uang padanya, dia jadi menuruti permintaan lelaki itu. Lagi pula, Fero juga sahabatnya dan Maudy juga. Lelaki itu pasti akan menjaga Maudy dengan baik di saat orang tua Maudy pergi keluar kota. Bisa saja Fero membawa Maudy ke rumahnya. Aya tersenyum lebar melihat nominal uang yang ditransfer oleh Fero. "Beruntung banget emang, gue punya sahabat tajir kayak Fero. Lumayan, bisa buat jajan satu bulan. Ah, buat traktir teman-teman gue juga bisa kayaknya. Dan uang dari Papa bisa utuh. Nanti gue tabung aja," gumam Aya. Aya menulis pesan di grup WA teman dekatnya dari zaman putih abu-abu. Karena sudah rapih, dia tetap ingin keluar rumah hari ini. Namun, tujuannya berganti dengan hang out bersama teman dekatnya, selain Maudy. Dari lima orang yang berada di dalam grup tersebut, hanya Nadiya yang bisa bertemu. Tiga orang lainnya sudah terlanjur ada janji dengan pacar mereka. Maklum saja karena ini adalah hari Sabtu. Tak masalah jika hanya berdua dengan Nadiya, pikir Aya. Nadiya itu menyenangkan. Dia juga yang paling dekat dengannya di antara empat teman SMAnya itu. Bicara soal Nadiya, Aya jadi ingat Yoga. Sejak kapan sahabatnya itu menyukai Nadiya? Mungkin karena terlalu banyak perempuan di sisi Yoga, Aya jadi tak tahu mana yang benar-benar disukai oleh lelaki itu. Aya saja tak yakin jika Yoga serius ingin menjalin hubungan dengan Nadiya. Bagaimana jika Nadiya dicampakkan suatu saat oleh Yoga yang notabene-nya seorang player itu? Aya tak mau Nadiya yang cantik dan baik hati itu dipermainkan oleh Yoga. Karena Nadiya juga merupakan teman dekatnya. Setelah mendapatkan chat dari yang Nadiya sudah rapih dan siap akan berangkat ke tempat mereka janjian, Aya keluar dari kamarnya bersiap untuk berangkat juga. Kali ini dia akan meminjam mobil kakanya, Javier. Saat turun dari tangga, rasanya Aya mendengar suara seseorang yang sangat dikenalinya. Yoga, itu pasti lelaki itu. Yoga yang akhir-akhir ini lebih sering berkunjung ke rumahnya. Aya tahu persis tujuan lelaki itu. Dia ingin Aya mendekatkannya dengan Nadiya. Rupanya lelaki itu belum saja menyerah. Padahal, Aya telah menolak mentah-mentah tak akan membantunya. Nadiya terlalu baik bagi seorang Yoga. Aya menuju ke sumber suara yang rupanya tengah berbicara dengan kakaknya duduk menghadap ke arah TV. Aya berdehem. "Ngapain lo ke sini?" tanyanya ketus. "Gue yang suruh dia ke sini, mau ngobrol-ngobrol," sahut Javier. "Sekalian mau ngajakin main PS." "Oh... kirain." Yoga dari beberapa saat yang lalu hanya diam mematung melihat baju yang dikenakan Aya hari ini. Dia meneguk salivanya. Kenapa Aya kembali terlihat seksi di matanya? Yoga menggelengkan kepala. Aya itu bocah... Aya itu bocah. Dia nggak seksi, sama sekali enggak. Yoga meyakinkan hatinya. "Hmm, mau ke mana lo?" tanya Yoga berusaha tenang, menutupi rasa gelisahnya. "Kepo! Mau ke mana kek, bukan urusan lo!" Aya menjulurkan lidahnya. Lalu, pandangan beralih pada sang kakak. "Kak, hari ini lo nggak ke mana-mana, 'kan?" Aya tahu jika keluarga calon kakak iparnya sedang pergi ke Bandung. Terlihat dari insta story milik tunangan kakaknya itu. "Kenapa emangnya nanya-nanya?" Aya menyengir. "Gue mau pinjem mobil, Kak. Boleh, ya?" "Mau pergi ke mana emangnya?" "Mau hang out sama teman gue." Javier kembali meneliti penampilan Aya dengan mata menyipit. "Pake baju kayak gitu?" Aya mengenakan sebuah baju berwarna pink dengan bawahan mini skirt berwarna putih. Sangat pas dengan kulitnya yang putih. "Emangnya kenapa?" "Ganti," sahut Javier tegas. "Baju lo kurang bahan, Ay!" "Tapi gue suka ini, Kak. Lucu dan kekinian. Nggak mau ganti, ah!" "Lo nggak boleh pergi kalau gitu." "Jangan gitu dong! Gue udah janji sama teman gue." "Pakaian lo kayak gitu, Ay! Kecuali lo perginya sama gue, atau ada yang jagain lo." Aya cemberut. Cukup lama berdebat, hingga Javier tak tega melihat muka memelas adiknya itu. "Ya udah, lo boleh pergi pake baju itu. Tapi... ditemenin sama Yoga." "What?" Aya berdecak. Dia akan bertemu dengan Nadiya, tak mungkin dia pergi bersama dengan Yoga. "Gue nggak mau di anter dia, mending minta anter sopir papa aja kalau gitu." "Mama mau pergi arisan entar." Setelah menimang-nimang, akhirnya Aya setuju di antar oleh Yoga. Nanti dia akan meminta lelaki itu untuk menunggunya di mobil saja. *** Yoga bersyukur bisa mengalihkan pandangannya dari Aya karena kehadiran Nadiya, pujaan hatinya. Dari tadi di mobil, Yoga sulit rasanya untuk fokus karena matanya yang kadang tak bisa dicegah untuk tak melihat ke arah Aya. Lebih tepatnya pada bagian perut perempuan itu yang sedikit kelihatan dan bagian pahanya yang terlihat banyak dari pada hari itu karena rok Aya yang terangkat ketika duduk. Yoga mengumpat di dalam hati. Pikiran kotornya kembali muncul. Tersadar akan pikirannya yang melantur, Yoga menggelengkan kepala. Yoga rasanya ingin menbenturkan kepalanya agar isisi otaknya kembali waras. "Kenapa lo?" tanya Aya mengernyit heran. "Nggak kenapa-napa." "Aneh." Lalu, Aya meminta Yoga untuk tetap di mobil saja menunggunya, namun lelaki itu tak mau mendengarkannya. Sama seperti Javier, Yoga berkata jika dia mengkhawatirkan pakaian yang dikenakan Aya. Takut terjadi suatu hal yang tidak baik menimpa Aya. Terkadang pelecehan s*****l terjadi tak mengenal tempat. Dengan terpaksa, Aya membiarkan Yoga ikut dengannya untuk masuk ke dalam mall tempatnya bertemu dengan Nadiya karena lelaki itu mengancamnya. Yoga mengancam akan melaporkan kepada Javier kalau Aya tak mau ditemani. Aya bersyukur ketika sudah bertemu dengan Nadiya, perempuan itu tampak tak menghiraukan keberadaan Yoga. Seringkali Yoga mengajaknya berbicara, namun Nadiya membalas dengan sekenanya saja. Singkat dan terkesan ketus. Diam-diam Aya tersenyum mengejek pada Yoga. Bisa-bisanya seorang Yoga diabaikan oleh seorang perempuan. Aya merasa lebih tenang sekarang, tak ada yang perlu ditakutkannya lagi. Nadiya tampak tidak tertarik pada Yoga. Setelah menghabiskan waktu di mall dengan makan, nonton dan karokean, pukul 20:00 mereka semua baru keluar dari mall. Yoga menawari untuk mengantarkan Nadiya pulang, namun ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu. Aya tertawa kencang ketika sudah berada di mobil Yoga. "Emang enak dicuekin?" ujarnya meledek. Bukannya kesal, Yoga malah tersenyum. "Baru tahap awal kali! Entar lama-kelamaan juga dia luluh sama gue." "Nggak bakalan," sahut Aya yakin. "Nggak ada yang bisa menolak pesona seorang Yoga." Aya mencibir. "Kepedean banget jadi orang. Lo nggak inget kalau Nadiya pernah suka banget sama Fero?" "Tapi kan Feronya udah nolak dia. Nggak mungkin lah Nadiyanya masih ngejar. Sekarang, giliran gue yang mau buat luluhin hatinya." "Taruhan sama gue! Nggak bakalan dia mau sama lo." "Lo lupa siapa gue? Cewek mana pun akan bertekuk lutut kalau udah kena rayuan maut gue." "Yayaya." Aya tak mau memperpanjang debatnya malam ini, karena bisa tak berkesudahan sampai dia tiba di rumah nanti. Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Aya tertidur. Yoga menghela napas berkali-kali karena saat tiba di rumah Aya, perempuan itu tak kunjung bangun dari tidurnya. Masa iya Yoga harus menggendongnya lagi? Apa dia memanggil Javier saja untuk menggendong Aya ke kamar perempuan itu? Yoga memutuskan untuk menelepon Javier, namun teleponnya tak diangkat oleh kakak laki-laki Aya itu. Yoga melirik jam di ponselnya, baru pukul 21:00. Masa jam segini Javier sudah tidur? Tak mau menunggu lebih lama, apa lagi berduaan dengan Aya yang berpakaian minim seperti itu, Yoga memutuskan untuk menggendong Aya. Tak ada jalan keluar lagi. Yoga heran dengan Aya yang bisa-bisanya tertidur pulas lagi untuk kedua kalinya saat diantar pulang olehnya. Yoga kembali menoleh pada Aya, namun dalam cahaya yang minim dari lampu di depan rumah perempuan itu, membuatnya kembali melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihat. Yoga dengan cepat membuang muka ke arah lain. Sadar, Ga... sadar! Hentikan pikiran m***m lo! Yoga mengusap wajahnya kasar. Dia berkeringat dingin. Yoga segera keluar dari mobilnya. Merokok sejenak sebelum membawa Aya ke dalam rumah. Kacau. Bisa-bisanya perempuan yang dianggapnya masih bocah itu membuatnya kembali tergoda?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD