Malia turun dari bus lalu berlari kecil ke dalam gang sempit di antara deretan pertokoan. Mengingat waktu yang diberikan Tina hanya dua jam untuk pulang mengambil pakaian ganti, Malia harus mengambil langkah cepat. Ia memasuki sebuah rumah sederhana bercat kuning gading yang berada di ujung gang. Ia mengetuk pelan pintu rumah sederhana itu sampai suara tenor terdengar mempersilakannya masuk.
"Masuk! Pintunya tidak dikunci."
Malia membuka pintu. Pandangannya tertuju pada Genta, kakaknya. Pria berambut gelap berpotongan ala militer dan berkulit putih tampak tengah duduk di kursi tamu sambil kedua tangannya membentangkan sebuah tabloid.
"Ibu gimana, Mas?" tanyanya sambil duduk di kursi plastik di depan kursi tamu.
"Kondisi Ibu tidak banyak berubah, tapi dia sudah mau makan. Pulang kerja tadi, aku mampir ke rumah sakit." Pria itu menutup tabloidnya lalu memandangi Malia. "Jadi, kamu harus tinggal di sana?"
"Iya, Mas."
"Lia, apa tidak ada pekerjaan lain yang tidak mengharuskan kamu menginap? Aku khawatir sama kamu.”
Malia mengembus napas. Sekelumit rasa kecewa mengalir dalam tarikan napasnya sesaat kemudian. Dia sedang berusaha keras membantu Genta untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pengobatan ibu mereka, tetapi tanggapan sang kakak seakan-akan tak memberinya restu. "Mas, aku cuma mau membantu Mas untuk menambah biaya pengobatan Ibu. Aku tidak mau membebankan semuanya pada Mas. Aku tahu gaji Mas sebagai staf hotel itu tidak mencukupi.”
“Aku tidak melarang kamu bekerja, Lia. Tapi kalau harus menginap di sana ....” Genta menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tidak mengizinkan.”
“Gaji yang mereka tawarkan lumayan besar, Mas. Mana ada di Jakarta ini gaji ART sampai lima juta sebulan.”
Genta tersentak mendengar penjelasan Malia. Matanya yang sedikit sipit mendadak melebar. Ia tidak habis pikir Malia mau menjadi asisten rumah tangga demi membantunya. “Kamu jadi pembantu rumah tangga?! Lia, Lia ... Aku rasa masih ada pekerjaan lain yang lebih—“
“Jadi ART bukan pekerjaan yang hina, Mas,” potong Malia, “toh, dihotel pun sama saja. Aku bekerja menjadi pelayan dan membersihkan kamar tamu.”
Genta mengangguk. Ia tahu pekerjaan Malia di hotel sebelum gadis itu diberhentikan karena hotel tempatnya bekerja bangkrut tidak jauh berbeda dengan pekerjaan ART. “Bukan begitu maksudku. Hanya saja, sayang ijazah kamu kalau kamu kerja jadi ART.”
“Mas, zaman now banyak lulusan S1, S2, S3, sampai ES-teler yang menganggur. Aku cuma lulusan D3, bersyukur banget punya pekerjaan meskipun hanya jadi seorang ART.”
“Oke. Terserah kamu. Tapi kalau di Star Seasons ada lowongan, kamu cabut ya dari sana.” Genta tidak punya pilihan selain memberi Malia izin, tetapi pria itu mengajukan syarat bahwa Malia harus berhenti bekerja menjadi ART kalau di hotel tempatnya bekerja membuka lowongan pekerjaan baru.
“Iya, Mas.”
Setelah menghabiskan sedikit waktu untuk menikmati obrolan receh nan ringan dengan Genta, Malia kemudian mengemasi pakaian yang akan dibawanya. Waktu terus berjalan dan ia semakin dikejar kebutuhan.
***
Malia segera kembali ke kediaman keluarga Brighton sebelum waktu yang diberikan Tina habis. Malia mengenakan lagi seragam pelayan di rumah itu. Tidak seperti biasanya, Alex sudah pulang sejak jam 4 sore. Dia bahkan meminta Malia membawakan teh paling pahit untuk menemani sorenya.
Malia membawakan pesanan sang tuan dengan sedikit tergesa-gesa karena Alex meminta, tidak pakai lama. Wanita itu kembali ke kamar Alex. Ia memasuki kamar Alex dengan langkah yang penuh kehati-hatian.
Sementara itu, tatapan dingin Alex menjelajah tubuh dan wajah Malia dari tempatnya berdiri di antara kosen pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Tubuh pria itu tampak menjulang dan lengan kuatnya terlipat di atas perut. Sore itu Alex sukses membuat Malia salah tingkah. Seharusnya Malia tidak merasakan hal itu, tapi kenapa tubuh dan organ paling penting di tubuhnya tidak mau bekerja sama? pikir Malia.
“Simpan tehnya di meja balkon,” pinta Alex menahan usaha Malia yang akan meletakkan nampan berisi satu teko kecil teh pahit dan satu cangkir kristal ke atas meja kopi di seberang tempat tidur.
Malia memandang Alex sekilas lalu mengangguk. “Baik, Tuan.”
Wanita itu mengangkat kembali nampan dan mulai melanjutkan langkahnya. Semakin jaraknya dengan Alex terkikis, perasaan aneh dan mendebarkan kian dirasakan Malia. Tatapan Alex yang terpaku kepadanya seakan-akan sedang menelanjanginya. Ada apa dengan pria itu?
Setelah meletakkan dan mengatur teko serta cangkir, Malia keluar dari kamar Alex. Hari kedua yang dijalaninya begitu sibuk. Ia seharusnya hanya bertugas melayani Alex, tetapi hari ini Malia harus membantu Mbok Bar menyiapkan hidangan makan malam khusus untuk menyambut kedatangan Darius Brighton, suami Elizabeth, dari London. Sebelumnya Darius harus menjalani masa karantina Covid-19 yang sudah menjadi ketentuan dan peraturan dari pemerintah Indonesia di sebuah hotel.
Tepat jam 18.30 mobil sedan hitam berkilat yang dikendarai supir keluarga Brigthon tiba di pekarangan rumah. Dari dalamnya keluar seorang pria berpostur tinggi dan berambut pirang berwajah mirip Alex tapi lebih tua. Elizabeth menyusul beberapa saat kemudian.
Di ambang pintu ruang makan, Tina sudah bersiap menyambut kehadiran sang empunya rumah. Ia berdiri dengan raut wajah yang sengaja dibuat manis dan ramah.
"Selamat sore, Tuan. Selamat datang kembali ke rumah ini," sambut Tina dengan nada sok akrab.
"Selamat sore, Tina," sahut Darius ramah.
"Selamat sore, Nyonya." Tina kemudian menyambut Elizabeth.
"Sore." Elizabeth hanya menjawab seperlunya dan dengan nada seperti biasanya, ketus.
Elizabeth menggandeng mesra Darius memasuki ruang makan. Darius lalu menarik kursi untuk duduk Elizabeth. Setelahnya, ia duduk di samping wanita itu.
"Alex di mana?" tanya Darius.
"Sebentar lagi Alex turun." Elizabeth lalu menoleh pada Tina. "Tina, panggil Alex."
"Baik, Nyonya." Tina pun bergegas naik ke kamar Alex.
Dalam beberapa menit Alex turun. Wajah pria berusia 29 tahun itu tampak sedatar jalan tol dalam kota. Tidak ada kilat ceria maupun bahagia yang terpancar dari wajahnya saat melihat Darius. Pria dengan balutan kemeja putih berlapis vest rajut bermotif catur itu hanya menyapa seperlunya dan dengan nada dingin. “Hi, Dad.”
“Hi.” Darius memandangi putranya sesaat. “Tidak ada pelukan untukku?” tanyanya kemudian.
Alex tersenyum meskipun air mukanya masih tampak kaku. Entah racun apa yang menyebar di dalam ruang makan, seluruh anggota keluarga Brighton telihat kaku. Alex masih mematung di tempatnya berdiri dan sepertinya tidak ada niat untuk mencairkan suasana. Namun, akhirnya Darius yang mengalah. Ia bangkit dari duduknya lalu merentangkan tangan. Alex tidak punya pilihan selain menerima undangan ayahnya. Alex memeluk Darius.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Darius.
Alex segera mengurai pelukannya dan kembali menjaga jarak dengan pria itu. “Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan karantina?”
"Wabah Covid membuatku harus menahan rindu pada kalian lebih lama. Untungnya, aku punya kamu dan Liz yang tidak pernah membuatku merasa kesepian selama di karantina. Terima kasih sudah menjadi sumber kekuatanku."
Alex menyunggingkan senyum kakunya sekali lagi. Darius terlalu berlebihan memujinya, padahal ia hanya sekali menghubungi Darius selama Darius dikarantina. Alex lalu duduk berseberangan dengan Darius. Ia memandangi Darius dan Elizabeth beberapa saat. Sejumput rasa iri melihat kebersamaan mereka terpercik dalam hatinya. Alex kemudian menunduk untuk membuang rasa itu jauh-jauh. Seharusnya ia pun bahagia seperti mereka seandainya peristiwa nahas itu tidak terjadi, sesalnya.
Dari seberang meja, Elizabeth mulai bisa bernapas lega. Wanita bergaun biru itu menjentikkan jarinya memberi isyarat pada Tina kalau makan malam akan segera dimulai. Tina kemudian menghilang beberapa saat dan datang kembali dengan baki stainless berisi quiche. Ia menyajikan apptizer itu di atas meja makan lalu menuangkan air putih ke gelas sang tuan, nyonya, dan tuan mudanya.
Waktu berlalu diiringi obrolan ringan saat mereka menyantap hidangan pembuka dan hidangan utama. Kini, tiba waktunya untuk menyajikan dessert. Kali ini Tina mengisi gelas bertangkai dan berbadan langsing dengan anggur putih untuk Darius dan Alex. Sedangkan untuk Elizabeth, ia mengisinya dengan sampanye non alkohol.
Awalnya suasana makan malam terasa hangat walaupun tak cukup intim. Ketiga anggota keluarga Brighton menikmati menu makanan khas Perancis dengan antusias. Namun, semua orang di sana dipaksa kembali menikmati suasana tegang ketika tiba-tiba Alex menghentikan obrolannya dan langsung menatap tajam Malia yang datang membawa baki berisi makanan penutup.
“Permisi. Aku harus pergi.” Alex bangkit dari duduknya lalu meninggalkan ruang makan. Raut wajahnya secara otomatis menjadi muram dan sangat tidak ramah.