2. Alexander Brighton

1649 Words
Malia bergegas keluar dari kamar Alex dan seperti yang disarankan Tina, ia menanti kedatangan sang tuan muda dengan berdiri di depan pintu kamarnya. Suara entakkan sepatu terdengar semakin dekat. Malia tidak sabar ingin melihat wajah pria yang membuat Elizabeth kehilangan akal sehatnya sebagai ibu tiri. Hanya ketika suara langkah itu semakin menggema di telinga, Malia segera menunduk. Beberapa detik kemudian Malia melihat ujung sepatu kulit berwarna hitam dan mengkilat berhenti bergerak di depannya. "Siapa kamu?" Alex bertanya dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar dan fasih. Suara pria itu terdengar berat dan mengintimidasi. Malia mengangkat wajah pelan-pelan sambil menduga-duga seperti apa rupa Alex yang sebenarnya. Selama ini ia hanya mengetahui wajah pria itu dari berita di media. Kamera bisa menipu, pikirnya. Pandangan Malia menjelajahi sepatu, celana, sampai ke jas yang dikenakan Alex. Hingga wajahnya sedikit mendongak, Malia baru bisa melihat wajah Alex. Level ketampanan dan kecantikan seseorang memang relatif, tergantung siapa yang memandangnya. Namun, Alex terlihat berbeda dari foto-foto dan video singkat tentang dirinya yang beredar di media sosial. Alex yang sebenarnya jauh lebih tampan dan memesona. Mata sebiru safir yang dibingkai bulu mata lentik dan alis tebalnya tampak lebih bersinar ketika menatap heran pada Malia. "Di mana Sutinah?" tanya Alex lagi dengan ketus. Sutinah? Malia mengernyit. "Siapa Sutinah, Tuan?" "Tina." "Oh, ...." Malia mengangguk mengerti. Ternyata nama asli kepala ART itu Sutinah. "Di mana dia?" "Mbak Tina sepertinya masih ada di dapur, Tuan." "Kamu siapa?" Alex melontarkan kembali kuriositasnya dengan nada ketus. Seluruh anggota keluarga Brighton ternyata mahir bersikap arogan, cibir Malia dalam hati. "Saya Malia. Saya ART baru, Tuan." Kali ini Alex yang mengamati Malia dan membuat wanita itu merasa tidak nyaman. Menyadari dirinya sedang menjadi objek kemelitan Alex, Malia segera bertransformasi berpura-pura tenang dan berusaha mengalihkan perhatian ahli waris keluarga Brighton itu. "A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?" "Panggil Tina ke sini." "Baik, Tuan." Malia segera pergi mencari Tina ke dapur, tapi ia tidak menemukan wanita itu. Ia hanya menemukan Mbok Bar, si juru masak. Dan berpijak pada keterangan Mbok Bar, Malia memberanikan diri untuk kembali ke ruang kerja Elizabeth demi mencari Tina. Rumah luas yang memiliki desain split level itu berhasil menguras tenaga Malia yang belum bisa mengingat letak setiap ruangan. Meskipun sudah dua kali salah masuk ruangan, Malia tetap gigih mencari ruang kerja Elizabeth sampai ia menemukannya. "Ada apa?" Elizabeth bertanya dengan nada sedikit tinggi setelah mengizinkan Malia masuk ke ruangannya. Wanita itu jelas-jelas merasa terganggu oleh kehadiran Malia. "Maaf, Nyonya. Saya mencari Mbak Tina. Tuan Alex meminta Mbak Tina menemuinya." Malia mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Elizabeth mendesah kesal. Sorot matanya kini terlihat sebengis raut wajahnya. Ia bangkit lalu berjalan mengitari meja. "Kamu ikut saya." "Mbak Tina bagaimana, Nyonya?" "Kamu nggak usah ngurusin si Tina. Kalian punya tugas masing-masing." "Tapi Tuan Alex—" "Kalau Alexander Brighton tidak memintamu melakukan apa-apa, tapi dia malah memintamu memanggil pelayan lain, kamu dalam masalah." Elizabeth berjalan cepat keluar dari ruang kerjanya. Malia mengikuti langkah wanita itu di belakang sambil mengamati dan mencermati setiap gerak dan kata yang terlontar dari mulut sang nyonya di sepanjang jalan. Malia masih tidak habis pikir ia berada dalam masalah, padahal ia dan Alex baru saja bertemu. Alex bahkan belum menerima secuil pun pelayanan darinya kecuali sambutan yang canggung. Alasan apa yang membuat tuan muda itu merasa tidak berkenan menerima Malia sebagai pelayan barunya? Malia bertanya-tanya dalam hati. "Stay here!" perintah Elizabeth ketika mereka sudah berada di depan pintu kamar Alex. Malia mengangguk patuh. "Iya, Nyonya." Tanpa mengetuk dan sepertinya ia tidak perlu melakukan itu, Elizabeth membuka pintu. Ia membiarkan pintu itu tidak tertutup rapat dan masih menyisakan celah yang memungkinkan Malia bisa melihat ke dalam kamar Alex. Malia pikir Elizabeth sengaja melakukannya agar ia bisa mendengar ketidaksukaan Alex dan bisa segera memecat Malia dengan alasan tersebut. Malia menunggu dengan perasaan waswas. Sayup-sayup ia mendengar percakapan antara Elizabeth dan Alex. "Aku tidak percaya kamu melakukan hal ini, Liz." Suara Alex terdengar tertahan. Ia seakan-akan sedang menahan rasa sedih yang luar biasa. "Ini untuk kebaikan kita semua, Alex. Aku percaya ini yang terbaik. Sebelum ayahmu kembali ke Jakarta, aku ingin semua ini berakhir. Aku sangat menyayangimu, Alex." Nada bicara Elizabeth tidak terdengar seketus saat ia sedang berbicara kepada para pelayan di rumah itu. Sangat berbeda. Suaranya terdengar lebih lembut dan menenangkan. Penasaran dengan apa yang ia dengar, Malia beringsut. Dari celah pintu yang terbuka Malia melihat kebersamaan Elizabeth dan Alex. Alex duduk di tepi ranjang membelakangi pintu. Kedua tangannya melingkar ke pinggang Elizabeth yang berdiri, nyaris tak berjarak, di hadapannya. Kepala Alex terbenam di perut Elizabeth, sementara tangan wanita mengusap-usap lembut kepala Alex. Apakah harus seperti itu perlakuan seorang ibu tiri kepada anak tirinya? Malia mengernyitkan dahi sambil menatap Elizabeth dan Alex. Ia lalu kembali ke posisinya semula sebelum Elizabeth menyadari kalau ia sedang mengintip. Gosip itu ternyata benar. "Malia!" Teriakan Elizabeth menyentak Malia. Malia bergegas mendekat ke celah pintu dan memandang Elizabeth dari sana. "Iya, Nyonya." "Ke sini kamu." Elizabeth kembali memperlihatkan perangai aslinya. Tajam mulut dan galak. Malia berjalan tidak terlalu cepat, tapi juga tidak lambat mendekati Elizabeth. Ia menunduk patuh ketika tiba di depan wanita itu. "Kamu urus keperluan Alex. Ingat, jangan sampai ada yang salah atau risikonya kamu akan pulang lebih cepat dari kontrak yang sudah kamu tanda tangani." Peringatan mengancam tercetus dengan ketus dari mulut Elizabeth sesaat kemudian. "Baik, Nyonya." Semampu dirinya Malia bersikap tenang dan santun di hadapan sang nyonya. Ia tidak ingin dipecat di hari pertamanya bekerja. Elizabeth kemudian melihat Alex. Binar matanya seketika meredup dan lebih rapuh dari sebelumnya. Ia memegang pundak Alex dan membelai lembut pundak lebar itu. "Aku akan kembali ke ruanganku. Jika kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa meminta bantuan pada Malia." "Oke." Suara maskulin Alex terdengar pelan dan malas seakan ada keengganan di dalamnya. Dan hanya sesaat setelah Elizabeth pergi, Alex memalingkan wajah dari Malia. "Apakah ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Malia berusaha menjadi berguna untuk Alex. Bagaimanapun, ia harus tetap berada di rumah itu dan ia tidak akan mengabaikan kesempatan untuk dekat dengan sang tuan muda. "Tidak ada. Kamu bisa kembali ke dapur atau ke ruanganmu atau ke mana saja sesukamu." Secara tidak langsung Alex mengusir Malia. Suaranya masih terdengar malas, tapi tajam dan pandangannya masih menembus jendela kamar seakan tidak ingin melihat Malia. Malia mengerti apa yang dipikirkan Alex. Ia baru saja diputuskan Elizabeth. Mungkin. Jadi, suasana hatinya masih sedikit kacau. Seperti itulah anggapan Malia. "Baiklah, Tuan. Saya akan berada di dapur. Jika Tuan membutuhkan bantuan saya, panggil saja." "Iya." Alex tidak sedikit pun melirik Malia. Pria itu masih tidak terpengaruh dengan keberadaan Malia di kamarnya. Melihat Alex tak acuh terhadap dirinya, Malia mundur teratur dari kamar Alex. Ia kembali ke dapur dan bertemu lagi dengan si koki. Malia mengamati wanita berusia lima puluhan itu dengan hati-hati. Ia tampak santai dengan kegiatannya memotong sayuran dari balik meja persegi yang khusus disediakan sebagai meja makan para ART dan dipergunakan untuk kegiatan dapur lainnya. Malia berjalan ke arah meja dan berhenti di seberangnya. Ia berusaha mengakrabkan diri dengan wanita bertubuh subur itu. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" "Panggil saja saya Mbok Bar." Si tukang masak memprotes dengan halus. "Iya, Mbok Bar. Ada yang bisa saya bantu?" "Tuan Alex tidak minta teh?" Mbok Bar mengingatkan kembali tugas Malia yang seharusnya sudah berada dalam catatannya alih-alih menjawab. "Tuan Alex biasanya nge-teh kalau pulang dari kantor." Malia mengembus napas sambil mengangkat kedua alisnya. Ia tahu tugas selanjutnya adalah menghidangkan teh hangat untuk Alex, tetapi Alex memerintahkannya untuk menjauh. "T-tapi Tuan Alex tidak bilang apa-apa pada saya tadi. Dia justru meminta saya untuk tetap berada di dapur sampai dia perlu bantuan saya, Mbok." "Mungkin dia kelelahan setelah seharian bekerja atau dia baru saja ribut sama pacarnya,” duga Mbok Bar. “Sejak kecil Tuan Alex suka mengurung diri dan bersembunyi dari keramaian kalau suasana hatinya sedang tidak baik." Dia baru saja diputuskan Elizabeth, batin Malia mengoreksi dugaan Mbok Bar. "Mbok Bar sudah lama bekerja untuk Nyonya?" "Sejak Nyonya menikah dengan Tuan Darius," jawab Mbok Bar, "diminta atau tidak, sebaiknya kamu menyajikan teh hangat untuk Tuan Alex," saran Mbok Dar kemudian. "T-tapi ...." ekspresi bingung terbit di wajah Malia mengingat titah tuan mudanya tadi. "Percaya sama Mbok. Tuan Alex tidak akan menolaknya." "Iya, Mbok." Malia segera mengambil satu set cangkir dan teko kristal dari lemari gantung lalu membuat teh. Ia kembali ke lantai atas ke kamar Alex dengan baki berisi teko teh hangat dan cangkir kosong. Ia menahan beban baki dengan satu tangan sementara tangan lainnya mengetuk pintu. "Tuan, teh hangatnya." Malia memberanikan diri bersuara. "Aku bilang kamu ...." Suara Alex dengan nada geram dari dalam kamar menyentak Malia. Sabar. Malia mengembus napas menenangkan dirinya sendiri dari keterkejutan atas sikap Alex. Jika saja ia tidak sedang membutuhkan banyak uang, ia tidak akan sudi dibentak-bentak orang lain. "Masuklah." Suara tegas Alex yang melemah akhirnya terdengar sesaat kemudian. Malia tersenyum dalam hati. Ucapan Mbok Bar benar kalau Alex tidak akan menolak. Perlahan-lahan Malia memutar kenop pintu dan kemudian masuk. Ia melihat Alex sedang berdiri di depan jendela sambil bersedekap memandanginya. Raut wajah pria itu terlihat kusut dan matanya memancarkan kilat aneh antara heran, ingin tahu, dan tidak senang. Alex mengamati langkah Malia yang sedikit gugup. Dan ketika Malia mencapai sisi tempat tidur Alex, Alex menghentikannya. "Simpan saja di situ." Alex menunjuk meja kopi di seberang tempat tidur dengan dagunya. Malia mengangguk lalu meletakkan baki dan menata teko berisi teh serta cangkirnya di atas meja kopi. Ia merasa Alex sedang menganalisa dan menilainya. Oleh karena itu, Malia berusaha seluwes mungkin melakukan pekerjaannya agar tidak menimbulkan pertanyaan Alex. "Sudah. Cukup." Alex mencegah Malia yang akan menuangkan teh ke cangkir. Usahanya cukup efektif karena Malia segera meletakkan kembali teko ke posisinya semula. "Keluar!" usir Alex kemudian. Pengusiran Alex meremas-remas hati Malia. Namun, Malia tetap berusaha terlihat profesional. Ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain tenang. Malia mengangguk patuh. "Baik, Tuan." Hari pertama yang menjengkelkan. Malia menggerundel sampai kembali ke dapur dan bertemu lagi dengan Mbok Bar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD