Bab 2 - Gagal Nikah

1039 Words
“Apa?! Kamu nggak jadi nikah sama Jefry?” tanya Stevi, sahabat sekaligus atasan Zea di kantor. Ah, sebenarnya bukan sahabat di kantor saja, melainkan sudah bersahabat sejak mereka masih SMA sampai kini sama-sama berusia 28 tahun. “Di kantor, baru kamu aja yang aku kasih tahu,” balas Zea dengan raut wajah yang kentara sekali sedih, marah, malu hingga frustrasi. Semuanya campur aduk. Stevi yang semula duduk di seberang Zea, langsung pindah ke samping sahabatnya itu. Awalnya ia berpikir Zea hanya bercanda, sampai kemudian ia menyadari tidak ada sedikit pun ekspresi Zea yang mencerminkan sedang membuat lelucon. Jelas Zea serius dengan perkataannya. “Ada apa, Zea?” tanya Stevi sambil meraih tangan sahabatnya itu, bermaksud menguatkan sambil menenangkannya. Usai mengembuskan napasnya perlahan, Zea berkata, “Jefry yang sialan itu … ternyata selingkuh. Parahnya lagi, selingkuhannya sampai hamil.” “Astaga.” Stevi benar-benar tak habis pikir. “Kalau faktanya seperti itu, batal nikah adalah satu-satunya pilihan.” “Ya makanya udah aku batalin. Padahal aku udah nggak sabar banget pengen Mei ini segera berakhir karena pertengahan Juni aku dan Jefry resmi menjadi suami istri, tapi Tuhan memang se-baik itu. Aku diberi tahu sebelum semuanya terlambat.” “Kamu benar, Ze. Seenggaknya kamu belum jadi istrinya. Bisa runyam kalau kalian udah nikah. Cuma tetap aja aku sebel banget sama Jefry. Sialan banget!” Setelah itu, rentetan umpatan keluar dari mulut Stevi. Stevi lalu memeluk Zea. “Kuat-kuat ya, Zea. Kamu pasti bisa melewati semua ini.” Dalam pelukan Stevi, tangis Zea kembali pecah. Padahal Zea kira air matanya sudah habis karena selama weekend kemarin ia menghabiskan waktunya hanya untuk menangis, menangis dan menangis di dalam kamar sendirian. Bukan … Zea bukan menangisi Jefry yang sialan itu. Zea hanya menangisi betapa selama dua tahun ini hidupnya ternyata sia-sia lantaran menjalin hubungan dengan Jefry. Sungguh, Zea yang berpikir kalau Jefry adalah pria sempurna, tapi ternyata bisa-bisanya berbuat se-macam itu. Belum lagi Zea harus menanggung malu karena kabar pernikahannya sudah telanjur tersebar bahkan persiapannya sudah sangat matang. Ah, bisa-bisa Zea menjadi gila! “Jefry itu hampir nggak pernah omes. Sedikit pun nggak. Gimana aku nggak syok saat dia bilang udah bikin hamil seorang perempuan.” “Dia nggak bohong, kan, Ze? Maksudnya ini bukan hanya alasan untuk membatalkan pernikahan?” Zea melepaskan pelukan sahabatnya, lalu dengan masih duduk saling berhadapan … wanita itu berkata, “Ternyata mereka udah menjalin hubungan lumayan lama. Selama ini, Jefry bahkan rutin mengantar perempuan itu saat mau kontrol ke dokter kandungan. Parahnya lagi beberapa kali bayarnya pake uang aku. Sinting, kan?” “Astaga….” “Aku heran bisa-bisanya dia berani merencanakan pernikahan sama aku padahal dia udah menghamili perempuan lain. Sialan banget!” Zea kembali berbicara, “Apa dia sengaja mau memanfaatkan aku? Dia butuh ATM berjalan, kan? Karena selama ini aku cukup berkontribusi membereskan masalah finansial si berengsek itu meskipun aku nggak kaya-kaya banget. Ah, bisa-bisanya aku se-bodoh itu.” “Udah, udah. Jangan menyalahkan diri karena kamu korban dan dia pelaku. Jefry yang patut disalahkan.” “Aku pikir kamu satu-satunya orang yang bisa aku ceritakan permasalahan ini. Kalau orang lain, belum tentu memberi respons kayak kamu, Stev. Bisa-bisa aku dihakimi bodoh, terlalu bucin dan lain-lain.” “Itu sebabnya pertemanan kita awet. Pada dasarnya kita memang satu frekuensi,” balas Stevi. “Terus, orangtua kamu udah dikasih tahu?” tanyanya kemudian. “Udah dan mereka pun nggak kalah frustrasi. Mereka kecewa banget, apalagi harus menanggung malu karena udah mempersiapkan ini dan itu. Belum lagi harus menjelaskan ke saudara-saudara yang lain kenapa pernikahan dibatalkan.” Zea masih berbicara, “Stev, aku pikir aku baik-baik aja. Tapi ternyata … aku nggak baik-baik aja. Pikiranku kacau seperti benang kusut. Apalagi kalau semua orang tahu, mentalku pasti nggak siap dengan rasa malunya.” Stevi kembali memeluk Zea. Ia menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu, berusaha menenangkannya. “Kamu tahu apa yang lebih konyol? Usia kehamilan perempuan itu udah lebih dari dua puluh empat pekan.” “Berengsek! Jefry memang setaaan!” umpat Stevi lagi. “Padahal Jefry ini kelihatannya baik dan kalem. Ternyata diam-diam bikin bunting anak orang!” “Padahal aku udah ngajuin cuti nikah.” “Ya ampun, nanti biar aku yang bilang sama HRD supaya dibatalin atau mau diganti aja cuti tahunan? Kamu butuh liburan, Ze.” Soal karier, jelas berbeda. Di perusahaan milik orangtua Stevi ini … wanita itu menjadi manajer cabang untuk Bank Forena, sedangkan Zea hanyalah teller biasa. Namun, Zea tidak pernah iri pada pencapaian sahabatnya itu terlebih Stevi sendiri mengakui betapa posisinya sekarang adalah hasil nepotisme orangtuanya. Stevi berbicara lagi, “Kamu mau liburan ke luar negeri? Sebut aja negara mana? Aku sponsorin seratus persen menggunakan uang pribadiku, asalkan kamu bisa move on dan kembali melanjutkan hidup seperti biasa. Kamu butuh pengalihan, jadi liburan dululah sebulan ini.” Soal betapa royal dan loyal, Stevi memang juaranya. “Aku memang pengen banget menenangkan diri, tapi cuti bukanlah solusi. Aku maunya dimutasi.” “Tunggu, serius kamu pengen dimutasi? Ke mana?” “Serius banget, aku butuh suasana baru. Kalau bisa ke cabang Forena yang sejauh mungkin. Lebih disukai kalau tempatnya masih alami dan ada pantainya. Adakah cabang Forena yang begitu?” “Setahuku ada … di Senjaratu. Aku hanya tahu namanya aja karena hampir nggak ada yang betah setiap ada yang dimutasi ke sana. Katanya, di sana seperti dunia lain yang kehidupannya beda banget sama di sini. Atau mau ke cabang sebelah aja?” “Percuma kalau tetap di Jakarta, Stev. Aku maunya pergi ke tempat yang sangat jauh dan nggak terjangkau oleh orang-orang yang aku kenal. Cepat atau lambat kabar batalnya pernikahanku pasti tersebar dan pastinya bakalan malu banget. Aku nggak siap, jadi aku mau ke tempat yang kamu maksud tadi.” “Senjaratu?” “Ya, Senjaratu,” jawab Zea penuh keyakinan. “Kamu nggak perlu sponsorin aku sampai puluhan bahkan ratusan juta buat biaya liburan ke luar negeri selama sebulan penuh. Enggak usah, Stev. Tapi tolong bantu aku pindah ke Senjaratu.” “Kamu mau berapa lama? Sebulan, kan?” “Setahun juga nggak apa-apa, Stev. Aku hanya ingin menjernihkan pikiranku di tempat yang tenang dan tentunya dengan suasana baru serta nggak ada siapa pun yang aku kenal di sana.” Terutama, aku butuh tempat untuk melarikan diri….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD