Mentari bersanding dengan awan biru yang terlihat mempesona. Dedaunan menari dalam hantaran angin sepoi yang menerpa. Rana berangkat kerja dengan tetap memakai sepeda bututnya. Pandangannya lurus tanpa melihat sekelilingnya. Tatapan matanaya begitu tajam. Menyusuri jalanan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang. Selain itu para anak manusia pun memadati jalan dengan segala tujuan yang tak sama.
Sesampainya di restoran, Rana tak langsung memarkir sepedanya. Dia memandang ke seluruh penjuru dan matanya seolah ingin menerkam mangsa. Perlahan dilangkahkan kakinya menuju pintu utama. Dilihatnya karyawan-karyawan yang lain telah bersiap untuk mengabdikan diri demi sebuah rupiah. Ada yang membersihkan lantai, menyiapkan tempat duduk, membereskan meja dan beberapa peralatan lainnya.
Rana berjalan dengan langkah lebih pelan. Menatap kembali para karyawan yang berkutat dengan tugasnya masing-masing. Roni adalah karyawan yang pertama kali dilewati oleh Rana. Spontan Roni pun kembali berilah dengan mulutnya.
“Hai Na, gak usah patah hati begitulah,” ungkap Roni
Karyawan yang lain saat mendengar apa yang dikatakan Roni pun kembali menimpali dengan segera.
“Patah hati karena siapa sih? Serius banget”
“Sama siapa lagi kalau bukan sama si bos”
“Gak sadar diri banget ya...buruk rupa itu pantasnya jatuh cinta sama buruk rupa. Masak pungguk merindukan bulan”
Semua celotehan itu Rana dengar, telinganya terasa panas. Kata-kata itu lebih pedas dari pada sambal level akut sekalipun. Rana hanya terdiam. Lalu pandangan matanya mengarah ke arah Roni. Ditatapnya mata itu tepat pada bola matanya. Sesaat Ran memejamkan matanya dan mulutnya pun telah mengucapkan sesuatu yang tak bisa didengar oleh siapa pun. Setelah selesai berkomat-kamit Rana pun meniup ke arah Roni. Tak lama Roni pun tak bisa berkutik. Mulutnya terbungkam, lalu pandangannya tertunduk, dia memilih berdiri di belakang Rana.
Semua karyawan yang melihat hal itu merasa aneh. Semua tak berani berkomentar lagi tentang Rana. Mata Rana seperti elang, tajam dan menikam. Dia pun tak melakukan apa-apa lagi, selain berjalan menuju tempat cuci piring, sedangkan Roni seperti b***k yang taat sekali pada Rana. Berjalan di belakang Rana dengan santun tanpa riuh.
Sekejap langkah Rana terhenti, dia melihat lelaki yang amat dicintainya itu berjalan menuju kamar mandi di sebelah ruangan Rana yang digunakan untuk mencuci piring, dengan gerak cepat Rana pun ingin menghampirinya. Ingin segera menatap lebih dekat pujaan hatinya. Rana menunggu dengan perasaan berdebar-debar. Menunggu di samping pintu dan Roni pun mengikuti tanpa disuruh.
Tak lama pak Bowo pun keluar dari kamar mandi, dengan penuh keberanian Rana pun menghadang pak Bowo. Dia ingin segera mengungkapkan apa yang dirasakannya. Rana bertekad dengan penuh semangat. Dia ingin mengungkapkan rasa yang selama ini dipendamnya. Dia percaya bahwa mantra yang dipunya akan meluluhkan hati sang pujaan hati.
Sebelum mantra itu diucap, Rina dari jauh berlari ke arah Bowo. Dipeluknya kekasihnya itu sebagai ungkapan kerinduan yang dalam. Meski setiap harinya mereka bertatap muka tapi cinta tak bisa membohongi jika kebahagiaan pasti datang saat perjumpaan.
“Hai sayang, aku mencarimu di ruanganmu, ternyata kau di sini,” sapa Rina dengan mesranya
“Kamu sudah datang dari tadi?” tanya Bowo
“Sudah lima belas menitan sayang, aku mencarimu,” terang Rina
“Baiklah...ayo ke ruangan,” ajak Bowo
Rina dan Bowo pun berlalu dari hadapan Rana. Tangan Rana mengepal seperti ingin menghantam dengan keras. Hatinya tercabik-cabik. Terluka oleh rasa yang mempermainkan keadaan. Baru saja Rana ingin beraksi dengan mantranya, tapi sia-sia karena kedatangan Rina.
Suasana restoran yang ramai serasa sepi bagi Rana. Hatinya kosong. Dia ingin menjerit dalam kediaman. Tak bisa ditahannya rasa yang semakin membelenggu itu. Ingin sekali dia ungkapkan pada Bowo yang selalu membayangi pikirannya. Rana memutar otak. Dia pun memanggil Roni yang terlihat selesai mengantarkan makanan pelanggan.
“Roni, buatkan minuman untuk bu Rina sekarang”
Roni pun mengangguk dan segera mengikuti arahan yang diberikan Rana. Mengambil gelas, memeras jeruk dan minuman itu pun telah siap dihidangkan kepada bu Rina.
“Roni, berikan saos dan merica pada minuman itu,” seru Rana dengan wajah menahan amarah
“Baik,” jawab Roni singkat
“Kalau sudah, antarkan minuman itu pada bu Rina”
“Iya”
Tak lama kemudian, Roni pun menuruti apa yang Rana inginkan. Minuman jeruk itu dicampur saos dan juga merica bubuk. Diantarkannya ke ruangan pak Bowo dan dihidangkan khusus untuk Rina. Rana dari kejauhan menatap penuh keseriusan. Beberapa menit kemudian minuman itu diminum Rina. Setelah masuk di tenggorokan, batuk hadir tanpa diminta. Rina pun tersedak. Lalu dia segera masuk ke kamar mandi untuk mengeluarkan apa yang telah diminumnya.
Melihat Rina yang tak ada di samping Bowo. Rana segera beraksi. Dia segera menuju ruangan Bowo. Dilihat Bowo seorang diri dan duduk di kursi kerjanya.
“Ada apa Rana?” Bowo melihat Rana yang datang tanpa permisi
Rana mengunci mulutnya, dia tak menjawab pertanyaan majikannya itu. Melangkah mendekat ke arah Bowo. Bowo pun merasa heran, seperti ada sesuatu yang tak biasanya. Bowo pun mengulangi pertayaannya.
“Ran, ada perlu apa?”
Rana tetap diam dan langkahnya semakin dekat ke arah Bowo. Tatapan mata Rana tertuju tepat ke arah Bowo. Bowo pun berdiri dari kursinya dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama.
“Ada apa kamu kemari?”
Rana masih saja terdiam. Dia telah berdiri tepat di hadapan Bowo. Matanya lurus dan menatap tajam ke mata Bowo. Rana segera membaca mantra, dipejamkan matanya. Setelah selesai dengan mantranya Rana segera meniupkan ke arah Bowo. Bowo yang tadinya terus bertanya tentang maksud Rana memasuki ruangannya, kini dia hanya diam tanpa bertanya apa pun lagi. Bowo menatap Rana dengan kesungguhan. Dua pandangan itu telah bersatu. Bulir rasa yang runtuh seakan telah kembali utuh. Selaksa cinta yang diharapkan Rana seolah telah terjawab.
Rina keluar dari kamar mandi. Melihat laki-laki yang dicintainya itu menatap Rana penuh rasa yang tak biasanya. Rina memisahkan pandangan keduanya. Berada di tengah-tengah Bowo dan Rana.
“Apa yang kalian lakukan, pergi kamu Babu!!”
Rina terkuak emosinya, dia menyuruh Rana untuk menghilang dari pandangannya segera. Tapi itu tak dilakukan Rana, dia tetap menikmati pandangan Bowo yang tak lepas dari matanya. Rina semakin geram dengan mata Bowo yang menatap tajam ke arah karyawannya itu.
“Sayang...apa yang kamu lihat itu?”
Bowo semakin fokus dengan wajah Rana. Apa yang dikatakan Rina tak membuatnya memalingkan wajah dari Rana. Dia tetap menatap penuh ketenangan.
“Mas Bowo, coba lihat aku,” seru Rana
“Pergi kamu Rina, aku ingin di sini berdua dengan Rana”
Rana tersenyum lebar dengan apa yang diucapkan Bowo. pandangan itu semakin tajam dan semakin dalam. Rina seperti kebakaran. Dia tak mengerti apa yang dilakukan calon suaminya itu. Tanpa sadar jeritan bergemuruh seperti petir yang menyambar dengan kerasnya.