"Gue nitip ini aja deh, Sal. Lo bilang kalau gue udah siapin dari lama." Zhaira menyerahkan sebuah kotak kado berukuran sedang pada Salsa.
"Apa nanti Silmi nggak curiga, Zha?"
"Nggak bakal. Makanya lo bilang, kalau gue udah siapin ini sejak lama," ucap Zhaira meyakinkan Salsa.
Salsa menghela napas berat, melangkah ke arah dinding jendela di kamar Zhaira. "Apa nggak sebaiknya Silmi tahu tentang lo? Kita ini udah berteman sejak SMA loh, Zha. Masa main rahasia-rahasiaan. Dan lagi, ini hari bahagia buat Silmi."
"Gue juga nggak mau kayak gini, Sal. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat buat Silmi tahu semuanya," ujar Zhaira.
"Terus waktu yang tepat itu kapan, Zha?"
Zhaira menggeleng lemah. "Gue malu sama Silmi, terlebih sama keluarganya."
Salsa melangkah mendekati Zhaira dan duduk di sebelah gadis itu. "Silmi itu baik, Zha. Dan kita tahu itu. Dia pasti seneng banget denger kabar dari lo."
"Ini bukan masalah baik atau nggaknya, Sal. Lo nggak bakal ngerti sama perasaan gue. Bertahun-tahun Papi bekerja di kantor Om Lukman, sampai Om Lukman memberi kepercayaan sama Papi buat pegang salah satu kantornya. Tapi apa balasan Papi atas kebaikan Om Lukman dan keluarganya, Sal?" ucap Zhaira dengan bibir bergetar. Kedua matanya kembali meneteskan bulir cairan hangat.
Salsa memeluk tubuh Zhaira, mengusap bahu gadis itu. Ini memang berat.
"Ya udah, kalau ini keputusan lo. Gue hargai, Zha. Biar gue kasih ya, kadonya ke Silmi," ucap Salsa sembari menatap lembut pada Zhaira.
"Makasih, Sal."
*****
Resepsi di adakan setelah maghrib di hotel, Silmi tampak cantik dan juga anggun dengan memakai gaun resepsinya berwarna silver.
Salsa turun dari dalam mobil lalu melangkah anggun ke dalam hotel bersama dengan para tamu undangan lainnya. Tak lupa membawa kado titipan dari Zhaira. Senyum Salsa mengembang saat melihat Silmi duduk di atas pelaminan dengan laki-laki yang sepertinya suami Silmi. Salsa memang tidak tahu rupa suami Silmi sebelumnya.
Silmi berdiri saat melihat Salsa tengah melangkah dengan senyum lebar padanya. Ia merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Salsa.
"Aaaaa, temennya acu udah married!" seru Salsa seraya memeluk Silmi. "Selamatnya ya, Zeyeng."
"Makasih, Sal. Semoga kamu cepat nyusul ya," ucap Silmi tersenyum senang dengan kedatangan Salsa.
Pandangan Salsa teralih saat melihat sosok laki-laki yang berdiri di sebelah Silmi. "Eh, ini laki lo, Sil?" tanya Salsa setengah berbisik sembari tersenyum genit.
Silmi terkekeh pelan. "Iya, Sal." Kemudian Silmi menoleh pada Gibran yang telah menjadi suaminya. "Mas, ini temanku, Salsa. Dan Salsa, ini suamiku, Mas Gibran," ucap Silmi mengenalkan dua orang kesayangannya.
Gibran tersenyum sopan, sedangkan Salsa dengan genitnya mengedipkan sebelah mata pada Gibran.
"Laki lo uwwuu banget sih, Sil. Cariin gue yang modelan kayak gini dong," ucap Salsa yang membuat Silmi tertawa pelan.
"Eh, by the way, lo makin cantik aja semenjak berhijab," puji Salsa.
Silmi tersenyum manis. "Alhamdulillah, Sal. Kamu kapan berhijab?"
"Doain aja ya, Sil. Biar gue cepetan taubat," ucap Salsa tersenyum lebar. "Oh ya, ini gue ada kado dari Zhaira. Dia udah nyiapin ini sejak lama."
Silmi terdiam shock menatap ke arah kado yang Salsa berikan padanya. Dengan tangan bergetar, Silmi mengambil alih kado tersebut dari Salsa.
"Aku kangen banget sama Zhaira, Sal. Seandainya dia masih ada di dunia ini, pasti sekarang ada ditengah-tengah kita," ucap Silmi dengan mata berair. Salsa mengusap bahu Silmi.
Gibran yang mendengar kata Zhaira jadi ingat pada kejadian lalu dimana Fairel shock saat mendengar kabar mengenai gadis bernama Zhaira itu. Bahkan sampai sekarang, Fairel belum menceritakan tentang Zhaira. Setiap kali ia bertanya itu, Fairel selalu saja menghindar.
Salsa mengusap air mata yang berhasil lolos membasahi pipi Silmi. "Ini hari bahagia lo, Sil. Jangan ada air mata kesedihan. Gue yakin, Zhaira pasti bahagia lihat temannya menikah."
"Iya, Sayang. Teman kamu pasti nggak mau lihat kamu nangis. Dia udah bahagia di jannah-Nya," ucap Gibran dengan lembut seraya mengusap sisa air mata di pipi istrinya.
Silmi mendongak menatap Gibran lalu mengangguk. Dan dalam satu kedipan mata, Gibran melayangkan kecupan ringan pada dahi Silmi, membuat Salsa yang menyaksikan keromantisan pengantin baru itu berdecak kesal.
"Udah deh, jangan buat gue tambah iri sama kalian," cebik Salsa membuat pengantin baru itu terkekeh pelan.
Dari arah belakang Salsa, Fairel melangkah ke atas pelaminan.
"Ran, Sil, gue pamit balik dulu ya."
Suara di belakang, membuat Salsa sontak menoleh dan melongo bodoh melihat laki-laki yang tak asing di matanya.
"Buru-buru banget sih," ucap Gibran menatap kesal pada Fairel.
"Nanti malam gue balik lagi ke sini," ucap Fairel.
Gibran menghela napas berat. "Ya udah deh, tapi janji ke sini lagi ya." Fairel menjawabnya dengan anggukan.
Silmi yang melihat Salsa terus mendongak menatap Fairel, terkekeh geli lalu menepuk pelan pundak gadis itu. "Jangan mata, Sal."
Mendengar itu, membuat Fairel dan Gibran menoleh pada Salsa yang sedang cengengesan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kamu bukannya cewek yang di Maluku dulu, kan? Kamu ingat saya kan?" tanya Fairel, membuat Gibran dan Silmi mengerit bingung.
Salsa tersenyum malu sembari mengangguk. "Ingat dong, cowok seganteng lo mah susah buat dilupain."
Mengabaikan kegenitan Salsa, terbesit dalam pikiran Fairel untuk menanyakan kebenaran tentang Zhaira. Sepertinya, Salsa jauh lebih dekat dengan Zhaira daripada Silmi. Terbukti saat di Maluku waktu itu, mereka hanya berdua.
"Boleh saya bicara sebentar dengan kamu?" tanya Fairel, membuat Salsa menganga tak percaya dan langsung mengangguk begitu saja.
"Mari ikuti saya," ucap Fairel sebelum berjalan memimpin.
"Sil, gue mau ngobrol sama cogan dulu ya. Bye!" Salsa segera melangkah mengikuti Fairel.
Fairel membawa Salsa ke tempat yang sedikit jauh dari keramaian para tamu undangan.
"Lo mau ngomong apa?" tanya Salsa.
"Saya mau bertanya tentang Zhaira," ucap Fairel menoleh sekilas pada Salsa. Mendengar itu, sontak membuat Salsa terkejut.
"Mau nanya apa?" tanya Salsa dengan berbagai pertanyaan yang masuk ke dalam otaknya.
"Apa benar, dia sudah meninggal?" tanya Fairel dengan pandangan lurus ke depan.
Salsa terdiam sejenak seolah berpikir. Darimana Fairel tahu tentang kabar Zhaira? Dan kenapa Fairel menanyakan Zhaira?
"Kenapa diam?" tanya Fairel.
"Kenapa lo nanya Zhaira?"
"Bisa kamu jawab pertanyaan pertama saya terlebih dahulu?" Fairel menoleh sekilas pada Salsa.
Salsa mengangguk. "Ya."
"Dimana tempat peristirahatan terakhirnya?"
"Gue nggak tahu. Saat di rumah sakit, Zhaira hilang. Dan sampai sekarang nggak ada yang tahu keberadaan dia. Polisi sudah membantu untuk mencarinya, tapi tidak ada hasil," ujar Salsa.
Fairel mengusap wajahnya. Jawaban yang sama dengan apa yang dikatakan Silmi.
"Tapi kenapa hati saya sulit mempercayai itu?"
Salsa memicingkan mata menatap laki-laki itu. "Sebenarnya ada hubungan apa antara lo sama Zhaira? Bukannya waktu ketemu di Pantai Ora juga kalian--"
"Saya harus pergi. Assalamualaikum," pamit Fairel dan langsung melangkah meninggalkan Salsa seorang diri dengan kepala yang dipenuhi banyak pertanyaan.
*****
Fairel berdiri di balkon kamarnya. Menatap gemerlap lampu kota yang menyala. Hati kecilnya sulit mempercayai informasi yang ia dapat dari kedua teman Zhaira.
"Ya Allah, berikan petunjuk kepada hamba mengenai Zhaira. Mudahkan kami untuk kembali bertemu dalam keadaan baik. Karena jujur, hati ini sulit mempercayai kabar Zhaira yang sudah Engkau panggil, Ya Allah."
*****
Brak!
Zhaira terlonjat kaget saat di kejutkan dengan kedatangan Salsa.
"Lo nggak akan percaya sama yang bakal gue bilang, Zha!" Salsa duduk di sebelah Zhaira, mengambil alih cup es krim yang tengah gadis itu nikmati.
Zhaira mendengus kesal menatap Salsa. "Emang apa yang bakal lo bilang?"
Salsa memasukan sesendok es krim ke dalam mulutnya terlebih dahulu sebelum mulai bercerita.
"Asal lo tahu, Zha. Gue baru aja ketemu sama cowok yang waktu di Maluku dulu, Zha!" seru Salsa heboh.
Zhaira yang langsung konek, terkejut dengan apa yang di sampaikan oleh Salsa. "Seriusan lo?"
Salsa mengangguk mantap. "Dan yang bikin lo makin nggak percaya itu, dia nanyain lo, Zhaira!"
Zhaira merasa jantungnya berdegup kencang. Matanya terbelalak kaget dengan mulut menganga tak percaya.
"K-kok bisa?"
"Juga juga nggak tahu, Zha."
Zhaira menundukkan pandangannya. Perlahan, kedua sudut bibir gadis itu tertarik ke atas membentuk senyuman. Laki-laki yang telah memikat hatinya dalam waktu sekejap itu, menanyakan dirinya? Oh God! Zhaira merasa banyak lebah yang tengah memproduksi madu dalam perutnya.
"Dia kayak pasrah gitu pas gue bilang lo udah meninggal. Terus, pas gue tanya kenapa dia nanyain lo, dia malah pamit pergi. Aneh banget kan, Zha?" tanya Salsa sembari menikmati es krimnya. Merasa tak ada respon dari Zhaira, ia menoleh dan mendapati gadis itu tengah tersenyum-senyum sendiri.
"Eh, Zha! Lo gila?" Salsa menggoncangkan pundak Zhaira, membuat lamunan gadis itu buyar seketika.
"Lo ketemu dimana sama dia?" tanya Zhaira dengan mata berbinar.
"Di nikahannya Silmi. Kayaknya dia temen suaminya Silmi deh."
Zhaira ber'oh' ria sembari mengangguk-anggukan kepalanya. Membuat Salsa memicing curiga.
"Lo kenapa sih, Zha? Jangan-jangan lo naruh hati sama dia?" tebak Salsa, mendengar itu Zhaira langsung tersenyum lebar dan semakin membuat Salsa terkejut.
"Gimana bisa?! Lo kan benci banget sama dia, Zha. Lo sendiri loh ya bilang." Salsa mengerit bingung pada Zhaira.
Zhaira bersandar pada penyangga sofa. "Gue percaya, kalau dari benci bisa jadi cinta, begitupun sebaliknya. Dan gue ngalamin itu, Sal."
Salsa semakin tak mengerti dengan apa yang ada dipikiran Zhaira.
"Jujur, pertama kali gue ketemu dia. Gue benci banget, karena dia udah seenaknya ceramahi gue sama lo. Lo ingat nggak, waktu gue bilang ada yang mau culik gue di toilet?" tanya Zhaira.
Salsa mengangguk. Ia ingat benar saat menyusul Zhaira ke toilet karena lama, dan Zhaira mengatakan kalau ada orang yang hendak menculiknya.
"Yang nolongin gue itu dia, Sal. Namanya, Fairel. Dia yang bilang sendiri tanpa gue tanya. Dan sejak saat itu, sikap dia yang aneh dari cowok-cowok lain, buat gue penasaran. Gue coba buat tepis dia dari pikiran gue dan coba untuk bersikap biasa," ujar Zhaira dengan bayang-bayang di pikirannya.
Salsa masih terdiam menunggu lanjutan cerita Zhaira.
Zhaira menarik senyum. "Di pertemuan ketiga kalinya. Gue bener-bener terpikat sama dia, Sal. Lo tahu, dia nggak berani natap gue lebih dari sepuluh detik. Bukan tanpa sebab, dia ngelakuin itu karena menjaga pandangannya. Gue kagum, Sal. Gue tahu, bukan cuma dia yang bisa ngelakuin itu. Tapi selama ini, nggak ada cowok lain yang ngelakuin itu sama gue selain dia. Fairel."
Salsa mulai mengerti alur cerita Zhaira. Ia diam menjadi pendengar yang baik.
"Terus, waktu di pesawat. Gue sibuk cari nama akun i********: dia, sampai gue ngacuhin lo," kekeh Zhaira saat mengingat saat-saat dimana ia sibuk merangkai kata di kolom pencarian, dan menganggap rengekan Salsa seperti angin lalu.
Salsa berdecak kesal. "Oh, jadi lo duain gue waktu itu karena nyari akun Instagramnya Fairel? Pantesan aja," cibirnya membuat Zhaira terkekeh pelan.
"Gue berhasil nemuin akunnya. Tapi sayang, gue nggak bisa stalk waktu itu. Akunnya bersifat pribadi. Dan gue terlalu gengsi buat follow dia. Rencananya gue mau buat akun fake buat follow i********: Fairel. Tapi takdir buruk lebih dulu gue terima, sampai enggan buat buka i********: lagi," ucap Zhaira dengan nada sendu.
Salsa menghela napas panjang. "Terus sekarang gimana? Dia ada di sekitar lo, Zha. Apa lo tetep bakal tutupi ini dari orang yang lo cintai?"
Zhaira terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Hidup gue bukan cuma buat mengejar cinta, Sal. Apalagi keadaan gue lagi kayak gini. Gue pengen bangkit dari keterpurukan ini, Sal."
Salsa tersenyum paham sembari memgangguk. "Gue ngerti, Zha."