8. Frustrasi

1177 Words
"Apa begini, Tuan?" tanya Alice begitu tangannya memijat lengan Damian. Pria itu mengangguk pelan. "Ya, begitu. Teruskan, Alice ..." Sebenarnya Alice merasa canggung saat harus dihadapkan dengan situasi yang begini. Seumur-umur dia menjadi seorang asisten rumah tangga, tidak sekali pun dia berani memijat tuannya. Terlebih ketika tahu tuan rumahnya ini memiliki usia yang masih terbilang cukup muda. Mereka hanya terpaut beberapa tahun saja. Dan Alice merasa awkward karenanya. Dan selama itu, jantungnya tidak berhenti berdegup. Dia merasa hampir g i l a karena harus berusaha keras menahan sesuatu yang berdesir di dalam sana. "Terasa nikmat, apa sebelumnya kau juga pernah melakukan ini, Alice?" "Eh, m-melakukan apa?" Kedua bola mata Alice membulat sempurna. Damian terkekeh. Dia tahu, Alice pasti sama gugupnya dengan dia. "Memijat, Alice. Memangnya apa lagi yang kau pikirkan selain itu, hm?" "A-ah tidak, Tuan. Aku hanya ..." Cepat-cepat Alice menggeleng. Dia tidak melanjutkan ucapannya, gadis manis itu menggaruk bagian belakang telinganya dengan canggung. Ya Tuhan, apa-apaan dia ini. Kenapa bisa berpikiran sejauh itu? Di mana image gadis polos yang sejak dahulu dia bangun, mengapa bisa berubah secepat itu? Argh, keberadaan Damian benar benar membuatnya hampir g i l a, dia sudah seperti gadis tidak waras. Karena tidak ingin memikirkan hal yang bukan-bukan, Alice memutuskan untuk segera menyelesaikan pekerjaannya supaya debaran ini juga lekas pergi. Kedua tangannya mulai turun, dia hendak beralih memijat bagian perut Damian. Namun, begitu tangan mungilnya menyentuh bagian sixpack itu, tangan Alice bergetar. Dia merasa ragu antara memijat atau tidak. Sebab, ini menjadi kali pertama dia menyentuh bagian tubuh lawan jenisnya sampai sejauh ini. Meskipun tertutup kaos tipis, tapi tetap saja. Alice tidak bisa melakukannya. "Aku tidak bisa melakukannya," ucap Alice lirih. Damian mengernyit. "Mengapa begitu? Apa pakaianku menghalangimu, Alice? Kalau begitu biar aku lepas saja pakaian in—" "Ah, tidak!" pekik Alice sontak menghentikan ucapan Damian. "Maaf, maksudku .. aku hanya tidak terbiasa memijat di bagian perut. Khawatir kukuku akan menyakiti anda, Tuan." Dia berdalih. Mendengar itu Damian tersenyum tipis. "Tidak masalah, lakukan saja." Demi apa pun ingin rasanya Alice berteriak dan segera lari saat itu juga. Untuk pertama kalinya dia ingin waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Alice tidak nyaman berada di posisi yang seperti ini. Dia khawatir dengan kesehatan jantungnya. Terlebih saat aroma tubuh Damian mulai menyeruak memenuhi penciumannya. Alice tidak bisa. Masih dengan gemetaran gadis itu mulai meletakkan tangannya di sana. Dia memijat bagian itu dengan perlahan. Sementara itu, Damian yang semula memejamkan mata mendadak mengigit bibir bawahnya sendiri. Dia melirik Alice dengan tatapan yang sulit di artikan. Mendadak, tangan kekarnya meraih lengan milik Alice, memaksa gadis itu menghentikan aktivitasnya. "T-tuan, anda ..." "A-Alice aku—" Cklek! "Damian, aku membawakan— APA-APAAN INI?" Seketika pegangan pada lengan Alice terlepas, Damian cepat-cepat duduk masih dengan wajah canggungnya. Sementara Alice cepat-cepat berpamitan untuk keluar kamar. Gadis itu pergi begitu saja saat menyadari ada seseorang yang masuk. "Wah wah, belum ada sepekan dia bekerja di sini, tapi kau sudah mulai mendekatinya, ya ..." Andrew tertawa ringan. Pria yang sedang membawa map merah itu memutuskan duduk di sisi ranjang, memperhatikan pria yang tampak frustrasi seraya mengusap wajahnya sendiri kasar. Dia menepuk bahu Damian pelan. "Tidak perlu gugup begitu, Pak. Kau ini bukannya sudah biasa begitu, hm?" Dia malah semakin menggoda, menaik turunkan kedua alisnya. Damian mendecak, menepis tangan Andrew dengan kasar. "Kau ini! Apa orang tuamu tidak pernah mengajari mu sopan santun, huh? Tidak bisakah ketuk pintu sebelum masuk ke kamar orang?" tanyanya dengan nada kesal. Demi Tuhan ingin rasanya Damian melahap habis isi otak Andrew. Betapa tidak, pria itu datang di saat yang tidak tepat. Apa lagi main masuk begitu saja. Menyebalkan. Melihat Damian yang tampak kesal, Andrew justru semakin menertawakan pria itu. Sebagai orang yang sudah bekerja lebih dari dua tahun di perusahaan ini, Andrew cukup paham bagaimana tabiat atasannya ini. Mereka bahkan sudah seperti saudara sendiri. Tidak ada panggilan bos atau pak, semua itu hanya akan dilakukan jika mereka sedang berada di perusahaan atau sedang menghadiri rapat penting. Selebihnya, Damian sudah seperti saudara nakalnya. Mereka juga tidak punya perasaan canggung satu sama lain. "Apa sekarang posisi Alexis sudah berhasil digeser orang lain, hm?" Damian mendecak. "Tidak. Sampai kapan pun Alexis akan menjadi yang utama di hatiku. Alice itu hanya pelayan di rumah ini, dia tidak mungkin bisa menggeser posisi Alexis!" jawabnya berseru. Sekali lagi Andrew tertawa remeh. Terkadang, berbicara dengan orang yang egonya tinggi memang sulit. Apa lagi Damian yang cukup memiliki tingkat gengsi yang cukup tinggi juga. "Sungguh? Kalau begitu, bagaimana jika pelayanmu itu untukku saja? Aku tidak masalah jika harus mempunyai kekasih seorang pelayan. Itu justru tidak akan merepotkan tugasku di rumah, bukan?" "Tch! Tutup mulutmu, Andrew. Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan Alice terjerat oleh pria playboy seperti dirimu. Dia berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik!" desisnya. "Wah wah, kau ini tipikal bos yang sangat perhatian sekali dengan pelayan rumahmu ternyata. Bukan kah itu men—" "Sudah, tutup mulutmu atau aku yang akan menyumpalnya dengan bantal!" gertak Damian. Pria itu sudah geram sekali dengan Andrew yang datang datang mengajak ribut. " ... sekarang katakan apa maumu? Untuk apa kau datang ke rumahku malam malam begini?" Andrew mengangguk pelan. Pria itu menyerahkan map merah yang semula dia bawa. "Soal penawaran kerja sama waktu itu. Tuan Levinson kembali merevisi beberapa perjanjian kontraknya. Kurasa kau harus membacanya sendiri karena ada beberapa hal yang cukup ambigu. Ini bisa menjadi boomerang untuk perusahaan kita ke depannya." Dia menyodorkan map merah itu. Damian menerima dan membacanya sekilas. Dia tersenyum miring. "Tak kusangka dia pandai sekali memainkan kalimat. Hmm, kalau begitu suruh dia untuk datang sendiri ke kantor besok pagi. Kita akan membahasnya langsung. Jangan lupa setel CCTV dan rekaman suara di ruang pertemuan. Aku yakin, suatu saat kita akan membutuhkan kaset rekaman itu," ujarnya tersenyum licik. Damian melipat kedua tangannya di depan d a d a. "Tuan Levinson, sepertinya dia ingin bermain-main dengan kita." Sedangkan, Andrew yang tidak paham dengan maksud Damian hanya mengangguk patuh. Padahal dia sudah yakin jika Damian akan menolak perjanjian kerja sama itu, tapi rupanya dia salah. Damian justru menerima kontrak yang sangat abu-abu itu. "Baiklah, aku akan suruh orang mempersiapkan segalanya. Kalau begitu aku pamit dulu. Kau ... lanjutkan saja apa yang belum selesai tadi," bisik Andrew menepuk bahu Damian sembari berlalu. Damian mendecak. Melempar Andrew itu dengan bantal besar. "B a j i n g a n!" serunya kesal. "Kau ini seperti orang yang sudah bosan bekerja saja!" gerutu pria itu kembali mengusap wajahnya dengan kasar. G i l a. Dia benar-benar sudah g i l a. Hanya karena seorang pelayan kecil emosinya menjadi naik turun begini. S i a l a n. Seandainya saja Alice tidak begitu mirip dengan Grisa, mungkin rasanya akan jauh berbeda. Damian pikir dengan membawa Alice pulang akan mengobati kerinduannya dengan sang mantan kekasih, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dia justru merasa ingin memiliki Alice. Dia ingin menjadikan Alice sebagai Grisa. Dia ingin Alice menjadi Grisa untuknya. Untuk mengobati lara hatinya. Tidak, ini tidak benar. Dia tidak bisa memaksa siapa pun untuk menjadi orang lain. Tapi, untuk mengendalikan diri rasanya terlalu sulit. Alice benar-benar mengacaukan pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD