Sepeninggalan Alexis, Damian mengacak rambutnya sendiri dengan kasar. Dia berjalan menghampiri Alice yang ternyata sudah mematikan televisi dan beranjak untuk pergi itu. Seketika keningnya berkerut dalam.
"Alice!" panggil Damian.
Alice menoleh, gadis manis itu menundukkan badannya dengan hormat.
"Tuan, apa anda membutuhkan sesuatu?" tanyanya sopan.
Damian menggeleng pelan. "Tidak ada. Aku hanya sedang ingin memakan sesuatu. Tolong buatkan spaghetti atau daging panggang untukku," ujar Damian.
Untuk sepersekian detik kening Alice mengernyit dalam.
"Apa anda membatalkan rencana untuk keluar, Tuan?"
"Iya. Alexis harus ke bandara untuk mengambil barang yang tertinggal. Ah ya, aku akan membantu mu memasak untuk mengisi waktu. Karena jujur aku sangat malas berada di rumah tanpa pekerjaan begini," ucap pria itu.
Mendengar itu cepat-cepat Alice menggeleng kuat. Gadis itu tidak ingin merepotkan Tuannya.
"Tidak perlu, Tuan. Aku bisa mengerjakannya sendiri, khawatir anda akan kelelahan ..."
Damian mendecak samar. "Ini perintah, Alice."
Mendengar kalimat itu, Alice menurut. Gadis itu melangkah menuju dapur dan mulai menyiapkan bahan masakan.
Tak lama setelah bahan-bahan itu siap, Damian datang sudah dengan apron hitam di tangannya. Pria itu mulai memasang apron dan mengambil alih pisau yang ada di tangan Alice.
"Biar aku yang potong daging, kau urus spaghetti-nya."
Alice menurut.
Setengah jam berjalan dengan lancar, bahkan selama itu hampir tidak ada kata-kata yang terlontar dari keduanya. Mereka sibuk dengan bagian masing-masing.
Alice sibuk memasak spaghetti, sedangkan Damian mulai memanggang daging merah itu.
"Uhuk!"
"Astaga, Tuan. Apa anda baik-baik saja?" tanya Alice cemas. Gadis itu meninggalkan pekerjaannya begitu saja, berjalan mendekat dan memeriksa kondisi Damian.
Tampak tuannya itu sedang terbatuk-batuk akibat aroma bumbu yang digunakan untuk memanggang daging. Karena memang, tuannya itu memilih menggunakan bumbu racikan untuk memanggang daging daripada bumbu instan. Tidak heran mengapa aromanya cukup menyengat.
"Aku tidak apa-apa, kau tidak perlu khawatir," ujarnya.
Alice mendecak samar. Dengan sigap gadis itu mengambil alih jepitan daging milik Damian.
"Sebaiknya anda duduk dan tunggu saja, Tuan. Biar aku yang selesaikan ini," ucapnya.
Karena kapok dengan kejadian barusan, Damian menurut. Pria itu menarik bangku kecil yang ada di sudut ruangan dan mulai mengamati pekerjaan Alice.
Dalam hati dia masih tidak habis pikir mengapa Alice bisa mirip sekali dengan Grisa. Karena setahunya, Grisa tidak mempunyai saudara kandung. Mantan kekasihnya itu merupakan putri tunggal.
Kalau pun seandainya Grisa mempunyai saudara, tidak mungkin orang itu adalah Alice. Terlalu mustahil jika Alice mempunyai hubungan d a r a h dengan Grisa yang cukup terpandang itu.
"Tuan," panggil Alice pelan. Gadis itu mengernyit saat Damian tidak menggubris panggilannya. Pria itu justru terus melamun seraya menatapnya dengan lekat.
"Tuan Damian ..." ulang Alice seketika membuyarkan lamunan Damian.
Pria itu tersentak, menggeleng pelan. Dia menatap Alice dengan sebelah alis yang terangkat.
"Iya Alice, ada apa?"
"Makanannya sudah siap, Tuan. Anda bisa langsung ke meja makan," ucap Alice tenang.
"O-ohh ... iya, mari ke meja makan." Damian berkata dengan terbata. Pria itu lantas berjalan pergi menuju meja makan dengan tergesa-gesa.
Alice yang menyadari itu hanya bisa mengembuskan napasnya samar. Sekali lagi dia dibuat gugup oleh tatapan elang itu.
Demi Tuhan dia harus berkali-kali menahan napas ketika berdekatan dengan Damian. Betapa tidak, pria yang saat ini menjadi tuannya itu mudah sekali membuatnya terpesona.
Ah, tidak tidak. Terlalu naif untuk berpikiran ke sana. Alice cukup sadar diri siapa dia di rumah ini. Seorang pembantu sampai kapan pun tidak akan bisa mendapatkan hati majikannya, dan dia tidak ingin berpikiran sejauh itu.
Tidak ingin berpikiran terlalu jauh, Alice bergegas untuk menyusul Damian ke meja makan. Dia harus menyiapkan segala hidangan untuk tuannya itu.
"Biar aku ambilkan, Tuan," ucapnya begitu tahu Damian ingin mengambil lauknya sendiri.
"Tidak perlu, kau duduk lah."
"Eh?"
"Aku bilang duduk, Alice. Duduk dan makan lah!" ulangnya dengan suara tegas.
Alice meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, dia menurut. Sebenarnya bukan tanpa alasan Alice menolak, gadis itu hanya berusaha menghindar dari debaran aneh ini. Karena setiap kali dia berdekatan dengan Damian, detak jantungnya tidak pernah bisa dikontrol. D a d anya selalu berdegup cepat.
Saat sedang sibuk mengunyah makanan, tiba-tiba saja Damian bersuara.
"Alice ..."
Gadis itu mengangkat wajahnya, memandang tuannya itu dengan tatapan penuh tanya.
"Iya, Tuan?"
"Apa kau bisa memijatku malam ini?" tanyanya to the point. Terasa ada gelenyar aneh yang merayap memasuki ulu hatinya.
Alice meneguk ludahnya sendiri dengan kasar, dia mengangguk. "I ... iya."
***
Sementara itu di dalam mobil Alexis sibuk bergelayut manja pada lengan kekar Marteen, sahabatnya sejak lama. Iya, mobil merah yang menjemput beberapa saat lalu adalah milik Marteen. Bahkan alasan untuk pergi ke bandara dan mengambil barang, semua itu hanya bohong. Karena sesungguhnya Alexis sedang mempunyai janji untuk pergi bersama Marteen.
"Kau sangat cantik hari ini, Sayang. Apa Damian baru saja membelikan sesuatu untukmu?" tanya Marteen seraya membelai pipi itu sebentar.
Alexis terkekeh.
"Dia berjanji akan membelikan berlian untukku. Tapi kau tahu sendiri kan, dia itu sangat sibuk. Mungkin aku harus mengingatkannya berkali-kali, baru lah dia akan membelikannya ..."
Tawa Marteen terdengar pelan.
"Kalau begitu, mari kita beli sekarang. Tidak perlu menunggu kekasihmu itu peka. Kau bisa memilih apa pun yang kau inginkan," ujarnya.
"Sungguh?" tanya Alexis berbinar.
Marteen mengangguk. "Tentu saja. Katakan saja apa yang kau inginkan, kita beli sekarang juga."
"Aahh ... aku sungguh mencintaimu, Sayang," lirih nya mengecup pipi pria itu singkat.
Lalu dia kembali bermanja di lengan kekar itu, memeluk dan sesekali menempelkan bagian tubuhnya.
Jika ditanya, Alexis memang begitu mencintai Damian. Tapi, rasa cintanya pada uang bisa mengalahkan segalanya. Dia memang menyayangi Damian, tapi uang tidak pernah bisa berbohong.
Setibanya di Mall mewah, Marteen segera mengajak Alexis untuk pergi ke salah satu toko perhiasan ternama. Pria itu buru-buru meminta Alexis untuk memilih perhiasan mana saja yang dia inginkan.
"Sayang, pilih lah semua ini sesukamu. Aku akan mengangkat telepon dari bosku dulu," ucapnya melangkah pergi.
Alexis mengangguk patuh.
Setelah selesai memilih dan membayar, keduanya berjalan menyusuri sepanjang Mall mewah ini. Sesekali mereka berhenti untuk membeli pakaian untuk Alexis.
Marteen tahu dirinya memang hanya dimanfaatkan. Tapi, pria itu merasa tidak masalah dengan itu. Karena apa yang dia dapat jauh lebih memuaskan daripada hanya setumpuk uang.
Baginya uang segini tidak seberapa. Dia bisa mendapatkannya kembali atau bahkan lebih. Tapi, waktu berdua dengan Alexis memang tidak pernah bisa dibeli.
"Sayang, kita mau ke mana?" tanya Alexis begitu Marteen menarik lengannya ke ruangan yang ada di belakang Mall.
Tanpa berniat menjawab, pria itu hanya menampilkan senyum simpul. Marteen terus membawa Alexis hingga keduanya berhenti di salah satu bilik kamar mandi.
"S-sayang, kau ..." Belum selesai Alexis berkata, pria itu sudah menarik tubuhnya memasuki kamar mandi dan menghimpitnya di tembok. Lalu, mendekatkan bibirnya ke telinga Alexis.
"Aku merindukan mu, Sayang. Begitu merindukanmu ..."
Deg!
Alexis menahan d a d a bidang itu begitu Marteen mendekat. Dia menggeleng ringan.
"Jangan di sini," lirih nya.
"Why? Kita bisa melakukannya di mana saja, bukan?"
"T-tapi aku ..."
"Sstt ... diam lah dan nikmati semuanya, Honey. Aku akan membuatmu berteriak lirih hari ini."
Mendadak bulu kuduk Alexis meremang. S i a l, kekasihnya ini memang kelebihan hormon.