Lamaran menyeramkan

1354 Words
Kiara bangun di atas ranjang putih rumah sakit. Ia tidak hanya merasakan tubuhnya remuk redam, tapi hatinya juga sangat terluka. Kenyataan bahwa niatan bunuh dirinya kini gagal diwujudkan, membuat Kiara marah pada dirinya sendiri. Siapapun yang menyelamatkan hidupnya tadi, Kiara sama sekali tidak ingin berterima kasih. Bahkan kalau memungkinkan, ia ingin memaki karena urusan hdupnya dicampuri. Namun, tidak ada yang bisa Kiara lakukan sekarang. Sosok gemuk Bibinya yang menunggu di ujung ranjang terlihat bersungut kesal. Itu sudah cukup menggambarkan situasi tidak mengenakkan di antara mereka.Selama ini meski tidak pernah memperlakukannya dengan buruk, tapi Bibi Susi juga tidak suka tersenyum. Dari caranya bersikap saja Kiara sadar, merawatnya hanya sebuah beban. "Jangan bertingkah. Bagaimana kalau kamu mati? Kamu tidak kasihan pada Bibi atau bahkan dirimu sendiri, hah?" gerutunya sama sekali tidak menanyakan keadaan Kiara. Wanita paruh baya itu sibuk menghakimi keponakannya dibanding menunjukkan rasa khawatir. Kiara membisu, merasakan pelupuk matanya kembali berair. Sekesal apapun ia pada perkataan sang Bibi, tidak ada niatan untuk memberi bantahan sedikitpun. Berdebat karena emosi hanya akan memberinya lebih banyak sakit hati. "Sudah jangan menangis, Bibi akan panggil dokter dulu. Ah ya, pernikahanmu tidak sedang bermasalah, kan? Bibi kok merasa kamu itu bukan tergelincir, tapi sengaja melompat?" Bibi Susi mengutarakan kecurigaannya secara terus terang. Sejak ia datang dan menunggu Kiara, begitu banyak hal yang mengganjal. Terutama fakta kalau banyak saksi yang bilang Kiara memang berniat mencelakai dirinya sendiri. Hanya laki-laki penyelamat Kiara yang yakin Kiara tidak sengaja terpeleset. "Tergelincir? Siapa yang bilang?" Kiara tanpa sadar melebarkan matanya, kebingungan. Jelas-jelas ia memang sengaja mengakhiri hidupnya. Aneh saja kalau kejadian yang begitu jelas itu disalah artikan. "Pria yang menyelamatkanmu. Dia bilang kamu terpeleset karena jalanannya licin." Bibi Susi semakin curiga kalau dugaannya benar. Melihat bagaimana Kiara bereaksi, mirip sebuah pengakuan tidak langsung. "Di mana pria itu? Aku ingin mengatakan sesuatu," kata Kiara sedikit gemetar, menahan amarah. "Dia sudah pergi, bahkan sebelum bertemu dengan Bibi. Jujur saja, kamu memang sengaja bunuh diri, kan? Jangan coba membohongiku! Apa kamu ingin mengatakan pada dunia kalau hidupmu menyedihkan? Bagaimana dengan wanita malang lain? Kiara, Bibi tidak akan memaafkanmu kalau sampai melakukan hal konyol itu!" pekik Bibi Susi terdengar sakit hati. Ia merasa sia-sia merawat Kiara kalau pada akhirnya usaha itu hanya berujung sebuah kematian menyedihkan. Kiara membisu, mengatupkan bibirnya kuat-kuat. Keberanian untuk mengakui dosanya seketika lenyap. Perkataan tak mengenakkan sang Bibi membuatnya sadar kalau perbuatannya adalah kesalahan besar. "Diam di situ, jangan ke mana-mana. Bibi akan panggil dokter untukmu." Kiara akhirnya mengangguk pelan. Tidak ada alasan baginya untuk membantah lagi. Masalah tentang Marten juga tagihan-tagihan lain harus ia selesaikan sebelum Bibi Susi mengetahuinya.Kiara yakin, bukan hanya omelan, ia mungkin akan dijodohkan dengan duda. Seperti kali terakhir mereka bicara, Kiara setuju dinikahkan kalau masih melajang di usia 27 tahun. Tapi tetap saja semua itu tidak bisa menghapus beban finansialnya sekarang. Padahal tinggal seminggu lagi dari rencana pernikahan. Haruskah ia jujur saja kalau hari bahagianya dibatalkan? * Malam itu, Kiara memutuskan untuk keluar dari rumah sakit. Dibantu Bibinya, ia pulang dan memutuskan untuk tetap mengambil cuti seminggu dari kantor. Pihak HRD menyetujui ijinnya itu. Ada kebijakan perusahaan bagi karyawan yang akan menikah untuk mengambil libur di awal dan diakhir acara pernikahan. Sayang sekali, Kiara yang seharusnya menghabiskan waktu cutinya untuk hari bahagia, kini hanya meringkuk dan menangis di ranjangnya. Ia terlalu bingung dan tidak punya keinginan lagi untuk melaporkan Marten ke polisi. Bagi Kiara, menemukan lelaki itu untuk bertanggung jawab lebih penting daripada tuntutan hukum. Tapi mencari seorang penipu pasti sangat sulit, apalagi waktunya hany seminggu. Kiara akhirnya membuka internet, mencari beberapa akun media sosial yang terhubung langsung ke lingkaran pertemanan Marten. Namun, setengah jam menjelajah, Kiara tidak menemukan apapun. Sudah jelas kalau Marten merencanakan segala hal secara matang, termasuk memalsukan media sosial juga akun-akun lain. Di saat paling membingungkan itu, ponsel Kiara tiba-tiba berdering. Gadis itu sudah was-was, takut kalau dari penagih. Tapi meski dugaannya salah, nama pemanggil di layar ponsel tetap saja membuatnya mengernyit heran. Arga? Kenapa bocah itu meneleponku? Batin Kiara enggan mengangkat. Mereka sering berbalas chat, tapi tidak pernah sampai melakukan panggilan suara. Arga adalah mantan tetangga Kiara dulu. Lebih tepatnya, ia mengasuh Arga kecil saat itu. Hubungan mereka sebatas Kakak adik tetangga, tidak lebih. Selama berbalas chat pun, keduanya hanya membahas hal-hal biasa. Terakhir, Kiara mengatakan kalau ia akan menikah. "Hallo? Ada apa, Ga?" sahut Kiara akhirnya mengangkat panggilan itu canggung. Tapi anehnya, begitu mendengar suara sahutan, panggilan itu langsung ditutup. Belum reda rasa herannya, sebuah email tiba-tiba masuk. Itu juga dari Arga yang berisi foto tentang sesuatu. Awalnya, Kiara malas dan ingin menganggap itu sebagai spam, tapi entah kenapa ujung jarinya gatal karena penasaran. Arga bukan tipe teman yang menghubungi dan mengirim email tanpa alasan. Terlebih mereka tidak terlalu sering berkomunikasi. Email itu berbunyi,'Aku melihat calon suamimu di bandara dengan wanita lain. Coba cek fotonya, siapa tahu aku salah mengenali orang.' Kiara melotot, kebingungan. Seingat Kiara, ia tidak pernah membagi foto Marten pada siapapun. Lelaki b******k itu selalu membuat dalih kalau ia phobia atau semacamnya, jadi selama pacaran, Kiara tidak pernah punya satupun bukti kebersamaan mereka. Bodoh, kan? Jadi dari mana Arga bisa tahu? Kiara mengesampingkan keanehan itu lalu mengalihkan perhatiannya pada isi email. Di luar dugaan, Arga benar.Itu memang Marten, si calon suami yang tengah Kiara cari. Meski tangkapan kameranya tidak terlalu fokus, tapi postur juga wajah Marten sudah lama melekat di otaknya, jadi tidak mungkin kalau ia salah lihat. Gimana? tanya Arga lewat pesan chat. Kiara terdiam, tidak langsung menjawab. Keinginan untuk bertanya tentang bagaimana Arga tahu tentang sosok Marten, tidak lagi ada. Otak Kiara penuh dengan masalah yang lebih penting. Namun, lagi-lagi gadis itu harus menelan pil pahit. Arga bilang, ada kemungkinan Marten pergi ke luar negeri, jadi susah ditemukan. Sekarang harapan kecil terakhirnya benar-benar sudah sirna. Bahkan untuk membuat laporan polisi akan sangat sulit. Selain minim bukti, Kiara juga bingung karena awam dengan hukum. Kiara berakhir meringkuk kemudian tiba-tiba membenturkan kepalanya ke sisi tempat tidur. Haruskah ia bunuh diri sekarang? Tidak ada jalan keluar untuk masalahnya. Seandainyapun Kiara tetap hidup, mungkin ia akan menghabiskan masa kerjanya untuk menebus akta rumah dan kartu kredit. Itu belum termasuk rasa malu karena batal menikah. Kamu menangis? Kembali chat dari Arga masuk. Kiara menyeka air matanya, tapi bukannya merasa lebih baik, chat Arga justru membuat Kiara malu setengah mati. Padahal baru kemarin ia membanggakan hidupnya karena bertemu pria yang tepat, tapi kini gadis itu malah berakhir sebagai pecundang. Kiara selama ini selalu menganggap kalau nasib Arga juga tidak jauh berbeda dengannya. Orang tua mereka sama-sama tidak ada. Bedanya, Arga memang tinggal dengan neneknya sejak kecil dan entah orang tuanya ke mana. Sedang Kiara mendadak yatim karena kecelakaan besar. Dengan kata lain, sebagai orang yang lebih tua, Kiara kecewa pada dirinya sendiri karena masih bersikap naif. Mungkin kalau ia mau mendengar peringatan dari rekan sekerjanya, nasib tidak akan mempermainkannya seperti ini. Pernikahanku terancam batal, dia penipu. Benar kata orang, aku memang diumpan. Tapi karena terlalu bodoh, aku tidak sadar dan menganggapnya serius. Aku nggak cuma rugi perasaan, tapi juga finansial. Kalau boleh mengeluh, ada sisa biaya katering juga gaun yang harus dilunasi. Tagihan kartu kredit untuk bulan besok juga cukup besar. Sialnya, aku sudah mengajukan cuti hampir sebulan. Mana ada uang untuk menutupi seluruh kesalahanku itu? Ditambah aku masih harus menahan malu karena acara pernikahanku batal, ketik Kiara panjang lebar. Sekarang, pendapat Arga tidak penting. Ia ingin berbagi pengalaman agar mantan tetangga masa kecilnya itu tidak mengalami nasib serupa. Kiara ingat betul, Arga kecil yang gendut dan ingusan. Bisa jadi, Arga pun nantinya dimanfaatkan oleh wanita mata duitan. Ya, kaum jomblo dengan penampilan standart harus selalu sadar diri dan waspada. Terutama kalau didekati kaum di atas ekspektasi. Lama sekali, Arga tidak kunjung membalas. Padahal, pesan Kiara sudah dibaca sejak tadi. Pikir Kiara, bisa jadi Arga tengah menertawainya sekarang. Seperti yang lain, hanya pura-pura menjadi malaikat di depan. Tak diduga, tebakan Kiara salah. Chat dari Arga tiba-tiba masuk di saat gadis itu berniat untuk tidur. Ki, nikah aja sama aku. Semua masalahmu biar aku yang tangani. Aku cukup kaya dan bisa membereskannya. Nggak usah dijawab sekarang, tapi usahakan tiga hari sebelum acara pernikahan. Begitu chat Arga berbunyi. Bulu kuduk Kiara seketika meremang. Ajakan menikah kok seram?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD