Tawaran tidak terduga

1072 Words
Di sebuah kamar yang cukup luas dan tertata, duduk seorang pria muda dengan paras rupawan. Sosok tingginya tengah termenung, menatap ponsel dalam genggaman tangannya. Terlihat sekali pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu. Wajar saja, bagaimana ia bisa tenang setelah apa yang baru saja ia katakan? Menikah? Omong kosong! Akan lebih baik kalau ia menawarkan sebuah pinjaman. Bodoh sekali kalau harus melemparkan diri sendiri dalam hubungan pernikahan. Itupun dengan wanita naif tanpa daya tarik. Kenangan masa kecilnya dengan Kiara tidak lebih dari seorang adik tetangga yang kesepian. Ya, pria itu adalah Arga, mahasiswa tingkat akhir yang menghabiskan 24 jam seharinya untuk kegiatan kampus dan menulis buku. Total ada 10 karya best seller yang mengubah hidup Arga secara finansial. Bahkan tiga di antaranya sudah diangkat ke layar lebar. Tapi karena tidak suka perhatian, Arga menolak muncul ke depan umum. Ia memilih menggunakan nama pena ketimbang harus menampakkan diri di seminar-seminar kepenulisan. Padahal Arga bisa saja meraup popularitasnya dari situ. Di jaman serba digital, orang dengan tampang di atas standart dengan mudah mendapat uang, tapi Arga adalah tipe yang ingin dihargai lewat hasil kerja. Namun, meski hidupnya berjalan dengan cukup baik, Arga kesepian. Bukan lantaran ingin mendapat pendamping atau kebutuhan ranjang, tapi rumah yang ia tempati terlalu sepi. Pria itu seakan hidup di dalam sebuah cangkang dan terisolasi. Jadi begitu bertemu dengan Kiara di media sosial, Arga langsung diingatkan pada kenangan masa kecil. Setelah Kakek dan Neneknya meninggal, ia hidup dan berjuang sendiri. Mungkin itu yang membuat Arga tertarik lalu mencari tahu tentang Kiara. Ia penasaran karena mereka bisa dibilang punya nasib sama. Arga diam-diam mendatangi tempat tinggal, juga alamat kantor di mana Kiara bekerja. Jujur saja, sebagai laki-laki, penampilan Kiara tidak menarik, tapi bukan itu yang penting. Arga lega karena Kiara juga bisa hidup dengan baik. Walaupun tidak pandai berbaur, setidaknya Kiara punya pekerjaan,jadi tidak terlihat menyedihkan. Namun semenjak Kiara mengungkap padanya akan menikah, pemikiran Arga mendadak berubah. Arga kecewa sekaligus tidak yakin dengan status sosial Marten yang terdengar tidak masuk akal. Tapi karena tidak punya bukti untuk kecurigaannya, Arga memutuskan untuk diam. Puncaknya adalah hari berhujan itu. Arga tanpa sengaja melihat Kiara yang berniat bunuh diri di jembatan. Ia yang tengah melaju motornya langsung berhenti kemudian membuntuti. Hari di mana Arga meloncat turun untuk menyelamatkan Kiara, membuktikan kalau Tuhan punya rencana hidup yang jauh lebih indah untuknya. Kiara mungkin akan menyesal karena sudah diselamatkan, tapi kelak ia akan berterima kasih karena Tuhan mencegahnya mati. Arga berdiri dari duduknya lalu berjalan tenang ke depan cermin besar yang menempel pada dinding kamar. Di banding saat kecil, pria itu sudah banyak berubah. Dari kulit, postur tubuh hingga wajahnya, tidak menyisakan jejak masa lalunya yang dekil dan gendut. Akankah Kiara tetap mengenalinya? Mereka hanya dua tahun bertetangga. Itupun saat Kiara masih berumur delapan tahun. Sedang Arga baru menginjak usia lima. Ah, tapi entah kenapa, aku tidak menyesal, batin Arga kembali mengingat chat ajakan menikahnya tadi. Dilihat dari lamanya membalas, ada kemungkinan kalau ia ditolak. Wajar, wanita jelekpun pasti akan berpikir ribuan kali untuk menerima pinangan dari pria gendut dan dekil, gumam Arga menatap foto profilnya yang sengaja dikosongkan. Ia ingin agar Kiara berimajinasi sendiri tentang dirinya. * Tiga hari semejak itu, Kiara mematikan ponselnya. Selain untuk menghindari Arga, panggilan berisik dari penagih paket pernikahan, membuat gadis itu frustasi. Tapi, alih-alih keluar rumah untuk mencari solusi lain, Kiara banyak menghabiskan waktu di kamar. Pikirannya sudah terlalu buntu untuk menghadapi buah dari kebodohannya sendiri. Alhasil, Bibi Susi yang khawatir akhirnya datang tanpa pemberitahuan. Wanita paruh baya itu masuk dengan kunci cadangan. Meski mengomel dan sering berkata tidak mengenakkan, ia sebenarnya khawatir juga. Sudah seharusnya mereka sibuk mengurus banyak hal menjelang hari H. Namun, Kiara terlalu tenang dan sunyi, bahkan nomornya tidak bisa dihubungi. Benar saja, begitu masuk ke dalam kamar, firasat sang Bibi terbukti. Bukan hanya berantakan, tapi pengap. Mungkin sudah lama jendelanya tidak dibuka. Kiara! Apa yang sebenarnya terjadi?" teriak Bibi Susi memberi tepukan kuat di punggung gadis yang tengah meringkuk di atas tempat tidurnya itu. Kiara terkejut, nyaris melompat dari atas ranjang. Ia tidak benar-benar tidur dan sepenuhnya terjaga. Namun lantaran pikirannya kacau, gadis itu tidak tahu kapan sang Bibi datang. Diam-diam ia mengutuk dirinya sendiri karena belum siap mengakui segala hal. "Jangan bilang kalau pernikahanmu dibatalkan." Bibi Susi langsung menatapnya tajam. Tebakan telak itu di jawab dengan gelengan kuat. Kiara terlalu takut hingga ingin menggigit lidahnya sendiri. Bahkan di saat genting seperti itu, ia masih ingin melarikan diri dari kenyataan. Masalahnya sudah cukup berat, jadi omelan orang lain hanya akan menambah beban pikiran. "Aku hanya sedang sakit, itu saja kok," kilah Kiara buru-buru membereskan beberapa barang yang berserak di atas tempat tidur. Selain bungkus makanan ringan, puluhan tissu bekas menumpuk di sana. Sebenarnya, Kiara bukan pribadi yang jorok, tapi ia hanya dalam posisi paling terpuruk. Bibi Susi mendengkus, menatap kesal pada kepura-puraan Kiara. "Kemarin siang dan tadi pagi, Bibi mendapat telepon dari pihak katering. Kata mereka, kamu belum membayar penuh. Ada apa? Jangan bilang kalau Marten menipumu. Akhir-akhir ini marak wanita yang diperdaya oleh sekomplotan penipu pernikahan. Saran Bibi tidak pernah didengar, kan? Bibi bilang juga apa? Marten terlalu mencurigakan. Kiara, tidak bisakah kamu menurut saja? Menikahi seorang duda bukanlah aib. Begini saja, daripada menanggung malu, apa tidak lebih baik kalau kamu teruskan, tapi ganti pengantin prianya. Bagaimana dengan Satyo, pria yang pernah Bibi kenalkan waktu itu." Bibi Susi langsung menggebu, tidak memberi kesempatan pada Kiara sama sekali. Entah bagaimana perkataannya yang diawali dengan kemarahan, tiba-tiba berakhir dengan nada penuh bujukan. Sungguh mencurigakan, mengingat Kiara pernah dengar kalau Satyo adalah pria yang suka kawin cerai. Katanya, duda itu mendapat status singlenya belum lama ini. Jadi kenapa Bibi Susi begitu ingin menjodohkannya dengan pria yang punya rekam jejak buruk. "Aku tidak mau. Sekalipun aku harus menikah, itu tidak dengan Om Satyo. Dia terlalu tua dan aku tidak suka sikapnya." Kiara menggeleng kuat, mencoba mempertahankan haknya. "Lalu bagaimana dengan sisa pembayarannya? Di dunia ini memang ada? Lelaki lajang yang bisa menolongmu keluar dari masalah? Ini bukan hanya tentangmu, tapi keluarga Bibi. Mau ditaruh di mana wajah Pamanmu kalau sampai pernikahanmu batal, hah?" cercanya kembali menaikkan nada bicara. Diam-diam Kiara kecewa dengan sikap Bibinya yang sama sekali tidak prihatin. Ia sibuk menyelamatkan diri ketimbang menghibur Kiara. "Bibi tenang saja, aku akan tetap menikah nanti. Jangan cemas, aku sudah menemukan pengantin untuk diriku sendiri," kata Kiara tajam, menahan luka hati. Bibi Susi terdiam, tidak percaya."Omong kosong, bagaimana kalau kamu sampai ditipu lagi?" Kaira menelan ludahnya kebingungan. Benar, Arga bisa saja menipunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD