Pernikahan Ibu

1243 Words
Besok adalah hari pernikahan ibu dan Om Hendra. Tidak banyak saudara atau pun kerabat yang diundang pada acara akad besok, benar-benar hanya orang terdekat saja. Aku telah meminta izin pada Mas Doni, untuk menginap dirumah nenek malam ini. "Mas, kamu tidak mau ikut menginap dirumah nenek?" Aku memastikan kembali, sesaat sebelum keluar dari rumah. "Iya. Kamu sendiri saja ya dek? Aku malam ini menginap dirumah mamih saja ya." Mengambil kunci mobil, mas Doni mendahului aku keluar dari rumah. "Tapi besok, kamu datangkan mas?" Aku bertanya. Kembali memastikan kehadirannya diacara akad besok. "Aku usahakan ya. Walaupun aku tidak datang saat acara, pastinya aku akan datang untuk menjemputmu." Jawab Mas Doni tak pasti. Mas Doni terlebih dahulu masuk kedalam mobil. Sementara aku, memastikan seluruh rumah dalam kondisi aman, karena akan ditinggal menginap malam ini. Setelah semua dirasa aman, tak ada listrik atau barang elektronik yang menyala, juga menutup semua jendela dan gorden, terakhir mengunci pintu rumah. Aku menyusulnya kedalam mobil. Mas Doni mengendalikan mobilnya, melaju, menembus malam yang lembab, karena sisa hujan tadi sore. Saat aku membuka kaca mobil, berhembus angin dingin yang terasa cukup kencang menerpa wajah. Mas Doni sebenarnya banyak bicara sepanjang perjalanan, sesuai dengan ciri khasnya yang memang mempunyai banyak bahan untuk dijadikan topik pembicaraan. Tapi sepanjang perjalanan itu, aku lebih memilih untuk diam. Aku mencoba menyahuti apa yang ditanyakan olehnya, tapi sama sekali tak ada satupun yang mampir dipikiranku. Aku memang telah jatuh hati pada laki-laki yang kini menjadi suamiku itu. Jatuh cinta setelah menikah itu nyata adanya, dan terjadi pada diriku. Dari awal pernikahan sampai tanggal telah berganti bulan, aku semakin jatuh cinta padanya. Sosoknya dan sentuhan-sentuhan yang dia berikanlah yang membuat cinta itu tumbuh subur dalam hati. Tapi entah mengapa, ada satu ruang di hati ini yang terasa kosong. Aku seolah merasa bahwa kebahagianku adalah semu. "Mas, besok usahakan yah hadir saat akad." Pintaku pada Mas Doni sebelum Mas Doni berlalu pergi. "Iya, besok Mas kabari ya." Mas Doni membelai pipiku lembut. " Mas pergi dulu." Pamitnya seketika berlalu menuju rumah mamih. Mas Doni tidak lama berada dirumah nenek. Setibanya kita sampai tadi, dia menemui nenek dan ibu hanya untuk sekedar berbasa-basi. Seketika itu juga dia langsung pamit untuk langsung kerumah mamih. Aku mencoba untuk memakluminya, mungkin dia hanya belum terbisa. Semoga saja lambat laun, mas Doni bisa terbiasa. Menganggap orang tuaku sama seperti menganggap orang tuanya, ataupun bersikap biasa saat dirumah orang tuaku seperti ia berada dirumah orang tuanya. Aku sangat menyadari bahwa semuanya butuh penyesuaian, Apalagi dulu saat kita belum menikah mas Doni cukup dekat dengan ibu, seharusnya penyesuaian itu tak akan sulit baginya. "Lagi apa teh? Kok malah bengong diluar? Ayo kita masuk" tiba-tiba saja dari arah belakang Rani menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. "Aduh, R—Rani." Terkejut, aku spontan menepuk gadis berlesung pipi itu. "Ya, abisnya teteh. Ngapain malam-malam malah nengong diluar?" Rani mengulang pertanyaannya. "Teteh nggak bengong. Tadi teteh sedang melihat mobil Mas Doni pergi." aku berkelit. "Orang mobilnya sudah pergi dari tadi kok. Tapi Rani perhatikan, teteh masih berdiri disini cukup lama." Rani masih bertahan dengan perkataannya. "Ah, masa sih? Ya sudah, ayo, masuk!" aku mengalihkan pembicaraan sambil berjalan kedalam rumah meninggalkan Rani dibelakangku. Untuk acara akad besok, kami memasak masakan sendiri dirumah. Karena tamunya pun tidak banyak, jadi tidak perlu meminta tolong bantuan orang lain. Malam ini ada Mang Bagja sekeluarga datang, Aku dan juga Rani. Ada Bi Eha dan ibu yang akan memasak, sedangkan aku dan Rani membantu-bantu. Sebenarnya nenek itu memiliki empat orang anak. Hanya saja salah satu dari mereka sudah lebih dulu pulang kepada sang maha pencipta, dan satunya lagi jauh merantau ke pulau seberang–dua tahun sekalipun belum tentu pulang. Sehingga saat ini yang berdekatan hanyalah ada ibu dan Mang Bagja. *** Om Hendra beserta rombongan sudah tiba tiga pulu menit yang lalu. Tidak banyak orang yang datang bersamanya. Sesuai dengan apa yang Om Hendra perkenalkan tadi, yang datang menemaninya ada kakak tertuanya juga seorang pria berusia senja yang dianggap sebagai paman. Ya, hanya tiga orang itu saja. Dan kakak tertuanya dia tunjuk sebagai saksi pernikahan dari pihak laki-laki. Sedangkan dari pihak keluarga kami, hanya ada adik ibu, yaitu, Mang Bagja dan istrinya Bi Eha juga ada aku dan Rani sebagai putri-putrinya juga sudah tentu ada nenek. Mang Bagja sebagai adik kandung laki-laki bertindak sebagai wali pernikahan kali ini. Sedangkan dari pihak luar, ada beberapa perangkat desa juga sesepuh yang dituakan. Tanpa ada rangkaian acara yang panjang, tanpa membutuhkan waktu yang lama, kita pun langsung memasuki acara inti. Ijab kabul pun dilakukan oleh Om Hendra dengan Mang Bagja sebagai wali yang menikahkan. Hari ini, resmi sudah ibu menjadi istri kedua dari laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. Laki-laki yang kembali hadir dihadapan ibu saat ibu masih ada ditengah-tengah keluarga kita. "Alhamdulillah, acara inti sudah terlaksana. Sekarang, silahkan buat yang hadir hidangannya sudah siap dimeja makan." Mang Bagja mempersilahkan. "Mangga Pak RT tipayun, biar yang lain mengikuti." Mang Bagja masih mempersilahkan. "Iya, ayo, semuanya." Pak RT bangun dari duduknya memimpin tamu yang lain menuju meja makan. *** Aku dan Rani duduk bersebelahan, bersandar pada tembok di samping rumah nenek. Duduk diatas kursi panjang berbahan bambu, buatan tangan Mang Bagja. Kami tidak saling berbicara, kedua pasang mata kami memandang jauh keatas langit. Seolah memiliki hal yang sama untuk dipikirkan. "Apakah teteh bahagia?" Masih dengan mata yang menatap langi, tiba-tiba Rani memecah kesunyian diantara kami. "Teteh, berusaha untuk selalu merasa bahagia." Jawabku yang juga masih hanyut dalam lamunan. "Bagaimana pekerjaanmu, Neng?" Aku segera menyadarkan pikiranku dan mengalihkan pandangan pada Rani yang masih menatap jauh keatas. "Cukup nyaman." Jawabnya singkat. Dengan ijazah SMK-nya, Rani mendapatkan pekerjaan yang cukup baik. Kurang dari satu bulan ini dia bekerja sebagai teller disalah satu Bank swasta. Memang statusnya masih sebagai karyawan kontrak. Itulah yang menjadi motivasinya untuk tetap bisa berkuliah, sebagai penunjang untuk kariernya kelak. "Bagaimana dengan impian Neng untuk kuliah? Padahal Neng sudah sangat belajar keras untuk itu." Aku yang jadi merasa sedih dan bersalah, karena tidak bisa membantunya menggapai impiannya. "Aku masih berusaha teh. Tidak akan aku kubur dengan mudah begitu saja." Jawabnya begitu yakin. "Apa Neng sudah memiliki rencana untuk ke depannya?" Tanyaku yang kembali bertanya pada Rani, yang sudah kembali dari lamunan. "Aku berencana kuliah sambil bekerja. Jika aku berhenti dari pekerjaan dan hanya fokus kuliah saja. Walaupun dapat beasiswa, aku tetap kasihan pada ayah. Aku ingin ayah berhenti menjadi supir angkutan. Aku ingin ayah istirahat saja dirumah." Jawab Rani dengan nada bicara yang sedikit tertahan. Aku sangat memahami isi hati dan pikiran Rani, karena aku pun sama. Kasian rasanya melihat ayah yang masih tetap narik ditengah- tengah kondisinya yang tidak sesempurna dulu, ditambah usianya yang sudah makin menua. "Jika bulan depan gaji yang aku terima dirasa cukup. Aku akan meminta ayah untuk berhenti narik. Aku ingin dia istirahat saja dirumah." Ucap Rani. "Neng, maafkan teteh ya! Seharusnya tetehlah yang menjadi sandaran kalian. Maafkan teteh, tidak bisa membantu neng menggapai apa yang sudah lama neng impi-impikan." Ujarku yang tiba-tiba merasakan sesak teringat semua yang terjadi melenceng jauh dari harapan. Sore itu, ditemani lembayung yang dengan lembut menyorotkan sinar jingganya, kami berdua terhanyut dalam lamunan masing-masing. Hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, kehidupan kami yang dulu terasa damai walau dalam kekurangan, kini berubah 180°. Kami menjemput takdir kami masing-masing dalam keadaan tidak bersama untuk saling menguatkan. Kami kakak beradik yang akhirnya tinggal terpisah karena keadaan. Aku mengikhlaskan cintaku, dan menggapai cinta lain yang telah menjadi takdirku. Begitupun dengan Rani, dia melepaskan impiannya untuk bersekolah demi rasa sayangnya pada ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD