Lamaran.

1013 Words
"Gimana nak Tari? Apakah Lamaran Adik bungsu kami ini nak Tari terima?" Sebagai perwakilan keluarga, Pak Randi–Kakak laki-laki tertua, menanyakannya hal yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Karena tanpa ditanya pun jawabanku pastilah 'iya'. Saat itu semua mata tertuju padaku, menanti jawaban yang terucap oleh bibir ini. "Iya, saya terima" sahutku. "Alhamdulillah." Seketika secara serentak semua yang hadir berseru. "Untuk mempersingkat segalanya ya, Pak, bu. Acara lamaran hari ini sekalian saja langsung membahas kapan dan bagaimana baiknya hari akadnya nanti dilaksanakan." Mang bagja mulai membicarkan perencanaan acara nanti. "Dari pihak kita Pak meminta agar akadnya digelar secepat mungkin, kita tidak mau terlalu lama. Paling lama mungkin satu bulan dari sekarang" sahut Pak Randi. "Jadi satu atau dua bulan dari sekarang mereka sudah berstatus suami istri." "Iya juga sih Pak Randi, kalau dua bulan berikutnya bentrok dengan bulan Ramadhan dan idul Fitri, jadi nanti malah mundur terlalu lama." Ucap Mang bagja menyetujui. "Jadi sepakat ya kedua belah pihak, kita ambil bulan depan." Pak Randi memastikan. Acara di sore hari itu berjalan sesuai dengan porsi nya, waktu dan semua hal yang dibicarakan pun terselesaikan dengan baik. Sesuai kesepakatan, keseluruhan acara akan ditangani oleh pihak keluarga laki-laki, dari mulai akad hingga resepsi. Dari penyediaan tempat acara, hingga segala perintilannya, mereka yang akan mengurus. Pihak keluarga Pak Doni beralasan, mereka ingin keluargaku tak merasa repot dan tetap merasa nyaman menjelang hari H. Jujur saja sebenarnya ada rasa terkucilkan saat itu, apa mereka tidak percaya pada kami sebagai pihak perempuan untuk menangani acara ini. Tapi semua praduga itu kutepis. berpikirlah positif! Mungkin, memang keluarga Pak Doni sangat menyayangi dan menghormati keluargaku sehingga memberikan pelayanan yang spesial kepada kami. Acara inti sudahlah usai. Setelah makan bersama, kami bincang-bincang secara santai. Pak Doni mengajak aku bicara secara terpisah dari keluarga. Aku dan Pak Doni memilih ngobrol santai di teras depan. "Hari ini dek Tari sungguh terlihat sangat cantik. Aku sampai tak bisa berkedip dibuatnya. Sayang rasanya walau hanya satu detik kehilangan kesempatan untuk memperhatikan wanita secantik ini." Tutur laki-laki yang baru saja melamarku itu. Entah ia sedang menggombal atau memang tulus dari hatinya. "Ah, saya merasa biasa saja Pak, banyak wanita yang jauh lebih cantik dari pada saya." aku menimpali. "Dek, bolehkah kamu berhenti memanggilku 'pak'? Panggillah aku dengan sebutan lain! Seperti 'Mas' atau apapun itu yang sekiranya nyaman untuk kamu juga aku." Pinta Pak Doni. "Bahkan jika kau mau memanggil aku 'sayang', aku sangat tidak keberatan." Dengan senyum Pak Doni menggodaku. "Ya, Mas. Maaf saya lupa, karena belum terbiasa." jawabku serius, tak mengindahkan candanya. "Ya, Mas harap lambat laun dek Tari terbiasa." Serunya. "Oh, ya, dek. Sekarang ini aku-kan tinggal bersama mamih dan anak perempuanku yang berumur 12 tahun. Sekarang anakku duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar." Pak Doni menjelaskan. "Jika kita sudah menikah nanti, kamu maukan kita tinggal sama-sama dengan mereka?" Lanjutnya bertanya. Aku terdiam tak langsung menjawab. "Sejauh itu demi kebaikan kita bersama, aku setuju-setuju saja Mas." Sahutku. "Tapi bila ternyata nanti keadaanya kurang baik untuk rumah tangga kita, maukah Mas memilih untuk tinggal terpisah?" Aku balik bertanya. "Ya, jika lebih baik untuk kita hidup secara terpisah tentu aku akan melakukannya." Selorohnya. Mas Doni selalu bersikap manis, dia tidak pernah memperdebatkan apapun denganku, semoga saja setelah menikah pun sikapnya masih selalu manis seperti ini. "Rencananya aku ingin memperkenalkan dek Tari dengan anak perempuan Mas." Ucap Mas Doni. "Aku juga ingin bisa bertemu dengannya mas. Jika bisa? sebelum kita resmi menjadi suami istri dapat bertemu dan berkenalan dengannya." Saranku. "Kalau begitu, kita atur waktu minggu-minggu ini yah." Ajak Mas Doni. "Yah, aku ikut saja." Acara berakhir dengan pamitnya keluarga Mas Doni dari rumah kami. Disela kepulangan mereka, ibu Laras, wanita yang Mas Doni panggil dengan sebutan mamih itu meminta aku untuk sesekali main kerumah mereka. Aku hanya menjawab dengan senyum dan anggukan menghormati ajakannya. Ayah dan Rani juga pamit untuk pulang, disusul Mang bagja dan Bi Eha. Tinggallah kembali kami bertiga dirumah. "Sudah ibu bilangkan! Keputusan yang tepat jika teteh memilih untuk menikah dengan Pak Doni. Lihat keluarganya! keluarga terpandang tapi tidak memandang rendah kita yang berasal dari keluarga biasa saja." Tiba-tiba ibu membuka pembicaraan ditengah-tengah kegiatan kita merapihkan rumah selesai acara lamaran tadi. Aku diam saja tak menyauti perkataan ibu, biarkanlah jika itu membuat hatinya senang. "Jangan terlalu membangga-banggakan seperti itu, Alhamdulillah jika memang keluarga itu keluarga yang baik. Tapi yang paling utama itu Tari-nya, semoga nanti dia bahagia dengan pernikahannya." Seloroh nenek menanggapi perkataan ibu. "Semoga Doni dan keluarganya akan tetap baik saat Tari sudah menjadi anggota keluarganya nanti." Nenek melanjutkan. *** Minggu demi minggu telah berlalu, Pernikahan itu akan terselenggara hanya dalam itungan beberapa hari saja. Tapi suasana dirumah seperti tidak akan ada acara besar apapun. Mengingat semua persiapan acara akan ditangani oleh pihak keluarga Mas Doni. Sesuai dengan rencana yang sudah dibicarakan bersama, kami dan rombongam keluarga pengantin perempuan akan langsung datang ketempat akad dan resepsi berlangsung, sedangkan aku pribadi diminta menginap ditempat yang sudah disediakan dari malam sebelumnya, untuk mempersiapkan diri esok harinya. Mendekati hari pernikahan, bohong bila saat ini aku bilang sudah seratus persen melupakan Andi, kadang bayangannya masih selalu hadir. Harapan untuk bisa berumah tangga dengannya memang sudah kutepis jauh-jauh sekali, tapi kenangan selama tiga tahun bersamanya tidak bisa dilupakan begitu saja. Banyak tempat bahkan moment yang kita lewati bersama dulu. "Gimana teh, Undangan bagian untuk keluarga kita sudah selesai? Tiba-tiba ibu datang bertanya memecah lamunanku. "Oh, sudah bu. Memang ibu ada yang mau ditambahin?" Tanyaku memastikan. "Ibu kayanya nggak ada sih." Imbuhnya. "Oh, iya, bagaimana dengan Andi? Teteh undang dia dan keluarganya nggak?" Ibu menanyakan hal yang menurutku tidak perlu ditanyakan. "Nggak." Singkatku. "O..o.! ibu kira teteh akan mengundangnya?" tuturnya. "Ya, sudah ibu pergi dulu ya sebentar, mau belanja bulanan. Sebentar lagi Om Hendra jemput." "Hmm." Singkatku lagi. Jika sudah menyangkut Om Hendra aku malas untuk memanggapinya. Sebesar apapun ketidak sukaan aku pada laki-laki itu, ibu tidak akan memperdulikannya. Padahal aku sudah selalu bilang untuk belanja bulanan menggunakan uang bayaran aku mengajar les saja, tapi karena nominalnya yang kurang besar sehingga ibu tidak mengacuhkannya. Aku hanya takut ibu makin terikat dengan laki-laki itu, jika terlalu banyak menerima pemberiannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD