Kedatangan Ibu.

1570 Words
Sudah dua malam mamih dan Clara Menginap dirumah. Sore ini mamih minta untuk diantar pulang, karena besok Clara Sudah harus kembali sekolah. Sesuai yang pernah Mas Doni katakan sebelumnya, mungkin mamih atau Clara hanya Akan sering menginap di akhir pekan. Atau sesekali kita yang akan menginap dirumah mamih. Mas Doni sudah siap untuk mengantar mamih pulang, begitu pun mamih dan Clara Sudah mengemas semua barang bawaannya. Sebenarnya Mas Doni mengajakku untuk ikut, tapi aku memilih untuk tetap tinggal dirumah. Aku merasa sedikit pusing dan lelah. "Dek, kamu yakin nggak mau ikut Mas anter mamih?" Mas Doni memastikan sekali lagi "Iya Mas aku dirumah saja ya? Kepalaku pusing." Jawabku Pasti. "Iya Don, kalo Tari kurang enak badan, biar dia istirahat saja." Ucap Mamih. "Ya sudah kalau begitu. Oh iya, karena kamu dirumah, nanti Rizki kesini, dia mau ambil berkas yang Mas simpan di bufet samping tempat tidur. Berkasnya ada di Map warna merah, di laci paling bawah." Ucap Mas Doni. " Nanti kamu kasih langsung saja ke Rizki ya!" Mas Doni menitipkan pesannya padaku. "Iya mas, nanti aku berikan map itu ke Rizki." Ucapku. Mas Doni, mamih dan Clara pun berlalu pergi. Mengingat pesan Mas Doni, aku berjalan kedalam kamar untuk mengecek bufet tempat map berwarna merah itu disimpan. Aku memcoba membuka lacing paling bawah yang terkunci. Kucari kunci laci, yang biasanya Mas Doni simpan di dalam kotak kecil yang berada diatas bufet. Laci pun terbuka dengan kunci yang sesuai, tanpa harus susah mencari, map merah itu dapat terlihat karena berada ditumpukan paling atas. Kuambil map merah itu dari tempatnya berada, kusimpan diatas bufet. Saat map merah itu kuambil, secara otomatis tumpukan dibawanya dapat kulihat. Disana aku dapati selembar bukti pembayaran berwarna hijau, tertera dengan jelas tulisan diatas kertasnya. Bukti pembayaran itu ternyata kwitansi atas pembayaran sewa rumah. Dari yang aku baca, dapat aku ketahui dengan jelas bahwa rumah ini adalah rumah sewa, Mas Doni menyewanya untuk enam bulan kedepan. Entah mengapa aku cukup terkejut dengan hal itu. Sebenarnya bukan masalah bagiku kalau ternyata rumah ini hanyalah rumah sewa dan bukan rumah pribadi milik Mas Doni. Hanya saja ini juga salah satu yang baru aku ketahui, setelah pernikahan. Dulu ibu selalu menyebut-nyebut bahwa Mas Doni adalah laki-laki mapan dengan pekerjaan bagus dan memiliki segalanya. Hanya jadi terkesan aneh saja jika ternyata Mas Doni hanya menyewa rumah, aku kira Mas Doni sudah memiliki rumah pribadi. Ah, sudahlah, aku toh menikah bukan karena Mas Doni telah memiliki apa atau sebanyak apa kekayaannya. Jadi buat apa memikirkan hal ini. Terdengar suara ketukan pintu dari depan. Jika dugaanku tidak salah, yang datang pastilah Rizki. Aku bergegas keluar dengan mbawa map merah ditanganku. Sebelum aku membuka pintu, aku mengintip sedikit kearah luar rumah dengan sedikit menyibakkan gorden dijendela. Dan sesuai yang datang adalah Rizki. Seketika kubuka pintu . "Maaf bu, saya diperintah Pak Doni untuk mengambil berkas." Ucap Rizki dengan sopan. "Iya, tadi bapak sudah titip pesan. Ini map-nya." Kuulurkan map merah itu agar dapat Rizki terima. "Kalau begitu saya permisi bu, terima kasih sebelumnya." Pamit Rizki yang langsung memundurkan badannya. Aku kembali kekamar dan langsung merebahkan badan diatas tempat tidur. Pikiranku sedikit menerawang, dalam lamunan aku memastikan lagi pada diriku sendiri. Rupanya banyak ketidak tahuanku akan Mas Doni, sedikit demi sedikit walau tanpa sengaja aku menjadi tahu. Tetapi ini semua malah membuatku merasa bahwa aku benar-benar buta akan Mas Doni. Sepertinya masih banyak lagi tentangnya yang belum aku ketahui. Terutama benarkah Mas Doni semapan yang selalu ibu agul-agulkan, Saat ini aku sedikit menyangsikannya. Jika melihat gaya hidup Mas Doni dan keluarganya memanglah memiliki gaya hidup yang cukup tinggi. Sangat berbeda dengan kehidupan yang aku dan keluargaku dulu jalankan. Dan untuk pekerjaan, Mas Doni memanglah menjabat sebagai manajer operasional diperusahaan tempatnya bekerja. Diluar pekerjaan utamanya, Mas Doni juga banyak melakukan bisnis jual beli tanah baik proyek besar maupun kecil. Tapi disamping itu semua, berapa penghasilan tiap bulannya? Atau apa saja kekayaan yang dia miliki? aku sama sekali tidak atau atau lebih tepatnya belum tahu. Dan bagaimana cara Mas Doni mengelola pendapatannya aku sama sekali tidak tahu. *** Baru saja ibu menghubungiku, memberi kabar hari ini dia akan datang kerumah. Padahal janjianya dia akan berkunjung kerumah itu beberapa hari yang lalu, hanya karena saat itu ada mamih dirumah, akhirnya ibu mengurungkan niatnya. Sambil menunggu kedatangan ibu, aku berencana akan merapihkan pekarangan depan rumah. Aku ingin membuat taman kecil penuh bunga, agar saat aku bersantai dengan secangkir teh hangat diteras rumah, taman itu bisa mejadi pemandangan yang menyejukan mata. Sudah ada beberapa bibit tanaman, pot-pot cantik juga beberapa bungkus tanah kompos, yang akan aku gunakan dalam kegiatan bercocok tanamku hari ini. Ibu datang dengan menggunakan ojeg daring ketika aku baru menyelesaikan beberapa pot tanaman. Ibu jalan perlahan mendekat kearahku, karena telah melihat dari kejauhan. "Sedang apa teh? kok berantakan sekali." Tanya ibu yang sudah berada tepat belakangku. Aku berdiri dan membalikkan badanku menghadapnya, bermaksud untuk meraih tangannya dan mencium punggung tanganya. "Iseng saja bu, sering merasa bosan dirumah. Jadi aku mencari kesibukkan. Sekalian biar tamannya jadi tambah cantik." Jawabku, sambil mengulurkan tangan kebawah, menunjukan tanaman-tanaman yang sudah rapih aku tanam. "Ya sudah sini ibu bantu. Sepertinya cukup menyenangkan." Ibu menyingsingkan lengan bajunya dan jongkok menggapai beberapa barang dibawah. "Ih, biar saja bu, Itu tidak terlalu penting. Ayo, kita masuk! Kita ngobrol-ngobrol didalam." Ajakku pada ibu. "Sudah, sini! Ayo, kita ngobrol sambil merapihkan tanaman." Ibu menarik tanganku, membuat aku terjongkok disampingnya. Ibu memang seperti ini, masih menjadi pribadi yang hangat dan terlihat tulus menyayangi kami anak-anaknya. Tapi disisi lain, aku juga mulai melihat sosok ibu yang berbeda apalagi jika itu sudah menyangkut uang dan hubungannya dengan laki-laki itu, laki-laki yang untuk menyebut namanya saja aku malas. "Kenapa ibu datang sendiri? Kenapa ibu tidak ajak sekalian nenek atau Rani?" Kutanyakan disela-sela obrolan kami, saat tangan sibuk dengan pot dan tanah. "Nenek biarlah dirumah saja, kasian kalau pergi-pergi kakinya suka sakit." Sahut ibu. " Kalau Rani sempat ibu ajak, tapi Rani hari ini mulai bekerja–ini hari pertamanya bekerja." Ibu melanjutkan. "Rani sudah mulai bekerja? Ditempat kemarin di interview itu?" Tanyaku penasaran bercampur perasaan senang. "Iya sepertinya begitu, teteh tau Rani interview kerjaan?" Ibu balik bertanya. "Iya tahu, waktu kerumah ibu kemarin. Sebelum pulang kerumah, aku terlebih dulu mampir kerumah ayah." Jawabku. Kami berdua saling bicara santai sambil sibuk dengan pot yang dipegang masing-masing. Hal-hal seperti inilah yang membuatku tidak pernah bisa marah pada ibu. Karena kami memang saling menyayangi. Aku berdiri dan mengibaskan tanah yang ada di celana, berjalan menuju keran air yang terdapat disalah satu sudut rumah. Untuk membersihkan tangan yang kotor penuh tanah. "Bu, sudah yuk! Ayo, kita masuk! Aku agak lapar, ibu juga belum makan siangkan? Ayo kita makan dulu." Aku yang sedang mencuci tangan, meminta ibu untuk menghentikan kegiatannya juga. "Ya sudah, ayo!" Ibu berdiri, untuk bergantian membersihkan tangannya. Ibu membawakan beberapa masakan, yang sempat ibu masak, sebelum datang kerumah. Kami makan bersama dimeja makan dengan lauk yang ibu bawa. Aku makan dengam cukup lahap, rupanya sibuk berkebun menbuatku merasa lapar. "Bagaimana keadaan teteh? Apakah teteh sehat? Apa masih ada yang sering teteh rasa setelah sembuh.?" Ibu sepertinya mengkhawatirkan jika sakitku akan kambuh lagi. "Sehat bu. Ibu aneh, harusnya menanyakan kabar itu, saat kita baru bertemu. Tadi saat ibu baru saja sampai." Ucapku dengan senyum menggodanya. "Ck" ibu mendecak. "teteh pasti tau persis, apa maksud pertanyaan ibu itu." Ibu menyipitkan kedua matanya melirikannya kearahku, menyadari aku telah mengodanya. "Hahahaaah.." tawaku tak kuasa kutahan melihat reaksi yang ibu berikan Kita menyelesaikan makan siang yang menyenangkan itu, dan melanjutkan dengan ngobrol di depan TV. Dengan beberapa cemilan di atas meja. "Teh, bagaimana? Pak Doni suami yang baik bukan?" Ibu bukan bertanya, tapi lebih kepada meyakini pendapatnya. "Ya, sejauh ini dia suami yang baik. Hubungan kami sangat baik." Saat ini aku masih meyakini bahwa Mas Doni memanglah suami yang baik, diluar aku yang pernah merasa kecewa dan ragu dengannya kemarin. Aku tak terlalu ingin mengingatnya dikepala, aku tidak ingin itu menjadi duri dalam rumah tangga ini. "Teh, selain ibu datang untuk melihat keadaan teteh. Ada juga sesuatu, yang ingin ibu bicarakan dengan teteh." Ibu mulai terlihat serius. "Ehmm..sebenarnya aku sudah bisa menebak apa yang ingin ibu bicarakan." Aku mengarahkan tatapanku pada ibu. "Nenek sudah memberitahu teteh?" Tanya ibu yang balik membalas tatapanku. Aku mengangguk-anggukan kepala dan menundukan pandangan, tanpa mengeluarkan satu patah kata sekali pun. "Ya, berarti sesuai seperti apa yang sudah teteh dengar dari nenek, bulan depan ibu akan melangsungkan pernikahan dengan Om Hendra." Ibu berbicara, langsung pada intinya. "Apa istri pertama Om Hendra sudah memberi izin?" Tanyaku memastikan. "Tidak, kami akan menikah secara sirih. Tanpa membutuhkan izin dari istri pertamanya." Jawab ibu yang sosoknya mulai terasa berbeda dengan sosok ibu yang makan siang bersamaku tadi. "Ibu yakin itu yang ibu inginkan?" aku terdiam sejenak. " Ibu yakin menikahi laki-laki itu akan membuat ibu bahagia?" Aku kembali memastikannya. "Tentu saja, Mas Hendra pasti bisa membuat ibu bahagia dan mencukupi semua kebutuhan ibu" ibu terdengar sangat yakin. "Selama ini, kita belum menikah saja dia selalu memanjakan ibu. Apalagi jika nanti ibu sudah menjadi istrinya, dia pasti akan memperlakukan ibu bak Ratu." Jawab ibu bertambah meyakinkan. "Kalau ibu sudah seyakin itu, ya, aku hanya bisa mendoakan kebahagiaan untuk ibu." Ucapku pasrah. Aku melepaskan ibu meraih apa yang ingin dia capai. Membiarkan dia terbang setinggi-tingginya sesuai yang dia inginkan. Aku hanya menunggunya dibawah, berdoa untuk kebahagiannya, berharap dia tidak akan pernah jatuh. Tapi jika ternyata suatu hari nanti dia harus terjatuh. Aku masih tetap berada dibawah, untuk membantunya kembali berdiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD