Isi Hati Andi.

1074 Words
"Kalau begitu aku pamit dulu ya, lain kali kita bicara!" Andi tersenyum tapi matanya mengisyaratkan kegundahan. "Ya, hati-hati yah." melepaskan Andi pulang dengan penuh harapan padanya. Terlihat gurat kesedihan dari wajah Andi saat itu, POV Andi, Ku arahkan laju motor yang sedang aku kendarai menuju rumah, gamang karena pikiran yang melayang adalah keadaanku saat mengedarai sepeda motor itu. Sebelumnya aku sangat percaya diri, ketika pacarku Tari bercerita. Saat itu Tari terlihat sangat sedih, lalu aku bertanya apa yang menjadi ganjalan dalam hati dan pikirannya. Dia berkata, bahwa saat ini ibunya sedang berusaha membujuknya untuk bersedia menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan, Selama aku bekerja dipulau seberang, Tari sempat pergi dengan laki-laki itu atas bujukan ibunya. Saat itu, aku tidak terlalu menganggap itu masalah yang serius. Aku sudah lama mengenal orang tua Tari, mereka orang yang aku yakini bisa diajak bicara, apalagi masalah hubungan aku dan Tari, mereka sudah sangat tahu bagaimana aku dan Tari menjalani hubungan ini. Bahkan orang tua kami sudah saling mengenal. Tapi rupanya aku terlalu menganggap remeh. Setelah pembicaraan yang aku, Tari dan ibunya lakukan. Aku merasa sangat buntu, tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan. Sesampainya dirumah, aku memilih untuk mandi dan sholat maghrib. Mungkin saja jika keadaan tubuhku 'adem', pikiran pun akan jadi lebih dingin dan terbuka. Keluar dari dapur, kulihat ibu sedang didepan televisi, matanya fokus dengan sinetron favoritnya tapi tangannya sibuk dengan bungkusan daun pisang, sepertinya ibu sedang mengerjakan pesanan kue basah. Untuk mencari-cari uang tambahan, ibu memang sering menerima pesanan kue-kue basah. Bukan usaha yang besar, tapi Alhamdulillah ada saja yang pesan setiap harinya. Kadang-kadang aku juga tak tega melihatnya, karena dirumah ini anak ibu laki-laki semua, jadi kami membantu pun hanya sebisanya. Bahkan kadang ada saatnya ibu harus terjaga semalaman, karena mengejar pesanan yang harus sudah selesai pagi-pagi sekali. "Makan a'! Udah makan belum?" Tanya ibu, yang melihatku keluar dari dapur. "Nanti aja bu, pengin ngopi dulu." Jawabku. Aku berjalan keluar, sambil membawa segelas kopi ditangan –– yang baru saja aku seduh didapur. Aku duduk dibangku kayu yang pernah ayah buat, sewaktu beliau masih ada ditengah-tengah kami. Duduk dengan disinari rembulan yang nampak bulat penuh. Terngiang selalu, perkataan ibunya Tari yang mempertanyakan kesanggupanku untuk menikahi Tari dalam waktu dekat. bilang aku tidak menyanggupinya dia akan menikahkan Tari dengan laki-laki pilihannya. Bagaimana seharusnya aku bersikap saat ini? Aku benar-benar bingung keputusan seperti apa yang harus aku ambil. Aku memang serius dengan Tari, aku ingin suatu saat dapat membangun sebuah keluarga dengannya. Tapi jika dalam waktu dekat, jujur saja aku belum siap. jika aku memutuskan untuk menikah, prioritasku nanti pasti lebih kepada rumah tanggaku dengan Tari, lalu bagaimana dengan ibu? bagaimana sekolah adik-adikku? Kasian ibu jika harus menanggung semuanya sendiri, penghasilannya dari berjualan kue basah tidaklah sebanyak itu. Saat ini akulah yang menjadi tulang punggung keluarga untuk memenuhi semua kebutuhan. Pekerjaanku adalah mata pencaharian utama keluarga ini. Apakah aku harus melepaskan Tari? Tapi rasanya sungguh menyesakkan, jika harus melepaskan Tari begitu saja karena alasan ini. Aku dan Tari, kami berdua sangat mengetahui perasaan masing-masing. Menikah dalam waktu dekat juga bukan sepenuhnya keinginanya. Tadinya aku pikir, kami terbilang masih muda, jadi tidak terlalu dikejar oleh yang namanya pernikahan. Sehingga menurut hematku, cukuplah sedikitnya waktu tiga tahun, untuk mempersiapakan diri menuju pernikahan. Tapi rupanya, tidak semua berjalan sesuai dengan harapan dan rencana kita. Mau bagaimana pun aku harus mengambil keputusan, ibunya Tari meminta jawabanku segera. Terlihat ibu keluar dari dalam rumah, berjalan kearah aku yang sedang terduduk. Nalurinya sebagai seorang ibu, mungkin menyadari ada sesuatu hal yang sedang pikirkan oleh anaknya ini. "Lagi apa a'? Lagi mikirin apa? Bengong sendirian diluar, malem-malem lagi." Pertanyaan ibu memecahkan lamunanku. "Ah, nggak lagi mikirin apa-apa kok bu, lagi cari angin aja, di dalam gerah." Jawabku dengan berusaha tersenyum. "Ngomong-ngomong, Tari udah lama nggak main kesini a'. Selama aa tugas diluar kota juga Tari belum pernah maen kesini." Tanya ibu, yang tiba-tiba membahas Tari. "Selama aku di luar kota Tari sakit bu, baru kesininya keadaannnya mulai membaik. Aku juga kan belum lama pulang." Jawabku. "Jika Tari keadaannya sudah membaik, bawalah dia kesini. Ibu sudah lama tidak melihatnya." Pinta ibu. "Ya, nanti aku lihat waktunya ya, kalau dia sehat aku ajak Tari kesini." Ucapku pada ibu. Aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, menutupi semua dari ibu. Aku tidak mau ibu tau apa yang sedang aku dan Tari alami. "Baik-baiklah dengan Tari, a'! Dia gadis yang baik." ibu berkata sambil mengusap pundakku. Perkataan ibu, membuatku hati ini bertambah sesak. "Aku ingin bertanya bu! Jika dalam sebuah hubungan, kita terganjal restu dari orang tua. Apa yang sebaiknya kita lakukan? Tanyaku pada ibu. "Mudah saja, yakinkanlah orang tua kalian! yakinkan, kalau kalian layak untuk direstui. Bahwa kalian layak untuk mendampingi satu sama lain. Setiap orang tua lama kelamaan pasti akan luluh oleh kesungguhan. Tapi jika ternyata memang, hatinya amatlah keras –– pasrahkanlah semua pada allah SWT, mungkin memang itulah jalannya. Kalau jodoh tidak akan kemana, begitu pula jika bukan jodoh, mau dipaksa bagaimana pun tidak akan bisa bersama. Menikah itu bukan hanya menikahi perempuannya saja, ataupun laki-lakinya saja. Jika ingin pernikahan dalam keberkahan dan kebahagiaan, haruslah dalam restu kedua orang tua. Semua perkataan ibu, sungguh mengena dihati dan pikiranku. Aku sedikit mendapatkan pencerahan dan masukan. Selama berbincang, aku memperhatikan ibu dari dekat. Betapa egoisnya aku, yang baru menyadari, bahwa wanita yang sangat aku sayangi dan hormati ini terlihat mulai menua, garis-garis halus diwajahnya mulai terlihat dengan jelas, rambutnya juga sudah banyak yang memutih, muka wanita yang paling aku cintai itu terlihat sangat lelah. Aku merasa selama ini aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, sampai hal sekecil itupun baru aku sadari. Dalam hati aku bertanya, akankah aku memiliki kesempatan untuk melewati waktu yang banyak bersama dengan wanita yang telah melahirkan dan membesarkan aku ini, wanita yang mencintaiku dengan tulus tanpa mengharapkan apapun. Wanita yang paling mengerti dan memahami aku. Apakah aku sudah membalas semua yang telah dia berikan untukku? Apakah aku sanggup membalasnya? Sudahkan aku membuatnya bahagia dan bangga? Karena terbawa emosi dan suasana hati, dengan spontan kupeluk wanita yang sudah memasuki usia senja itu. Saat aku peluk, ibu sedikit terheran-heran, namun dia membalas pelukkanku. Pelukan itu membuat hatiku bertambah damai. Sepertinya aku sudah mendapatkan jawaban atas kegundahanku. Aku tau, keputusan apa yang harus aku ambil. Keputusan yang tidak akan pernah aku sesali seumur hidupku. Kita memang memiliki rencana, tapi semua perjalanan hidup kita, telah ditentukan oleh yang maha kuasa, termasuk juga dengan jodoh. Bila memang seperti ini jalannya, aku harus bisa ikhlas. Aku akan tegar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD