Gelisah ibu 2

1070 Words
Setibanya pulang mengajar. Sesampainya didepan rumah, aku perhatikan dari beberapa pasang sepatu diteras, juga terdengar suara-suara bising orang mengobrol, sepertinya sedang ada tamu dirumah. Saat kumasukin ruang tamu, ternyata tamu itu adalah Pak Doni dan Rizki (anak buahnya). "bukankah bisnis tanah ibu dengan orang itu sudah selesai? Kenapa juga dia masih datang kesini?" Aku menggerutu dalam hati. Belum sempat aku mengucapkan salam, laki-laki itu langsung saja menodongku dengan pertanyaan basa-basinya. "Eh, dek Tari sudah pulang?" Tanya pak Doni basa-basi. "Hemm..iya." jawabku singkat. "Ayo, gabung sini dek dengan kita ngobrol-ngobrol!" Ajak pak Doni, membuatku merasa serba salah. "Oh iya, makasih tapi saya sedikit lelah. Saya permisi dulu masuk kedalam." Tolakku halus. "Oh kalau capek, iya betul sebaiknya istirahat saja. Lain kali saja kita ngobrol-ngobrolnya." ajakannya semakin membuatku 'merinding' saja. Aku bergegas masuk kamar, agar tidak lagi terjadi percakapan diantara kami. "Ada apa dengan orang itu? Kenapa juga dia mau mengobrol-ngobrol denganku?" Aku terus saja menggerutu dalam pikiran. Tapi untuk apa orang itu datang lagi menemui ibu? Bukankah urusannya dengan ibu sudah selesai? Oh, pikiran liarku terus bermunculan. Semoga tidak benar, adanya maksud tersembunyi antara dia dan ibu. Semoga ini semua hanya aku saja yang 'gede rasa'. Semoga juga omongan ibu saat itu hanya canda semata. Aku sangat lelah. Padahal hanya memberi les pada dua anak, aku sudah merasa sangat lelah. Apalagi jika minggu depan jadi bertambah tiga anak. Semoga saja masih bisa aku tangani. Sebelum merebahkan tubuh pada kasur yang empuk itu, aku putuskan terlebih dulu kekamar mandi untuk bersih-bersih. Tapi sekeluarnya aku dari kamar mandi, sudah tidak terdengar suara orang mengobrol dari arah ruang tamu. Mungkin tamu-tamu itu sudah pulang. terlihat ibu berjalan sambil membawa dua gelas kotor. "Tamu ibu sudah pulang?" Tanyaku mencari tahu. "Iya" jawab ibu. "Bagus deh" lirihku, nyaris tak terdengar ibu. Mendadak rasa lelah dibadan hilang, kubatalkan rencana semula yang ingin berbaring dikasur, aku lebih memilih duduk menikmati acara Televisi. "Teh, pak Doni punya rencana ngajak kita berlibur." Ucap ibu memancing obrolan. "Dalam rangka apa? Nggak ah, teteh nggak tertarik." Jawabku spontan. "Kenapa sih teh? Kalau ibu ngomongin pak Doni teteh pasti reaksinya gitu? Teteh kan belum kenal, pak Doni itu orang yang seperti apa." Ucap ibu. "Ya nggak tahu kenapa, tapi aku nggak mau aja kenal terlalu jauh sama pak Doni itu bu." Jawabku tak acuh. "Coba deh teteh ngobrol dulu sama orangnya atau mungkin sekali-sekali jalan keluar makan siang. Biar saling kenal aja." Ucap ibu sedikit memaksa. " Ih, nggak bu! Pokoknya aku nggak mau." Jawabku menekankan. "Pokoknya aku nggak mau yah bu! Ibu sudah dua kali membahas ini, aku nggak mau kalau ibu ngomongin ini lagi kedepannya." Jawabku, sedikit menaikan nada bicaraku. "Teh, kalau benar pak Doni ada rasa sama teteh, dan berniat untuk mengajak teteh menikah. Apalagi coba alasan yang bikin teteh menolak? Dia seorang menejer diperusahaan tempatnya bekerja, sudah pasti mapan dalam hal finansial. Mobil punya, mungkin rumah juga dia sudah punya. Secara sebelumnya dia sudah pernah menikah." Ucap ibu. "APA, sudah pernah menikah? Jadi yang ibu panggil pak Doni itu duda? Ibu tidak salah mencoba menjodohkan aku dengan laki-laki yang sudah pernah gagal berumah tangga." Tanyaku dengan kaget. "Ya, pak Doni itu sudah pernah menikah dan bercerai. Dia memiliki satu anak perempuan yang ikut tinggal dengannya. Tapi walaupun duda, dia-kan masih muda. Selisih umurnya cocok denganmu. Lantas apa masalahnya?" Ucap ibu tetap dengan pendiriannya. "Ibu nggak salah? Duda loh bu?" Tanyaku tak percaya. " Ya memang kenapa kalau duda dan pernah bercerai. Bisa jadi dulu yang salah mantan istrinya." Ucap ibu tak mengindahkan penolakanku. " Ah, aku nggak tahu ah. Susah bicara sama ibu." Ucapku dengan marah, seraya berdiri dan berlalu masuk kekamar, meninggalkan ibu sendiri di depan TV. Ya ampun, kenapa jadi seperti ini? Kenapa ibu sangat menyebalkan sekali. Menolak dan membangkang kepadanya aku sungguh tak bisa. Aku sungguh tak tahu harus menanggapinya seperti apa. Apa aku pulang saja kerumah ayah? Agar ibu tak mengejar-ngejar aku lagi, memaksaku agar mau dijodohkan dengan pak Doni. Di saat seperti ini aku jadi teringat Andi. Ingin rasanya menelpon dan menceritakan ini semua. Tapi aku juga takut, jika aku memceritakan ini, akan menambah pikiran untuknya. Sudah tiga hari ini, Andi juga tidak dapat dihubungi— baik telepon maupun melalui pesan. Aku tak tahu, apa yang belakangan ini membuat Andi sulit untuk dihubungi? Apa mungkin Andi sudah tidak peduli padaku? Atau mungkin ada seseorang yang dekat dengannya disana? Ah, kutepis semua pikiran tidak baik itu. Aku tidak ingin membuat dugaan-dugaan yang tidak jelas. Setidaknya dengan berpikir positif, membuat aku sehat dan tidak memperkeruh keadaan. Aku memilih untuk segera memejamkan mata. Biarlah tidur diawal waktu, itu lebih baik daripada menanggapi ibu yang belakangan ini selalu membahas pak Doni itu. Setidaknya, saat nanti pagi aku bangun–pikiranku sudah kembali segar. *** "Kapan kamu akan nikahin aku mas?" Terdengar suara ibu yang sedang bersama om Hemdra diruang depan. "Aku janji, tidak lama lagi kita akan menikah." Terdengar om Hendra menjawab. "Aduh, jawabanmu selalu sama mas, aku capek! Kamu nggak ngerasain posisi aku sih mas, depan mata aku liat kamu sama istri kamu. Aku bukan karena cemburu ya mas, tapi aku ngerasa kaya ada yang salah. Juga ngerasa, aku ini yang bukan siapa-siapa." Ucap ibu membicarakan kejadian di mall tempo hari. "Kasih aku waktu sedikit lagi, kalau memang aku tidak juga mendapatkan solusi. Kita nikah disini tanpa ijin istriku." Jawab om Hendra. "Serius kamu? sudah yakin? Kalau istrimu curiga?" Terdengar lagi ibu bertanya. "Sejauh ini saja dia tidak pernah curiga, kedepannya kita tinggal melanjutkan tanpa harus ketahuan." Ucap om Hendra meyakinkan ibu. Pembicaraan diantara mereka sungguh membuat hati ini meradang. Sebenarnya ada apa dengan ibu, kenapa ibu tidak bisa melepaskan saja laki-laki itu. Padahal sepertinya dia bukan laki-laki yang bertanggung jawab, kata-kata yang keluar dari mulutnya cenderung hanya manis dibibir saja. Mungkin karena dia merasa punya uang, jadi dia bisa menjanjikan hal-hal manis dengan mudah kepada wanita manapun, termasuk ibu yang termakan kata-kata manisnya. Sayangnya, aku tidak dapat berbuat apapun saat ini. Semua yang aku katakan, tidak ada yang ibu dengar dan pedulikan. Ibu yakin dengan hubungan yang ibu jalanin dengan om Hendra. Kalaupun suatu hari nanti harus terjadi pernikahan diantara mereka, aku sudah pasrah. Mungkin nanti ada waktunya, ibu mengetahui dan merasakan — apakah yang ibu jalankan itu benar atau salah. Tapi bagaimanapun aku mendoakan untuk kebahagiaannya. Kalaupun nanti mereka menikah semoga mereka bahagia, mereka menemukan solusi untuk permasalahan yang sedang mereka hadapi. Semoga kelak tidak ada yang tersakiti, baik itu istri om Hendra ataupun ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD