Unexpected Calon Suami

1049 Words
Malam itu, Ay dan kedua orang tuanya makan malam bersama di ruang makan. Suasana makan kali ini terasa berbeda, beberapa kali mama dan papa Ay saling bertukar pandang dengan saling melempar isyarat dengan wajah. Ay yang menyadari gelagat aneh orang tuanya segera menegur mereka. "Ada apa sih, Ma, Pa? Aneh banget, deh," sungut Ay bergantian menatap mama dan papanya. "Ehem!" Mama berdeham cukup keras. "Begini, Ay. Kemarin Papa ketemu teman lamanya, anaknya baru saja cerai dari istrinya. Jadi mereka akan datang ke rumah besok buat kenalan sama kamu. Anaknya baik, tampan, sama kayak kamu, berdarah Itali juga." Mama akhirnya buka suara. "Idih, Mama. Baru juga aku batal nikah udah dijodohin aja sih. Sama duda lagi," gerutu Ay tak suka. "Eh, bukan sembarang duda, kamu pasti akan suka, keluarga mereka kan pengusaha sukses, nah anaknya ini sudah jadi CEO. Besok mereka datang, nanti kamu bisa kenalan langsung sama calon kamu itu." Mama dan papa tersenyum senang, mereka segera menghabiskan makan malam mereka dan masuk ke kamar. Sementara Ay masih termenung di meja makan, makanan lezat di hadapannya menjadi tidak nikmat lagi. *** Pukul 10 pagi, tamu yang disebutkan ibunya semalam sudah tiba. Ay masih duduk di depan meja riasnya dengan gelisah. Ia tidak ingin menikah dengan sembarang pria, pilihan ibunya sekali pun. Ia harus tetap berusaha untuk bisa mendapatkan calon suami sesuai kriteria yang sudah ia tetapkan. Apalagi pria ini seorang duda, ya Allah, jangan-jangan sudah ada anaknya pula, batin Ay meronta-ronta. Tok-tok-tok! "Ay, tamu sudah datang. Ayo, temui mereka, Nak." Suara sang ibu yang biasanya terdengar menenangkan, kali ini terasa seperti para polisi yang hendak menjebloskannya ke dalam penjara. Dengan malas Ay membukakan pintu, wajah masam menatap sang ibu yang terlihat begitu bergembira. "Ma, bisa Ay di kamar saja? Lagian aku nggak tertarik buat cepat-cepat menikah, masih trauma sama kejadian kemarin," kilah Ay. "Kali ini nggak akan terulang lagi kejadian kemarin, Ay. Orang calonnya juga anak teman papa kamu, nggak mungkin mereka macam-macam." Mama mulai meninggikan suara tak sabar. "Ay, tamu udah nungguin lho, nggak sopan kalo kamu terus mengurung diri di kamar." Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Ay kecuali menuruti kemauan ibunya. Ia mengekor di belakang sambil menunduk, pokoknya apa pun yang terjadi ia harus membuat pria itu yang menolak. Ia tiba di ruang tamu, lalu duduk di sebelah ibunya. Papanya dan papa pria itu sepertinya sangat akrab, mereka sesekali menggunakan bahasa Itali dan sesekali menggunakan bahasa Indonesia. Sepertinya akan sulit melaksanakan misinya karena kedua keluarga itu tampak sangat bahagia. Ia masih menunduk dalam-dalam, belum melihat pria yang akan dijodohkan dengannya, sepertinya pria itu duduk di kursi paling di dekat ayahnya. "Ini anak kami, Ayenara Carla. Usianya memnag sudah 27 tahun, tapi kelakuannya masih kayak anak-anak, terlalu banyak pilih-pilih buah jadinya belum nikah-nikah sampe sekarang," ujar Chicco. "Ay, ini Om Pierro, teman lama papa, ini tante Marisa." Papa melanjutkan perkenalannya. Kedua mereka pun tertawa mendengar ucapan Chicco. Dalam hati Ayenara uring-uringan akibat ucapan papanya yang mengatakan ia masih seperti anak-anak. Namun, ia tetap menampakkan wajah sopan dan senyum semanis mungkin di hadapan tamunya. "Begitulah anak-anak, Chic, suka pilih-pilih. Meskipun pada akhirnya pilihannya itu kadang bukan yang terbaik. Seperti anak kami ini, istrinya terlalu sibuk di luar, tidak fokus mengurus rumah tangga, sudah menikah hampir tiga tahun belum juga memikirkan keturunan. Kami sebagai orang tua bukannya memaksa untuk cepat-cepat punya keturunan. Cuma kami juga melihat, mana menantu yang memang memperhatikan masalah rumah tangga dan mana yang hanya sekadar bersenang-senang saja." Pierro berpanjang lebar. "Keluarga kami butuh penerus. Saya dan Marisa hanya punya satu anak, kalau kami tidak punya cucu, siapa yang akan melanjutkan estafet bisnis ke depannya," imbuhnya lagi. "Makanya begitu ketemu Chicco kemarin, saling tukar informasi seputar anak-anak ternyata mereka cocok, ya kami langsung datang ke sini, sekalian untuk melamar." Pierro tertawa renyah. Ay terhenyak di tempat duduknya. Ia masih menunduk, belum berani menatap pria di kursi paling sudut. "Nah, Ay. Kenalan dulu sama calon suami kamu. Dia ini sibuk sekali, jadi jarang muncul di acara-acara keluarga. Namanya Marcell Leone, kalian pasti belum saling kenal kan?" Kali ini Marisa yang memperkenalkan. Seketika Ay kaget bukan kepalang mendengar nama itu, demi meyakinkan apakah Marcell Leone yang dimaksud sama dengan yang ditemuinya kemarin, ia serta merta menoleh ke arah tempat duduk paling ujung. Pria itu menarik senyum sebelah sudut bibirnya. Hampir saja ia tidak mempercayai penglihatannya, pria itu benar-benar Marcell Leone yang hampir membunuhnya di depan toilet kemarin! Ya Allah, pertanda apa ini? Kenapa bisa ada kebetulan seperti ini? Kenapa harus Marcell Leone yang itu yang akan menjadi calon suaminya? Apakah sudah tidak ada pria lain yang cocok untuknya sehingga harus menikah dengan pria kejam itu? "Jadi bagaimana? Kapan baiknya menikah?" Marisa tampak tidak sabar. "Gimana, Mar?" "Silahkan diatur saja, saya tinggal mengikut." Suara berat dan khas itu seperti menusuk-nusuk hati Ay. Ia berharap pria itu akan menolaknya mentah-mentah,tapi kenyataannya dia justru menerima. "Baiklah, kita tentukan saja, bagaimana kalau akhir bulan ini saja? Awal bulan depan ulang tahun perusahaan kami, jadi sekalian perkenalan mantu baru kami ke kolega-kolega." Pierro menawarkan. Akhirnya semua sepakat, pun Ay tidak bisa menolak di hadapan semua orang yang setuju. Mereka mayoritas, menolak pun suaranya tidak akan sepadan. Setelah mencapai kesepakatan berikut konsep acara pernikahan mereka nantinya, akhirnya Marcell dan kedua orang tuanya undur diri. Wajah-wajah kebahagiaan menghiasi dua pasang orang tua itu. Hanya Ay dan Marcell yang merasa tertekan dengan perjodohan ini. Tapi kenapa Marcell tidak menolak saja? Ia akan dengan senang hati membantunya membatalkan perjodohan itu jika Marcell melakukan penolakan tadi. Tapi semuanya sudah terlambat... hari, tanggal, dan jam sudah ditentukan dengan rapi. Ay segera masuk ke dalam kamar, mengunci diri hingga malam tiba. Ia terus berdoa semoga apa yang dipilihkan orang tuanya adalah yang terbaik, tidak memberi keburukan untuk dirinya. Ia jelas sangat takut, pria itu memiliki aura mematikan. Bisa-bisa ia akan mati muda jika terus menerus berdekatan dengan pria itu. "Ya Allah, jika ia yang terbaik untukku, mudahkan semuanya, tapi jika dia buruk untukku, jauhkan ia sejauh-jauhnya dan berikan aku ganti dengan yang lebih baik, aamiin." Ia menutup doanya. Ia masih terpekur di atas sajadahnya, memikirkan nasibnya di masa depan. Bagaimana ia bisa menjalani hari-harinya hidup bersama pria kejam itu. Bersambung... ======= Gimana sampe sini? Tulis pendapat kalian di kolom komentar ya... Yang belum tap love, yuk segera tap LOVE-nya. Jangan lupa follow akun aku juga. Sampai ketemu di bab berikutnya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD