Sebuah Kenyataan

1529 Words
Untuk kedua kalinya Ay mendengarkan penghulu mengucap ijab, hanya saja sekarang lengkap, tidak terpotong seperti dulu. Dan sekarang juga khidmat, tidak ada kerusuhan. Meski ia belum sepenuhnya mempercayai apa yang sedang terjadi, tapi suara Marcell yang duduk di sebelahnya begitu mantap dan lantang menyahut ucapan penghulu. "Saya terima nikah dan kawinnya, Ayenara Carla Giordano binti Chicco Giordano dengan emas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas 50 gram, tunai." Lalu para saksi berteriak bersahut-sahutan. "Sah!" "Sah!" Maka, Ay resmi menjadi istri Marcell. Pemuda itu memasangkan cincin di jari manisnya, begitu juga dengannya. Lalu ia mencium tangan dingin Marcell. Dingin? Apakah dia juga gugup? Entahlah. Dan gantian Marcell mengecup keningnya. Momen itu menjadi berlangsung lama karena juru kamera menahan agar tetap pada posisi demikian sampai mereka mengabadikan beberapa jepretan. Lalu mereka menandatangani berkas-berkas dan buku nikah. Setelah acara di depan penghulu berikut dokumentasi selesai, acara berlanjut dengan sungkeman. Ay dan Marcell duduk berlutut di hadapan Sisilia dan Chicco. Air mata Ay sudah berlelahan membasahi pipi dan jilbabnya saat duduk di hadapan orang tuanya. "Mama tau kalian belum saling mengenal, mungkin juga belum saling mencintai. Tapi Mama berharap kalian bisa memulainya dan membangun rumah tangga yang bahagia." Sisilia berucap sambil mengusap punggung anak dan mantunya. "Marcell, tolong jaga Ayenara. Dia memang sedikit manja, harap kamu sabar. Kami percaya sama kamu." Chicco menambahkan. Marcell tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Pa. Mama dan Papa tidak perlu khawatir. Saya pasti akan menjaga dia dengan baik," tukas Marcell dengan suara tegasnya. Ay yang tadinya menangis berganti cemberut mendengar jawaban Marcell. Apakah suaminya itu benar-benar baik? Kini gantian duduk berlutut di hadapan orang tua Marcell. Mereka tersenyum semringah dan mengusap lengan Ay. "Selamat datang di keluarga kami, Ay. Tolong sabar dengan sikap Marcell yang sedikit dingin dan kurang perhatian. Tapi dia baik kok sebenarnya," ucap ibunya Marcell. "Iya, Ma." Ay menjawab singkat. Mereka lalu diantar oleh tante Musda menuju ke kamar Ay. Resepsi akan dilangsungkan pukul 13.30, jadi mereka bisa istirahat sejenak dan berganti kostum. "Selamat beristirahat pengantin baru," ucap tante Musda sambil tersenyum lebar. Ay masuk lebih dulu ke dalam kamarnya, lalu Marcell menyusul. Ia terkejut sendiri mendapati kamarnya sudah berubah total. Posisi ranjang, dekorasi, hiasan dinding, lampu, dan lain sebagainya. Sekarang kamar itu benar-benar seperti kamar pengantin. Warna dasar kamar itu berubah bernuansa biru muda. Bunga-bunga mawar yang menebarkan aroma wangi yang khas bertebaran di atas ranjang, sebagian dibiarkan jatuh di lantai. Kelambu biru muda menggantung transparan. Lampu berpendar di atas meja menjadikan suasana remang-remang penuh romantisme. Tapi, mereka berdua masih berdiri mematung, bingung hendak melakukan apa. Terlebih Ay yang gugup bukan kepalang. Tubuhnya terasa panas dingin berada satu ruangan dengan Marcell. "Mmm, silakan duduk." Ay memberanikan diri membuka percakapan. Ia duduk di sofa, Marcell turut menyusul. Di atas meja sudah terhidang aneka makanan dan buah-buahan. "Mau... makan sesuatu?" Ay dengan suara lirih menawarkan. Berusaha mencairkan suasana yang sangat kaku. "Boleh." Marcell menjawab tegas. Dengan tangan gemetar, Ay mengambil sepotong kue tart yang dihias sangat cantik dengan tulisan "Happy wedding, Ay&Marcell". Setelah kue itu berpindah ke dalam piring kecil di tangannya, Ay bingung sendiri harus bagaimana lagi. Apakah harus disuap? Tapi kan harusnya Marcell yang berinisiatif lebih dulu, masa harus perempuannya dulu? "I-ini." Ay menyodorkan piring kuenya ke arah Marcell. Penuda itu menatapnya dengan pandangan heran. Kenapa dikasihkan begitu saja? Harusnya suap, masa tidak mengerti? Marcell menggerutu. Tapi juga tetap menerima piring itu. Lalu mulai menyantapnya seorang diri. Dasar tidak peka! Ay buru-buru meletakkan segelas air minum di hadapan Marcell, lalu kembali duduk di tempat semula. Sangat kaku dan canggung. Marcell berdeham keras, memperbaiki posisi duduk dan menarik beskap-nya yang sedikit tergulung ke atas. "Ay," ucapnya tegas. Ay segera menoleh, tatapan mata mereka kembali beradu. "Aku tidak ingin menutupi, supaya kamu tidak sakit hati dan banyak berharap." Marcell memulai ucapannya, Ay mendengarkan dengan seksama hendak ke mana arah pembicaraan suaminya itu. "Aku tau kamu tidak mengharapkan pernikahan ini, begitu juga aku. Kita sama-sama menerima untuk menghargai keputusan orang tua kita. Aku punya seseorang yang masih aku harapkan kehadirannya di sisiku. Dan hanya dengan menikah denganmu satu-satunya cara agar kami bisa kembali bersatu." Mendengar ucapan Marcell yang begitu lugas, Ay mengerti ke mana arah pembicaraannya. Kurang ajar sekali pria ini! Bisa-bisanya memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya sendiri! "Jadi, aku tidak akan memberatkanmu. Silakan lakukan apa pun yang kamu sukai. Kita tetap sebagai suami istri di hadapan orang tua, keluarga, dan kolega. Kamu juga tetap bisa mencari sosok pria yang sesuai dengan impian kamu. Aku tidak akan melarang itu. Hanya satu hal yang aku minta bantuanmu." Marcell menjeda ucapannya. Ay menunggu dengan jantung berdebar. "Kita…, aku butuh seorang anak. Setelah kita punya anak kita bisa berpisah." Ay tersedak salivanya sendiri mendengar ucapan Marcell barusan. Dengan buru-buru Marcell meraih air mineral di hadapannya dan menyerahkannya pada Ay. Gadis itu meneguknya dengan rakus, seolah baru menemukan air minum setelah puluhan hari kehausan. Rasanya tulang-tulang Ay dilolosi satu per satu. Oh Tuhan, kenapa Marcell baru mengatakannya sekarang? Setelah mengucapkan ijab kabul? Kenapa tidak sejak awal, agar pernikahan bisa dibatalkan dan tidak perlu menjalani semua itu? "K-kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?" Ay membuang pandangan ke arah lain, hatinya sangat sakit. Bola matanya memanas. Marcell begitu picik. Rasanya ingin pergi dari tempat itu dan berteriak keras di hadapan semua orang tentang ucapan Marcell barusan. "Karena hanya itu caranya untuk menjalankan rencanaku," jawabnya gamblang. Apa? Coba ulangi?! Ay tersenyum sinis. "Jadi begitu. Aku tidak menyangka putra sahabat baik Papa akan melakukan hal sekeji itu." Ay menggeleng penuh kekecewaan. Meskipun ia tidak mengharapkan pernikahan dengan Marcell, tapi dia tidak pernah terbersit sedikit pun untuk memanfaatkan pernikahan itu demi kepentingan sendiri. "Baiklah kalau itu mau kamu. Kita jalani saja apa yang sudah dimulai ini. Tapi, maaf, aku tidak bisa membantumu." Ay berkata dengan nada ketus. "Dan kita tidur di kamar terpisah." Ay menambahkan. Setelah mengatakan hal itu, Ay buru-buru masuk kamar mandi. Hatinya sangat kesal. Rasa sesak di dalam d**a yang ditahannya sejak tadi ingin segera diledakkan. Jadi, begitu pintu kamar mandi tertutup, ia terduduk di lantai yang dingin. Air matanya tumpah takkan bisa dibendung lagi. Jadi ini pernikahan yang akan dilaluinya? Ini kehidupan yang akan dijalaninya? Di mana kebahagiaan yang ditawarkan orang tuanya itu? Dia telah menggadaikan hidupnya sendiri pada seorang monster yang tidak punya hati. Ada sejuta penyesalan yang menggelayut dalam hatinya. Harusnya dia menolak saja waktu lamaran. Setidaknya dia bisa bebas melakukan kegiatannya jika masih sendiri, tidak akan terintimidasi oleh seseorang berkedok suami. Entah berapa lama ia berada di kamar mandi, hingga lamat-lamat terdengar ketukan di pintu. Dan suara Marcell menggema di telinganya. Rasanya sangat malas bertemu dengan pria itu lagi. Tiba-tiba ia merasa muak mendengar dan melihat wajah Marcell. Dengan malas Ay keluar setelah membasuh wajahnya dan mengambil wudhu. Ia juga tidak menatap Marcell lagi. Dalam hati ia menyesal sudah mengambilkannya sepotong kue dan segelas minuman. Ia berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi. "Kamu ngapain lama sekali di kamar mandi? Aku juga kebelet," ujar Marcell dengan nada ketus. "Bukan urusan kamu." Ay melengos pergi. Menjengkelkan sekali berbicara dengan Marcell. Tidak lama kemudian, azan dhuhur berkumandang. Ay menggelar sajadahnya. Masih mengenakan gaun pengantin lengkap ia menjulurkan mukena di atasnya. Marcell yang barus saja keluar dari kamar mandi menatapnya dengan heran. Tapi tidak juga bicara, hanya berbaring di sofa lalu memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian, sebaris senyum terukir di wajah pria itu. Apakah itu senyum untuk wanita yang masih dia harapkan? Ihhh! Ay cepat-cepat mengalihkan perhatiannya. Marcell menatap ponselnya dengan senyum mengembang. Tidak mempedulikan wanita yang baru beberapa menit lalu sah menjadi istrinya. Ia justru sibuk sendiri ber-chat ria dengan Agnez, mantan istrinya yang masih sangat ia cintai. Agnez : “Gimana pernikahan kamu, Sayang?” Marcell : “Lancar, Sayang. Kenapa? Kamu cemburu?” Diikuti emoticon tertawa, tentu Marcell ikut tertawa. Agnez : “Ih, nyebelin! Awas aja kamu jatuh cinta sama dia.” Diikuti emoticon cemberut. Marcell : “Pokoknya itu nggak bakalan terjadi, jadi nggak usah khawatir. Kita akan kembali setelah aku mendapatkan seorang anak. Kamu manfaatkan waktu ini untuk mengejar impian kamu, oke?” Agnez : “Iya, bawel! telepon dong, kengen, nih.” Marcell : “Belum bisa, Sayang. Masih di tengah keluarga, nggak mungkin aku telepon kamu. Udah dulu ya. Miss you so much.” Agnez : “Miss you too.” Marcell meletakkan ponselnya di atas meja. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamar. Semuanya terasa menyesakkan dadanya. Saat ia dan Agnez masih saling mencintai, orang tuanya memisahkan mereka. Agnez memang wanita karir. Profesinya sebagai pimpinan sebuah bisnis entertainment mengharuskan Agnez totalitas dalam pekerjaan, bahkan terkadang harus meninggalkan suaminya berhari-hari jika sedang ada proyek penting. Itulah sebabnya mereka menunda kehamilan hingga Agnez merasa siap memiliki keturunan. Marcell tidak pernah mempermasalahkan hal itu, baginya yang penting mereka berdua saling mencintai, tidak mengapa harus menunda sampai kapan pun. Namun, pandangan mereka tersebut ditentang keras oleh orang tua Marcell. Hingga akhirnya mereka memilih bercerai untuk menyelamatkan hubungan. Marcell menatap punggung Ay yang berguncang di atas sajadahnya. Lalu bergumam seorang diri, “Aku pastikan rencanaku berhasil. Kalian semua sudah sangat kejam padaku, maka tidak ada yang bisa menghalangi rencanaku. Meskipun harus didapatkan dengan kekerasan.” Bersambung... ======= Halo, Ay Lovers... Jangan lupa tap love dan follow akun aku ya... Dan koment tentu saja... Semoga suka dan terhibur. Salam hangat dariku...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD