Ella keluar dari kamarnya pagi ini. Kemarin seharian tiduran di kamar membuatnya mual. Sial! Dia tidak pernah merasa seburuk ini, pikirnya. Dua tahun berada di negeri kanguru, dia tidak pernah sakit.
Hanya sebatas kelaparan dan kelelahan karena bekerja paruh waktu di restoran sepulang kuliah. Selebihnya dia baik-baik saja. Tapi baru seminggu dia berada di Indonesia, sudah dua kali dia merasa kesakitan.
Pertama di hari pernikahannya, dan yang kedua kemarin. Hanya karena masalah sepele, Nana. Gadis kecil itu membuat Ella diperlakukan tidak manusiawi oleh ayahnya. Ella mendesah pelan. Mungkin akan ada yang ketiga, keempat dan seterusnya. Perlakuan kasar yang akan dia terima jika dia dekat-dekat dengan monster kecil itu.
Ella menarik kursi meja makan lalu duduk disana. Menuangkan jus jeruk ke dalam gelas. Lalu meneguknya hingga habis setengah. Seharian kemarin dia dirawat oleh Mbok Inah seperti sedang sakit parah. Padahal Ella sudah menolak. Tapi wanita tua itu ngeyel ingin melayaninya.
Mbok Inah membuat Ella teringat pada Bi Siti, pengasuhnya dulu di rumah orang Tuanya. Wanita tua penuh kasih sayang yang mengasuhnya sejak bayi. Dia yang memenuhi kebutuhan Ella, memperhatikannya,
menyayanginya saat semua orang tidak peduli padanya. Saat semua orang hanya melihat RosAline seorang.
Ella membatin, apa kabarnya Bi Siti sekarang. Masih sering merasa linu di tulang-tulangnya kah? Mengingat dulu wanita tua itu sering mengeluh akibat linu dan nyeri di sendinya. Dia berniat akan mengunjunginya nanti jika dia sudah lebih baikan dari sekarang. Ya pasti dia akan mengunjungi wanita tua itu meski nanti resikonya dia akan bertemu dengan ibunya.
Ella terlalu sibuk melamun sampai tidak mendengar langkah kaki kecil yang berjalan mendekatinya. Nana berdiri tak jauh darinya yang sedang duduk melamun.
Nana memperhatikan wajah datar Ella yang memandang kosong lurus ke depan. Wajah alami Ella tanpa kesan jutek dan sinis seperti saat mereka bertemu. Nana ingat kemarin saat Ella dengan wajah panik Ella saat
memeriksa kaki Nana kemarin. Sebenarnya maksudnya baik, tapi Nana sudah terlanjur mencapnya jahat. Jadi Nana ketakutan sendiri saat Auntynya itu mendekatinya. Ella bermaksud membersihkan pecahan beling di sandal Nana.
Tapi Nana yang ketakutan malah tak sengaja menginjak tangan Ella. Hingga telapak tangannya tergores pecahan gelas. Dan darah yang keluar dari sana membuat Nana takut sampai menangis.
Nana kemarin sudah menulis surat permintaan maaf untuk Auntynya itu di kertas. Dan dia letakkan di atas nakas. Nana
berharap Ella mau memaafkan dan mau berteman dengannya.
"Aunty..." Nana berucap dengan suara yang begitu kecil.
Ella masih diam melamun. Tidak mendengar panggilan Nana.
"Aunty..." panggil bocah itu sekali lagi. Kali ini sedikit lebih kencang agar terdengar oleh Ella.
Nana mencembikkan bibirnya kesal karena Ella masih juga belum mendengar panggilannya. Bocah itu menatap Ella yang
menikmati jus jeruk di gelasnya. Meminumnya dengan santai sambil melamun. Nana berinisiatif mendekatinya. Berdiri di samping Ella. Mendekatkan wajahnya kepada Auntynya. Lalu tanpa pikir panjang Nana pun berteriak kencang mengagetkan Ella.
"Aunty Ella!!!" teriak Nana kencang.
Ella yang sedang melamun pun sontak terkejut. Jus jeruk yang ada di mulutnya menyembur keluar. Ella terbatuk-batuk karena sisa air jeruk masuk ke hidungnya.
Nana terkekeh kecil melihat wajah Ella yang lucu saat sedang kaget. Bocah itu mundur beberapa langkah menjauhi Ella. Ella segera menyabet tisu di atas meja. Membersihkan mulut dan hidungnya yang terkena air jus jeruk. Juga mengelap meja makan yang terkena semburannya.
Setelah dirasa cukup, Ella menoleh pada obyek yang telah membuatnya hampir mati karena kaget tadi. Gadis kecil itu sedang tersenyum meringis pada Ella. Sok manis, batin Ella. Teringat ancaman Aliandra padanya kemarin,
Ella pun tidak berniat menanggapi bocah itu.
Ella memilih menyingkir dari ruang makan. Lalu berjalan menuju kolam renang rumah mewah itu. Tanpa menghiraukan Nana yang mengikutinya dari belakang. Bocah itu mengikuti langkah lebar Ella dengan terburu-buru sambil memanggil-manggil namanya.
"Aunty Ella! Aunty tunggu Nana! Aunty Ella!" panggil Nana.
Tapi Ella tidak menghiraukannya. Tidak berniat berdekatan dengan anak itu. Monster kecil pembuat masalah untuknya. Terakhir kali Ella dekat dengannya, nasibnya tragis. Ella berakhir dengan kepala bocor dan tangan yang mendapat jahitan.
Ella memilih duduk di ayunan yang ada di dekat kolam renang. Nana pun ikut naik ke ayunan. Duduk di samping Ella. Gadis itu langsung berdecak kesal. Menggeser duduknya agar lebih jauh dari
Nana. Tapi Nana malah ikut menggeser duduknya berdempetan dengan Ella. Ella menggeser lagi menjauhi Nana. Tapi Nana kembali ikut bergeser tempat duduk.
Lama-lama Ella pun lelah. Gadis itu menghela nafas panjang. Nana menahan tawanya. "Ngapain sih kamu ikutin saya terus? Kamu nggak ada kerjaan apa?" ketusnya pada Nana.
Nana menggeleng. Tersenyum pada Ella. "Nana emang nggak ada kerjaan Aunty. Kan Nana libur sekolah," jawabnya polos.
Ella membulatkan matanya. Berani sekali anak ini menjawab kata-katanya. Ella berdecak kesal pada Nana yang menatap polos padanya. Bocah ini begitu lugu, lucu dan polos. Sungguh menggemaskan, batin Ella.
Sayangnya dia adalah anak si monster itu. Seandainya dia tidak ada hubungannya dengan Aliandra, pasti Ella sudah menarik tubuh mungil itu ke pelukannya. Nana benar-benar menggemaskan.
Nana terdiam sejenak. Melihat luka di pelipis Ella yang berbalut perban. "Itu kepala Aunty sakit ya?"
"Kalo sampe berdarah ya jelas sakit, lah. Pake nanya lagi," jawab Ella kesal.
Nana menunduk. Terlihat sedih. "Maafin Nana ya Aunty. Gara-gara Nana, Aunty dimarahin Daddy kemarin," lirihnya.
Ella menoleh pada bocah itu. Mendapati Nana sedang menunduk sedih. Hampir-hampir menangis. Sebuah bayangan masa lalu berkelebat di depan matanya.
Melihat sosok Nana, Ella teringat akan dirinya sendiri belasan tahun lalu. Ada persamaan antara mereka. Kecil, lemah, sendirian. Ah, tidak. Hanya Ella yang sendirian.
Nana punya banyak pelindung disini. Bocah itu mendapat banyak kasih sayang dari keluarganya. Daddy monsternya itu terlihat begitu menyayangi Nana. Begitu melindungi Nana.
Belum lagi neneknya yang juga sangat menyayanginya. Lalu Rumi, pengasuhnya. Mbok Inah. Semua menyayangi Nana.
Sedangkan dirinya? Tidak punya siapapun. Sejak kecil dia tidak pernah dianggap ada. Lalu kini saat sudah dewasa dia malah dijadikan tumbal untuk menutup rasa malu akan perbuatan kakaknya yang kabur di hari pernikahannya.
Ella jelas berbeda dari Nana. Gadis itu menghela nafas panjang. Dia berniat turun dari ayunan. Dan kembali ke kamar. Tanpa menghiraukan kehadiran Nana di sampingnya, Ella pun beranjak masuk kembali ke dalam rumah.
Saat kakinya hampir mencapai pintu, Ella langsung menoleh ketika mendengar suara sesuatu jatuh. Lalu disusul tangisan anak kecil.
"Nana!" pekiknya. Lalu gadis itu pun buru-buru berlari kembali keluar. Menghampiri Nana yang menangis karena terjatuh ke
ayunan.
Ella membantu Nana untuk bangun. Membersihkan kedua lututnya yang kotor. Lalu menggendongnya.
"Daddy... sakiitt..." tangis Nana kencang.
Ella mengusap-usap punggungnya lembut. Berusaha menenangkan bocah kecil yang menangis di gendongannya.
"Ssttt... Nana berhenti nangis, ya. Aunty obatin kaki Nana. Nana jangan nangis lagi," ucapnya.
"Sakit Aunty...!"
"Iya-iya kita masuk dulu ya. Biar Aunty obatin Nana di dalam."
Ella masuk ke dalam rumah dengan Nana yang menangis terisak di gendongannya. Rumi yang baru selesai membereskan kamar Nana langsung turun begitu mendengar suara tangisan bocah itu.
"MasyaAllah, non Nana!" pekiknya histeris.
Perempuan itu buru-buru turun dari tangga dan menghampiri Ella dan Nana yang sedang duduk di sofa.
"Non Nana kenapa, non Ella?" tanya Rumi pada Ella yang sedang membongkar kotak p3k di atas sofa.
"Tadi Nana jatuh dari ayunan, mbak. Ini lagi saya obatin," jawab Ella.
"Aduuhh... non Nana kenapa bisa jatuh sih, non. Alamat deh mbak Rumi nanti pasti dimarahin Tuan," keluh Rumi.
"Sakittt... Aunty. Periihh..." Nana menangis tersedu saat Ella membersihkan lukanya.
"Iya ini bentar lagi, ya. Lukanya harus dibersihin dulu. Terus ditutup plester biar cepat sembuh, Nana."
Ella dengan telaten mengobati luka lecet di lutut bocah itu. "Nah, selesai kan?" ucapnya saat lutut Nana sudah berbalut plester.
Nana menghentikan tangisnya. Menatap luka di lututnya yang sudah berbalut plester.
"Udah nggak sakit, kan?" tanya Ella.
"Sedikit Aunty," ucap Nana lirih.
Ella meniup-niup luka di lutut Nana dengan lembut. Berharap anak itu tidak lagi merasa kesakitan. Nana menatap Ella yang sedang meniup lututnya yang terluka. Gadis kecil itu tersenyum senang.
"Makasih Aunty," ucap Nana.
Ella mendongak. Menatap Nana yang sedang tersenyum begitu manisnya. Ella pun tidak tahan untuk membalas senyumnya. Gadis itu mengangguk pelan menanggapi ucapan Nana. Lalu beranjak berdiri. Meminta Rumi untuk mengantar Nana ke kamarnya. Sedangkan gadis itu sendiri pun juga masuk ke kamarnya.
***
"Daddy!" pekik Nana senang saat melihat Aliandra memasuki kamarnya. Gadis kecil itu langsung kembali duduk.
Beberapa saat lalu, Nana baru saja akan ditidurkan oleh Rumi. Nana terlebih dahulu minta untuk dibacakan buku cerita oleh pengasuhnya itu. Tapi baru separuh jalan, Aliandra datang dengan wajah lelahnya menghampiri Nana.
"Nana belum tidur?" tanya Aliandra lembut.
"Ini lagi baca buku cerita Daddy," jawab Nana riang. Menunjukkan buku yang sedang dipegang oleh Rumi. Nana tersenyum senang akan kehadiran Daddynya.
Aliandra tersenyum. Mengacak-ngacak rambut bergelombang Nana yang terasa lembut. "Sini bukunya, rum. Biar saya yang bacain buat Nana. Kamu istirahat aja!" ucap Aliandra pada Rumi.
Wanita itu mengangguk lalu memberikan buku cerita di tangannya pada Aliandra. Dia pun pamit untuk kembali ke kamarnya.
Aliandra duduk di samping Nana. Memeluk tubuh mungil putrinya itu. Nana pun segera bergelung manja dalam dekapan hangat Aliandra. Aliandra membuka buku cerita di tangannya dan mulai membacakan untuk Nana. Sesekali Aliandra mencium pipi Nana dengan gemas karena pertanyaan-pertanyaan lucu Nana tentang cerita yang dibacakannya.
"Aduhh... geli Daddy! Ampun, Daddy. Nana geli!" pekik Nana saat Aliandra menggelitiki pinggangnya.
Aliandra tertawa terkekeh melihat wajah menggemaskan Nana saat sedang tertawa kegelian. Tanpa sengaja tangan Aliandra menyenggol lutut Nana yang tadi siang terluka. Nana meringis kesakitan. Aliandra tersentak kaget. Lalu menyingkap selimut yang membungkus tubuh Nana. Memeriksa kaki putrinya.
Mata Aliandra membelalak saat melihat lutut Nana yang terbalut plester. "Lutut Nana kenapa ini?" tanyanya cemas.
"Tadi Nana jatuh dari ayunan Dad," jawab bocah itu.
Aliandra menghela nafas pelan. Memangku kaki Nana di pahanya. Memeriksa dengan teliti lutut putrinya. Memastikan tidak ada luka serius disana.
"Emang Mbak Rum kemana? Nggak temenin Nana main?" tanya Aliandra.
Nana menggeleng. "Tadi Mbak Rum bersihin kamar Nana, Dad. Terus Nana ketemu Aunty Ella," jawab Nana.
Aliandra terdiam. MenDadak perasaan Aliandra menjadi tidak enak mendengar nama Ella. Cap jelek sudah melekat di benak Aliandra tentang gadis itu.
"Aunty Ella?"
Nana mengangguk. "Iya, Dad. Tadi Nana main ayunan sama Aunty Ella. Terus Nana jatuh. Aunty Ella-"
Belum sempat Nana bercerita lebih jauh, Aliandra sudah berdiri dari duduknya. Tangannya mengepal marah. Aliandra pun berjalan dengan cepat keluar dari kamar Nana.
***
Ella duduk termenung di kursi yang ada pada sudut ruangan. Membayangkan nasibnya ke depan. Saat ini dia tidak mungkin lagi kembali ke Sydney dan meneruskan kuliahnya. Pupus sudah harapannya untuk bisa lulus kuliah tahun ini dan meraih gelar cumlaude dan lulusan termuda. Setengah mati dia belajar. Membagi waktu dengan waktu bekerjanya agar bisa lulus lebih cepat.
Semuanya kacau. Semua ini karena rosa. Kalau saja rosa tidak kabur ke New York. Pasti dia masih di Sydney. Menikmati hidupnya yang susah namun tenang. Tidak seperti ini. Tinggal di rumah monster mengerikan yang tidak punya hati dan super tega. Ella mendesah panjang. Badannya lelah. Hatinya juga. Apalagi pikirannya.
Ella pun bangkit dari duduknya. Berjalan menuju kasur tempat tidurnya yang kecil. Dia tidak mengeluhkan sempitnya kamar yang dia tempati. Asalkan dia bisa tidur nyenyak tiap harinya. Baru saja Ella hendak menarik selimut untuk menghangatkan
tubuhnya, suara pintu dibuka dengan kencang membuatnya kaget.
Sosok tinggi dan tegap berjalan dengan cepat ke arahnya. Ella berdecak. Harusnya tadi dia mengunci pintu agar orang itu tidak bisa masuk seenaknya ke kamarnya.
"Apa?" ucap Ella ketus.
"Harusnya saya yang tanya sama kamu! Apa yang kamu lakukan pada putri saya?" balas Aliandra dingin.
Ella bergidik ngeri melihat wajah penuh amarah dan menyeramkan yang ditunjukkan oleh pria itu.
"Hah? Apa?" Ella memandang bingung Aliandra yang menatapnya marah.
Aliandra berjalan ke arahnya. Lalu tanpa aba-aba Aliandra menarik tubuh mungil gadis itu dengan kasar. Menyejajarkannya dengan tubuhnya. Begitu mudah sepertinya bagi Aliandra untuk mengendalikan tubuh ramping Ella. Kedua lengan kokohnya menahan tubuh Ella di hadapannya.
Aliandra menatap tajam pada Ella. Ella hanya diam tidak mampu melawan karena takut melihat tatapan penuh amarah Aliandra. "Sudah dua kali saya peringatkan kamu. Jangan pernah sentuhNana! Jauhi dia! Bagian mana yang kamu kurang mengerti? Hah?" bentak Aliandra dengan berapi-api.
Ella mencengkeram kemeja Aliandra katakutan. Dia tidak pernahdibentak seperti itu. Untuk pertama kalinya Ella merasa sangat takut pada orang lain.
"Jawab!" seru Aliandra kencang.
Tubuh Ella bergetar saat menemukan pandangan yang benar-benar menusuk dari Aliandra.
"Na-Nana jatuh. S-saya-"
"Pantas saja ya kamu dikucilkan dari keluarga kamu. Sikap kamu keterlaluan. Sama anak kecil aja kamu bisa setega itu! Kamu memang nggak pantas mendapatkan perhatian."
Ucapan Aliandra sontak memukul telak Ella. Gadis itu tertegun. Menatap Aliandra lekat. Dengan mata yang berkaca-kaca. Kali ini Aliandra bukan menyakiti tubuhnya, tapi batinnya. Dan itu sangatlah menyakitkan. Perkataannya menampar Ella dengan keras. Memukul tepat di hatinya. Dikucilkan keluarganya sendiri? Tidak pantas mendapat perhatian? Satu tetes cairan bening lolos dari matanya. Wajah pucat pasi dan tatapan kosong Ella membuat Aliandra mengendurkan cengkeramannya.
Aliandra tersentak saat melihat bayangan Nana di hadapannya. Melihat
Ella yang meneteskan air matanya, Aliandra seperti melihat Nana
sedang menangis.
Aliandra melepaskan tangannya dari tubuh Ella. Membuat tubuh gadis itu jatuh melorot ke lantai. Aliandra mundur beberapa langkah. Dia terdiam tatapannya tak lepas dari Ella yang terus meneteskan air mata tanpa adanya isakan yang keluar dari bibirnya.
Ella menangis dalam diam. Sekali lagi Aliandra melihat bayangan Nana dalam sosok Ella yang sedang menangis bersimpuh di lantai.
Aliandra pun berbalik. Keluar dari kamar Ella. Tanpa menoleh lagi.