Aliandra menurunkan Nana ke atas sofa ruang kerjanya. Gadis kecil itu langsung berbaring meringkuk di sofa. Masih tersisa isakan-isakan kecil di bibirnya.
Dia meletakkan tas dan jasnya yang tadi sudah dia lepas saat di mobil ke atas meja kerjanya. Lalu dia berbalik menghampiri nana. Memangku kepala gadis kecil itu.
Sembari mengelus rambut panjang Nana yang halus, Aliandra bertanya padanya kejadian yang tadi membuatnya menangis kencang.
"Aunty Ella tadi ngapain Nana? Sampe Nana nangis kejer gitu?" tanya Aliandra.
Nana menggeleng pelan. Aliandra melihatnya bingung. Dia menghela nafas panjang. Pasti gadis jahat itu sudah mengancam putrinya agar tidak mengadu padanya.
"Nana bilang aja sama Daddy, sayang. Nana ngga usah takut ya. Ayo Nana bilang tadi Nana diapain sama Aunty Ella?" bujuk Aliandra pada Nana.
Si kecil Nana bangkit dari pangkuan Aliandra dan duduk di sebelahnya. Menatap Aliandra dengan mata yang merah. Karena terlalu banyak menangis.
"Aunty Ella nggak ngapa-ngapain nana kok, Dad," jawabnya sesenggukan.
Aliandra tertegun. "Terus tadi Nana kenapa nangis?"
Nana menunduk takut. Tidak mau memandang wajah daddynya. "Um... tadi, Nana... Nana..." ucap Nana ragu-ragu.
Aliandra mengusap rambut Nana lembut. "Nana kan anak baik. Jadi anak baik harus jujur. Nana anak baik kan?" tanyanya
Nana mengangguk pelan dengan kepala masih menunduk. Enggan menatap daddynya.
"Nana... "
Aliandra menatap putri kecilnya. Menunggu Nana meneruskan kata-katanya.
"Daddy nggak akan marah kan sama Nana?" tanya Nana takut-takut.
Aliandra menggeleng. "Kalau Nana mau jujur, Daddy janji nggak akan marah," jawabnya.
Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya yang mungil. Membuatnya makin imut saja. "Nana tadi nggak sengaja jatuhin piring sama gelas. Terus Nana kaget. Nana takut dimarahin Aunty Ella. Makanya Nana nangis, Dad," ujar Nana.
"Terus Aunty Ella marahin Nana nggak?"
Nana menggeleng pelan. Aliandra menghela nafas panjang. Syukur, batinnya. Nana tidak sempat menerima kata-kata buruk dari gadis itu lagi.
Aliandra takut jika putrinya kembali mendapat kata-kata sadis dari mulut pedas Ella. Karena itu bisa membawa dampak buruk bagi Nana. Tidak baik untuk perkembangan psikis Nana.
Aliandra memeluk putrinya erat. Mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Untung saja dia cepat datang dan bisa menyelamatkan Nana dari Ella.
"Tapi Aunty Ella nggak ada nyakitin Nana, kan?" tanyanya.
Nana menggeleng. "Nggak, Dad. Tadi Aunty Ella mau bersihin pecahan gelas di sandal Nana. Tapi Nana nggak sengaja injek tangan Aunty Ella. Tangan Aunty Ella keluar darah. Nana takut..." cerita Nana pada Aliandra
Aliandra mendesah pelam. Sedikit rasa sesal membayanginya. Ella tidak bermaksud menyakiti Nana. Nana menangis karena ketakutan sendiri pada Ella.
Nana trauma pada kata-kata pedas dan tajam gadis itu. Karenanya Nana takut padanya. Jangankan Nana, dia sendiri trauma padanya. Takut jika Ella berlaku kasar pada Nana. Mengingat bagaimana perlakuannya pada Nana kala itu.
Aliandra menggendong Nana. Lalu berjalan menuju meja kerjanya. Hendak mengambil ponselnya yang tadi dia letakkan disana. Berniat untuk menelpon ke rumah.
Dia ingin menanyakan kabar Ella. Seingatnya tadi dia mendorong gadis itu dengan kasar hingga Ella terbentur kursi. Dia ingin memastikan Ella baik-baik saja.
Meskipun gadis itu kurang ajar dan bermulut tajam, tapi dia tetaplah istrinya. Istri yang dia nikahi secara sah. Meski hanya untuk status.
Baru saja Aliandra akan menghubungi rumah, ponselnya keburu bergetar. Dia mengernyit saat melihat panggilan dari rumahnya.
Dengan segera dia mengangkat panggilan itu.
"Hallo"
"Tuan..."
"Iya mbok. Ada apa?" tanya Aliandra saat mendengar suara Mbok Inah, pembantunya.
"Non Ella pingsan, Tuan. Kepalanya berdarah," ucap wanita tua itu dengan panik.
Aliandra terkejut. Apa mungkin akibat terbentur kursi tadi? Seketika dia pun ikut merasa panik. Jangan sampai gadis itu kenapa-napa. Dia sudah berjanji pada ayahnya akan menjaga dan menjadi suami yang baik untuknya.
Lalu bagaimana keadaan Ella sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana kalau nanti dia mengalami gegar otak? Bisa-bisa nanti dia dituntut oleh keluarga Hermawan.
"Tuan..." suara Mbok Inah kembali terdengar karena Aliandra tak kunjung menjawab perkataannya tadi.
Aliandra tersadar dari pikiran buruknya. "Ah iya, Mbok. Saya akan hubungi Radit sekarang biar dia datang dan periksa Ella. Sementara Mbok Inah jagain dia dulu! Saya akan segera pulang," pesan Aliandra pada wanita tua itu.
"Baik Tuan," jawab Mbok Inah lalu menutup sambungan telepon.
Aliandra pun segera menghubungi Radit, sahabatnya yang berprofesi sebagai dokter untuk datang ke rumah dan memeriksa keadaan Ella.
Setelah itu buru-buru dia keluar dari kantornya untuk pulang sambil menggendong Nana. Membatalkan semua jadwalnya untuk hari ini.
***
Aliandra masuk ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Menggandeng Nana di sebelah kirinya. Begitu sampai ruang tengah, Aliandra langsung berteriak memanggil Rumi.
Yang dipanggil datang dengan tergesa-gesa. Menyapa Aliandra sekilas lalu mengambil tangan Nana dari gandengan Aliandra. Membawanya masuk ke kamarnya.
Sementara Aliandra melangkah menuju kamar Ella yang terletak di lantai bawah. Dekat dapur. Di samping kamar Rumi dan Mbok Inah.
Ya. Ella menempati kamar yang biasanya diperuntukkan untuk pekerja rumah tangga seperti Rumi dan Mbok Inah.
Aliandra memang keterlaluan. Istrinya yang cantik disuruh tidur di kamar kecil yang sangat tidak layak baginya. Bagi seorang nyonya rumah. Aliandra sudah terlanjur membenci pada gadis itu.
Perlakuannya pada Nana di hari pernikahannya tempo hari sudah membuat rasa simpatinya pada gadis itu menghilang sudah. Aliandra yang tadinya merasa bersalah dan kasihan karena Ella menjadi korban untuk menutup rasa malu keluarganya dan keluarga Hermawan, berbalik membencinya.
Kini dia tau kenapa kedua orang tuanya terkesan tidak peduli dan menganggapnya ada. Memang karena kelakuannya sendiri yang urakan, sombong dan bermulut tajam.
Aliandra membuka pintu kamar Ella perlahan. Tatapan tajam menusuk dari Radit yang pertama menyambutnya. Pria itu sedang berdiri di sisi kasur Ella dengan pandangan kesal. Tangannya bersindekap di depan d**a.
Aliandra mengacuhkan pandangan mengintimidasi Radit. Lalu beranjak mendekati Ella. Dia melihat gadis itu tertidur dengan kepala dan telapak tangan kanan yang terbelit kain perban.
Aliandra meneliti wajah Ella yang terlihat pucat. Bibirnya yang tipis berwarna putih dan kering.
"Gimana keadaannya? Dia baik-baik aja kan? Nggak gegar otak kan? Amnesia?" tanyanya beruntun pada Radit.
Radit menghela nafas kasar. Berdecak pelan. Lalu duduk di sebuah kursi plastik yang ada di ujung ruangan. Di samping kanan lemari.
"Gila ya lo! Salah dia apaan coba sampe lo kasih dia tidur di kamar pembantu," cerca pria itu tak habis pikir dengan jalan pikiran sang sahabat.
"Tadinya gue pikir Mbok Inah nyuruh gue bawa dia ke kamar ini karena nggak berani masuk kamar elo. Taunya kamar dia emang disini. Gila! Gila parah lo, Al!"
Aliandra mendengus. Beranjak menuju pintu kamar setelah melihat keadaan Ella yang tidak mengkhawatirkan, pria itu berlalu begitu saja dari kamar Ella. Tanpa repot-repot menanggapi ucapan Radit.
Radit menggeleng heran. Aliandra berubah. Dia tau Aliandra sudah berubah 360 derajat setelah kematian Nadya, ibu kandung Nana. Aliandra yang dulu ramah, hangat dan murah senyum menjadi pria dingin yang tidak peduli pada orang lain.
Yang dia pedulikan hanya Nana. Tidak ada yang lain. Aliandra bahkan terkesan menjauhi semua orang. Entah keluarga maupun teman-temannya. Hanya Radit seorang yang mampu bertahan dengan sikap Aliandra yang sekarang.
Tapi saat ini Aliandra berubah menjadi lebih buruk lagi. Pria itu bahkan sudah tega bersikap kasar pada seorang wanita. Apalagi wanita itu adalah istrinya sendiri. Istri yang baru dia nikahi beberapa hari yang lalu.
Radit sangat kaget begitu mendengar cerita Mbok Inah, tentang sebab Ella terkulai tidak sadarkan diri dengan darah menetes dari pelipis juga telapak tangan kanannya.
Aliandra benar-benar berubah. Aliandra yang sekarang bahkan seperti monster. Tega menyakit wanita. Meskipun alasannya untuk melindungi Nana, tapi tidak seharusnya Aliandra berlaku seperti itu pada istrinya.
Rupanya kehilangan wanita yang dia cintai dua kali membuat Aliandra setengah gila, pikir Radit. Masih setengah. Tunggu sampai dia kehilangan orang yang dia cintai sekali lagi. Dan Radit akan dengan ikhlas mengantarkannya ke rumah sakit jiwa.
***
Ella mengernyit. Mencoba membuka matanya yang terasa sangat berat. Pusing. Hal pertama yang dia rasakan. Dia ingin membuka mata tapi rasa sakit di kepalanya benar-benar menyiksa.
Samar-samar dia melihat dari celah kelopak matanya yang terbuka, sosok gadis kecil sedang duduk di kursi plastik sebelah kasur tempat dia berbaring.
Ella langsung mengenali gadis kecil itu sebagai anak tirinya. Namun Ella tidak sanggup membuka mata lebih lebar lagi.
Gadis kecil itu terlihat sedang menunduk. Serius mencoret-coret buku di atas nakas samping kasur Ella. Entah apa yang dia buat.
Ella mendesis. Berusaha sekuat tenaga membuka matanya. Menggerakkan tangannya. Meraih pinggiran kasur untuk membantunya bangun.
Suara rintihan kesakitan Ella membuat Nana tersentak kaget. Gadis kecil itu buru-buru turun dari kursi. Bersembunyi di baliknya. Melihat Ella yang sudah mulai bergerak-gerak berusaha bangun.
Nana mengintip pergerakan Ella dari balik kursi. Gadis itu terlihat bersandar di sandaran tempat tidur. Lalu menggapai gelas berisi air putih di atas nakas.
Karena fisik Ella yang masih lemah dan pandangannya yang kabur, tanpa sengaja gelas yang digapai terjatuh. Membuatnya dan Nana sama-sama kaget.
Ella mengumpat pelan. Memegangi kepalanya yang terasa pusing kembali. Sebuah langkah kaki terdengar mendekat.
Ella tidak mengetahui siapa karena kini gadis itu kembali memejamkan matanya. Suara seorang pria mendengus mengejek.
Mbok Inah yang ikut masuk langsung membawa Nana untuk keluar dari kamar Ella. Meninggalkan Aliandra dan Ella berdua disana.
ella pun langsung paham tanpa perlu membuka mata. Suami kejamnya yang sudah membuatnya seperti ini.
"Kenapa kepala kamu?"
Ella tidak berniat menjawab ataupun bicara dengannya. Tidak sudi melihat pria iblis itu yang tega berbuat kasar pada wanita. Pria b******k.
"Jangan sok lemah dan merasa begitu teraniaya. Saya tau kekuatan wanita kejam seperti kamu lebih dari ini. Berhenti berpura-pura!" ujar Aliandra sinis.
Seketika darah Ella mendidih mendengar perkataan Aliandra. Bukannya dia yang harusnya Ella bilang kejam? Kenapa kini Ella yang dia kambing hitamkan? Saat ini dia yang terluka akibat perbuatan Aliandra. Kenapa justru sekarang Ella yang dianggap sebagai pelakunya?
Dengan marah, Ella membuka matanya lebar-lebar. Amarah sudah mengebalkannya dari rasa sakit. Menatap Aliandra dengan tajam. Seolah menghunusnya dengan pedang tak kasat mata.
"Apa anda bilang, Tuan? Siapa yang kejam? Bukan saya yang menganiaya wanita sampai jatuh pingsan tadi pagi. Bukan saya yang menyalahkan orang tanpa mengetahui kebenarannya!" ucap Ella marah.
Aliandra tertawa mengejek. "Air mata anak saya sudah menunjukkan satu kebenaran. Sebuah kesalahan sudah menerima tawaran Papa kamu untuk menikahi kamu. Saya menyesal mengambil keputusan saat saya sedang kalut."
Tenggorokan Ella tercekat. Matanya memanas. Rasa marah bergemuruh di dadanya. Pria itu menginjak-injak harga dirinya.
Tapi dia tidak menangis meskipun batinnya terluka. Dia sudah kebal akan rasa sakit dan hinaan seperti ini sejak masih kecil.
Ella mengepalkan tangannya kuat-kuat. Gadis itu menggeram emosi. Amarahnya menumpuk pada pria itu. Sejak awal mereka bertemu, pria itu sudah merendahkannya. Bersikap kasar padanya.
Tadi pagi dia membuat Ella pingsan dan sekarang lagi-lagi pria itu menghinanya. Jika tidak sedang lemah seperti sekarang, mungkin Ella sudah melempar semua benda di dekatnya pada pria itu.
"Ingat! Jangan pernah sentuh anak saya! Jangan dekati dia! Jangan bicara pada Nana sedikitpun! Atau kamu akan menyesal!" ancamnya pada Ella.
"Saya juga nggak sudi ngomong sama kamu dan anak kamu! Saya benci kalian berdua! Asal kamu tau, harusnya saya yang marah sama kamu! Kamu udah menghancurkan hidup saya!" teriak Ella histeris.
Gadis itu benar-benar marah. Matanya memerah. Ella terluka. Dia sakit. Dalam batinnya dia ingin berteriak. Kenapa semua orang membencinya? Kenapa semua orang ingin menyakitinya?
Tidak cukupkah pengorbanannya? Tidak cukupkah penderitaannya selama ini? Kenapa nasibnya masih saja begini. Menjadi seseorang yang tidak dianggap sama sekali. Diperlakukan seperti sampah.
Aliandra tidak menjawab. Pria itu memilih mengacuhakannya. Lalu berlenggang santai keluar dari kamar Ella. Diikuti segala macam u*****n oleh gadis itu untuknya.
Ella pun akhirnya meneteskan air matanya. Badannya yang sudah lemas. Kini makin bertambah lemas karena perkataan Aliandra barusan.
Memang bagi Ella tidak seorangpun yang baik di dunia ini. Hanya El satu-satunya sahabat terbaik yang dia miliki. Ella menangis tersedu. Dia butuh El.
***
"Non Ella minum dulu. Terus makan. Habis itu minum obatnya, Non..." ucap Mbok Inah sembari membawakan nampan berisi semangkok bubur, segelas air putih dan obat-obatan ke hadapan Ella.
"Makasih," ucap Ella kemudian menerima bubur dari tangan Mbok Inah. Bersiap melahapnya.
"Mau saya suapin, Non?" tanya wanita tua itu.
Ella menggeleng pelan sebagai jawaban. Mbok Inah diam di samping tempat tidur Ella yang kecil. Menunggui majikan barunya itu menyelesaikan makan.
Mbok Inah tanpa sengaja melihat sebuah kertas di atas nakas. Wanita itu tersenyum saat melihat tulisan di kertas itu.
Ella memberikan mangkok bubur yang sudah kosong pada Mbok Inah. Lalu mengambil gelas dan meminumnya. Kemudian menerima obat yang diberikan wanita tua itu.
"Non Ella butuh sesuatu lagi?" tanya Mbok Inah.
Ella menggeleng. "Nggak, Mbok. Mbok bisa keluar. Saya mau istirahat," jawabnya.
Wanita itu tersenyum. Lalu memberikan kertas yang tadi dia temukan di atas nakas. "Ini Non, buat Non Ella. "
Ella yang baru saja terpejam, kini membuka mata. Melihat kertas yang disodorkan oleh Mbok Inah.
"Itu Non Nana yang buat. Tadi dia nungguin Non Ella waktu Non pingsan. Terus dia minta kertas sama crayon. Saya kira buat apa. Ternyata buat ini," ucap Mbok Inah sambil tersenyum.
Ella tertegun melihat coretan di atas kertas putih itu. Gambar emoticon smiley. Bertuliskan "I'm sorry Aunty. Maafin Nana yah."
Mbok Inah keluar dari kamar Ella sambil membawa bekas makan Ella. Meninggalkan gadis cantik itu yang terdiam mengamati kertas yang Nana tinggalkan di atas nakasnya.
***
Mata Ella mengerjap pelan. Samar-samar dia mendengar suara tangis anak kecil dari luar kamarnya. Ella melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Gadis itu pun berusaha bangkit untuk melihat siapa yang tengah menangis malam-malam begini.
Keluar kamar, Ella menuju ke arah tangga. Naik ke atas menuju ke asal suara. Ternyata saat Ella mendekat, gadis itu tidak hanya mendengar suara tangisan anak kecil, tapi juga suara dua orang yang sedang berusaha meredakan tangisan anak itu.
Ella mengintip dari pintu kamar yang terbuka, Nana tengah menangis di gendongan Rumi, pengasuhnya. Sedangkan di belakangnya ada Mbok Inah yang berusaha membujuk anak itu agar tidak terus menangis.
"Mommy... Mommy Nana mana? Hiks... Nana mau Mommy Nana..." tangis Nana.
Ella terdiam. Ada rasa sedih melihat keadaan Nana sekarang. Bocah itu terlihat berantakan dengan rambut berantakan, wajah memerah dengan air mata dimana-mana. Sedang meringkuk di gendongan Rumi sambil terus menangis.
Sedikit rasa iba muncul di hatinya. Ingin rasanya Ella masuk kesana. Dan mengambil alih Nana dari Rumi. Lalu menenangkan tangisannya.
Entah kenapa melihat Nana yang sedang menangis selalu saja mengingatkan dia akan masa kecilnya. Ella merasa ada kesamaan antara dirinya dengan bocah itu. Sama-sama rapuh dan membutuhkan kasih sayang.
"Nana jangan nangis terus, dong. Nanti Daddy marah loh kalau tau Nana nangis gini," ujar Rumi pada Nana.
Tapi anak itu tetap tidak berhenti menangis. Mbok Inah keluar kamar dan memergoki Ella di depan pintu kamar Nana. "Non Ella?"
Ella tergagap. Gadis itu tersenyum tipis pada Mbok Inah. "Non kok ada disini?" tanya Mbok Inah padanya.
"Em-itu. Tadi saya kebangun pas denger Nana nangis," jawabnya.
"Iya, Non. Nana nangis terus dari tadi."
"Emang kenapa dia nangis, Mbok?"
"Tadi udah tidur, Non. Terus kebangun. Mimpi buruk kayaknya. Manggil-manggil Non Rosa terus dari tadi."
Ella terdiam. Mungkinkah Nana merindukan Rosa sampai bisa seperti itu? Ella mendesah pelan. "Daddynya kemana, Mbok?"
"Tuan tadi mendadak berangkat ke luar kota, Non. Buru-buru banget. Katanya ada urusan penting."
Ella menatap Nana lama." Saya permisi ke bawah dulu ya, Non. Mau ngambil kompres buat Nana. Badanya agak anget," pamit Mbok Inah pada Ella.
Ella mengangguk. Gadis itu terdiam di depan pintu sementara Mbok Inah turun ke dapur. Menatap sendu pada Nana yang masih sesenggukan. Jika saja dia tidak terhalang rasa takut pada Aliandra, pasti dia sudah masuk dan mencoba menenangkan Nana. Tidak tega rasanya melihat Nana menangis hingga seperti itu.
Gadis itu memilih mundur. Lalu kembali ke kamarnya. Lebih baik dia diam di kamarnya daripada nanti mendapat amukan lagi dari Aliandra.