Chapt 7. Still on The Same Day, Togetherness

1873 Words
“Dan aku sudah tahu. Lalu, bagaimana?” Deg!             Dyrga dan Dyrta menoleh ke arah belakang.             Mereka hanya diam saja melihat siapa yang datang menjemput mereka. Lalu kembali membuang pandangan mereka ke arah depan. “Apa semua sudah berkumpul?” tanya Dyrga tanpa melirik ke arah sang putra, Arash yang ternyata mendengar percakapan mereka yang entah sejak kapan.             Arash sedikit menganggukkan kepalanya. “Sudah, Dad. Mommy menyuruh penjaga untuk mencari kalian. Lalu aku memilih untuk menyusul saja,” jelas Arash sembari melihat apa yang ada di luar sana. Dia bersidekap d**a dengan salah satu sudut bibir terangkat ke atas.             Dyrta melirik ke arah Arash yang juga melihat dan mendengar tawa beberapa orang yang ada di halaman kolam renang. “Grandpa kalian begitu bahagia dan kami juga akan berada di posisi yang sama nantinya,” ucap Dyrta seraya memberitahu Arash mengenai waktu yang tidak bisa diputar ulang.             Arash tertegun mendengar kalimat yang sudah dia sadari sejak lama. Dia bahkan sangat memahami pernyataan sang Daddy, Dyrta barusan. Dia juga mengakui satu hal pasti, jika kesibukan mereka disaat muda akan terasa tidak adil jika usia orang tua sudah mulai senja.             Tetapi Arash sendiri tidak memahami keadaan yang membuat segala hal bergantung padanya. Dia bukan robot yang bisa 24 jam mengurus hal di luar keluarga, lalu membahagiakan keluarganya dengan lelah yang tersisa.             Pikirannya sudah bercabang untuk 2 perusahaan yang memiliki integritas berbeda. Bahkan dia masih harus membagi waktu istirahatnya dengan sepertiga jam untuk tidur dan berolahraga.             Tidak hanya dirinya yang melakukan hal seperti itu. Tetapi ketiga saudaranya yang lain juga melakukan hal yang sama.             Bagaimana pun caranya, mereka akan tetap meneruskan perusahaan keluarga mereka yang sudah turun temurun terus eksis dalam industri properti dan otomotif. Bukan tidak pusing mereka mengatur jadwal rapat satu dengan yang lainnya.             Apa yang sudah mereka lakukan untuk waktu luang keluarga pun, bahkan masih sempat untuk dikomentari oleh Mommy mereka. Hanya sekedar bermain game melepas penat saja pun, nasihat itu akan terus terngiang di telinga mereka sampai berjam-jam.             Mengingat tujuannya datang kemari, Arash membuka suaranya lagi. “Dad, lebih baik kita panggil mereka. Grandma dan Grandpa harus minum vitamin mereka,” ujarnya seraya mengingatkan kedua pria yang menjadi panutannya.             Saat mereka hendak menyusul beberapa orang yang masih berada di halaman kolam renang, mereka yang ada disana terlihat hendak pergi meninggalkan kolam renang itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk menghindar dan bersembunyi dari balik tembok pembatas ruangan yang ada disana.             Tanpa bersuara sedikitpun, mereka bertiga membiarkan sang Daddy dan cucu kesayangannya lebih dulu sampai di dapur. Setelah itu, giliran mereka yang menyusul. … Dapur.,             Kini, tidak ada lagi aturan dalam meja makan. Semua sudah berubah sejak tiga gadis itu muncul di dalam keluarga Abraham Althaf.             Acara di meja makan akan tetap berlangsung, seperti sedikit mengobrol atau bahkan bercanda. Namun, Ayra dan Chandly tetap mengingatkan etika saat tengah makan.             Tidak mungkin mereka membiarkan gadis mereka terbiasa berbicara saat tengah makan bersama di luar atau di sebuah pesta. Mengingat nama Althaf tercantum di nama mereka, sehingga Ayra dan Chandly terus menerus mengingatkan adab dan etika yang baik dalam segala hal.             Tapi jika di dalam mansion, Ayra dan Chandly mungkin masih bisa memahami sikap kekanakan mereka. Seperti saat ini, acara sarapan pagi mereka terus saja berisik. Berisik mereka tentu menjadi momen spesial tersendiri untuk Zu dan Anta.             Sebab mereka sadar, waktu tidak bisa ditarik kembali. Kebersamaan yang seperti saat ini tidak selamanya bisa mereka rasakan. Sebab usia mereka yang sudah terlalu tua. “Kak Bening … habiskan dulu yang ada di mulutmu, Sayang. Baru bicara.” Chandly mengingatkan putrinya.             Bening langsung terdiam, meski wajahnya terus menahan tawa melirik ke arah sang Abang, Aiyaz dan Gamal yang memakan Iga bakar dengan lahap seperti orang kelaparan.             Sejak tadi, Azathea juga melirik ke arah yang sama. “Mas Aka dan Mas Gamal seperti orang kelaparan saja sejak tadi!” ketusnya dengan wajah sedikit menyeringai. “Makan lemak-lemak di pagi hari tidak sehat untuk kesehatan, Mas! Nanti muncul cholesterol jahat!” Bening kembali melanjutkan kalimatnya.             Aiyaz dan Gamal tidak peduli dengan omongan mereka. Sebab mereka sendiri memang sangat kelaparan. Bagaimana tidak kelaparan, sebab tadi malam saja mereka lupa untuk makan malam setelah kembali dari acara meeting di kantor. Karena mata mereka sudah tidak kuat, akhirnya mereka memilih untuk tidur di kamar Gamal, meski perut sudah keroncongan.             Berbeda dengan Embun yang menikmati sarapan paginya dengan tenang. Selain dirinya sarapan di satu piring yang sama dengan sang Grandpa, dia juga masih mau mengambil makanan dari piring sang Abang, Gaza yang duduk di sisi kirinya.             Dia tidak terlalu peduli dengan celotehan mereka sejak tadi. Apalagi Embun adalah tipe gadis periang yang tidak pernah merasa berada dalam kondisi bahaya. Pikirannya selalu positif. Karakter yang dia miliki sangat berbeda jauh dari Azathea dan Bening. Itu sebabnya para Abangnya selalu mengawasi Embun yang lebih sering dibodohi oleh kedua Kakaknya. “Makan yang banyak kamu, Mas. Biar cepat tumbuh besar,” gumam Gamal asal bicara sembari mengunyah, memegang Iga bakar di tangan kanannya. Dia sedikit mengejek Aiyaz yang berulang kali mengambil Iga dan menghabiskannya dalam waktu singkat.             Ucapannya direspon langsung oleh Arash. “Bagian yang mana yang akan tumbuh besar?” tanya Arash sedikit membuat ambigu. Dia bertanya dengan nada santai, seakan pertanyaannya adalah pertanyaan biasa saja.             Mereka semua melirik ke arah Arash dan Gamal. Lalu Gaza, ikut menyahut. “Mau tumbuh besar bagaimana lagi? Apa yakin akan muat?” sahut Gaza mencoba memberi pancingan.             Zu mulai berdehem, memahami kalimat demi kalimat yang mulai dilontarkan oleh para cucu laki-lakinya. Beginilah yang terjadi jika salah satu dari mereka mulai berulah di meja makan.             Dyrga dan Dyrta menatap tajam putra mereka. Juga Ayra dan Chandly melakukan hal yang sama. “Makan saja, jangan banyak bicara!” Chandly memberi peringatan kecil.             Saat suasana mulai hening, tiba-tiba saja Embun membuka suaranya. “Kenapa semuanya jadi diam? Tadi Mas Gaza bertanya, belum ada yang menjawab. Ya kan, Mas?” tanya Embun polos melirik sang Abang.             Gaza mengangguk pelan. Dia tersenyum dan sedikit menunjukkan ekspresi sedih saat sang Adik, Embun melihatnya. “Iya, Baby. Ya sudahlah. Mas tidak mau bertanya lagi,” jawab Gaza seakan sangat menyesali pertanyaan tanpa jawabannya.             Aiyaz sudah senyam-senyum saja sambil menikmati makanannya. Dia tidak mau ikut campur dalam pembicaraan ini. Karena hal itu akan mengancam pendengarannya nanti.             Gamal, dia melirik mereka semua yang mulai hening. Merasa tidak puas sebab tidak ada respon apapun, dia kembali angkat bicara. “Mas Aiyaz. Kau benar-benar tidak sopan. Kenapa diam saja? Dimana etikamu ketika orang lain bertanya, Mas?” tanya Gamal dengan kalimat sok bijak.             Azathea dan Bening tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan sang Abang, Gamal. Pasalnya, mereka tentu paham kemana arah pembicaraan sindiran itu.             Melihat respon cucunya, Anta menatap tajam ke arah Gamal yang duduk berseberangan meja dengannya. “Mas Gamal? Jangan sampai tongkat Grandma melayang kesana ya!” ketusnya sebelum menyesap sup yang tersendok disana.             Gamal langsung terdiam dengan ekspresi masih sedikit geli. Namun bibirnya terus saja tidak berhenti berkicau. “Sssttt … sssttt …” Gamal kembali memberi pancingan agar Aiyaz membuka suara dan membuat dua wanita yang masih cantik itu mengomel.             Aiyaz yang duduk di ujung meja, dekat sang Grandpa. Dia melirik Gamal. “Makan lemak yang banyak supaya kalau mengembang … dia agak lebih besar karena kebanyakan lemak,” sahut Aiyaz yang bibirnya mulai gatal. Dia bersikap santai, dan kembali memakan Iganya.             Arash dan Gaza tertawa sambil menutup mulut mereka dengan tissue. Berbeda dengan Gamal yang tertawa terbahak-bahak, sampai dia memundurkan kursinya ke belakang dan sedikit memutar tubuhnya berpaling dari meja makan.             Tubuhnya merunduk dan menutup wajahnya dengan tangan kiri yang tidak kotor. Bahasa dari sang Abang, Aiyaz membuatnya sakit perut. Sebab dia tahu, kalau mereka berdua sama-sama pengoleksi blue film.             Embun mengernyitkan keningnya, melirik mereka yang tertawa. Tapi dia merasa tidak ada yang lucu disini. “Kenapa tertawa. Apa ada yang lucu, Grandma?” Gadis polos itu kembali bertanya, melirik ke arah kanan.             Anta tersenyum dan menggeleng pelan. “Tidak ada, Sayang. Sudah makan saja. Mereka belum waras karena belum kenyang,” jawab Anta dengan bijak.             Azathea dan Bening hanya diam saja sebab mereka mendapat lirikan tajam dari sang Mommy, seakan menyuruh mereka untuk diam. Sedangkan 4 pria dewasa itu, mereka masih terus senyam-senyum dan tidak mau melanjutkan pembicaraan yang sudah dikritik pedas oleh sang Grandma, Anta. ..**..             Setelah selesai sarapan pagi, Arash permisi lebih dulu dari pada yang lain, yang masih duduk disana. Dia membuat alasan logis sebab sekretaris pribadinya, Yel Yuan sudah datang ke mansion dan ingin memberikan beberapa berkas untuk diperiksa sekali lagi.             Walaupun awalnya Ayra menolak alasan itu, tapi Zu dan Dyrga meyakinkan alasan Arash yang hanya sementara berjumpa dengan Yel Yuan. Mereka paham jika Arash memiliki waktu terbatas untuk bersantai. … Kamar Arash., Ruangan kerja.,             Arash sudah sibuk di meja kerjanya. Beberapa berkas sudah terlihat kusut. “Kau sudah mengecek semuanya?” tanya Arash tanpa melirik ke arah Yel Yuan.             Pria berseragam formal itu tampak mengangguk paham. “Sudah, Tuan.” Yel Yuan menjawab singkat. Lalu dia kembali diam, menunggu sampai Tuan Besarnya selesai mengecek semua hal yang berkaitan dengan masalah perusahan.             Berulang kali Arash menghela panjang nafasnya. Dia benar-benar tidak percaya kalau mereka masih menyimpan dendam itu setelah puluhan tahun lamanya.             Hal ini tidak mungkin dia beritahu pada kedua Grandpanya, Zu dan Agha. Dia tidak mau jika dua pria yang sangat mereka hormati itu memikirkan masalah berat.             Apalagi sang Grandpa, Agha yang jauh darinya. Arash tahu jika sang Grandpa pernah memiliki rahasia besar dulunya. Meski sudah terbongkar, namun penyesalan teramat dalam itu masih tampak di wajahnya saat berhadapan dengan sang Grandma, Zuha.             Oleh sebab itu Arash menutup rapat berita buruk ini dari telinga keluarga mereka. Hanya sang Daddy dan ketiga saudaranya saja yang mengetahui hal ini. Mungkin bagi Arash, ini bukanlah suatu hal yang begitu besar untuk diselesaikan. Namun di sisi lain, Arash ingin masalah ini cepat terbongkar. Agar perusahaan yang ingin menghancurkan Althafiance dan Eruca Alp Corporation tidak gulung tikar dalam hitungan hari.             Yel Yuan memperhatikan pria berkemeja abu-abu itu begitu fokus. Hingga dia mengingatkan sekali lagi mengenai undangan VIP yang akan diadakan beberapa hari lagi. “Tuan … maaf saya harus mengingatkannya sekali lagi.” Yel Yuan sedikit merundukkan kepalanya karena sudah mengganggu fokusnya.             Arash meliriknya sekilas dengan helaian nafas. Sepertinya dia tahu apa yang akan dikatakan oleh Yel Yuan. “Undangan minggu depan?” tanya Arash memastikan.             Yel Yuan lantas menganggukkan kepalanya. “Benar, Tuan. Tuan Besar Agha sudah menyiapkan setelan pakaian untuk Tuan Arash dan Tuan Aiyaz,” jelasnya memberitahu.             Bibir Arash kembali terbungkam. Dia memang tidak akan pernah bisa menghindar jika ada undangan mengatasnamakan Eruca Alp.             Sebab dia paham jika sang Grandma, Zuha pasti akan melarangnya untuk menolak. Begitu juga dengan sang Grandma, Anta yang selalu bersedia mendampinginya jika mereka mendapat undangan VIP untuk satu keluarga.             Saat mereka tengah membicarakan perihal undangan itu, suara ketukan pintu kamar membuat mereka menoleh ke sumber suara. Tokk… Tokk… Tokk… Ceklek…             Tanpa aba-aba, pintu kamar itu sudah terbuka lebar. Hentakan kaki seorang pria membuat Yel Yuan bergegas pergi melihat siapa yang masuk ke dalam kamar Tuan Besarnya.             Namun, seakan mengerti. Pria itu membuka suaranya. “Ini, aku.” Dia menyapa lalu berjalan menuju ruangan kerja yang terletak di sudut ruangan khusus.             Yel Yuan memperlambat langkah kaki, kala melihat pria itu berjalan ke arahnya. “Maaf, Tuan.” Yel Yuan sedikit merundukkan kepalanya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD