Chapt 6. Happiness in Old Age

1917 Words
            Saat langkah kakinya mulai mendekati aula penghubung antara taman samping dan kolam renang bagian luar, keningnya berkerut tatkala dia melihat siapa yang ada di ujung sana. …             Ketiga gadis itu terus saja tertawa geli saat melihat sang Grandpa kalah dalam permainan kecil mereka. “Grandpa kalah! Jadi, Grandpa harus memberikan Black Card Amex itu untuk Embun!” ujar Embun menaik turunkan kedua alisnya seraya membanggakan diri di hadapan Grandpa dan kedua Kakaknya. Tangan kanannya terulur ke arah sang Grandpa, seraya meminta kartu terakhir yang dipegang oleh sang Grandpa, Zu.             Azathea dan Bening menatap datar sang Adik yang ternyata memiliki dua tangan hoki. “Kalau Embun ambil Black Card yang itu, Kak Aza mau yang itu, bukan?” ujarnya bertanya sambil menunjuk Black Card Amex yang dipegang Embun dengan nama yang tercantum Mr. Abraham Althaf.             Bening yang melirik, dia kembali membuka suaranya lagi. “Kak Bening minta punya Grandma, yang itu saja!” Dia hendak mengambil Black Card yang ada di dekat Embun dengan nama yang tercantum disana, Adyanta Nawwar Rizky. Tapi Embun menarik semua kartunya dengan gerakan cepat. “Eitss! Enak saja! Ini punya Embun! Embun sudah menang sejak tadi! Kak Aza sama Kak Bening kan sudah dapat Mastercard Black Card! Itu rezeki Kakak. Dan ini? Ini rezeki Embun. Benarkan, Grandpa?” Embun menunjukkan dua kartu Black Card Amex milik sang Grandma.             Zu, dia tertawa geli melihat tingkah gemas ketiga cucunya yang memperebutkan Black Card miliknya dan milik sang istri, Anta. Menurut Zu, sikap mereka merupakan hiburan tersendiri untuknya. “Iya, Sayang Grandpa. Itu rezeki Embun,” jawab Zu mengusap lembut puncak kepala sang cucu.             Azathea dan Bening mendengus kesal. Mereka melihat kartu yang didapat dari hasil permainan tebak-tebakan.             Mereka kurang menyukai Mastercard Black Card. Sebab kartu itu tidak berkelas seperti Black Card Amex yang dimenangkan oleh Embun. ..**..             Yah, mereka bertiga memang lebih dulu sampai di dapur. Namun, karena masih sepi sebab Daddy dan para Abang mereka belum berkumpul di dapur, akhirnya mereka bosan dan mengajak sang Grandpa untuk berjalan sebentar di sekitar taman.             Zu menerima ajakan mereka. Kasih sayang Zu sebagai seorang Grandpa sangat tidak terbatas untuk ketiga cucu cantiknya.             Bukan dirinya pilih kasih dan lebih menyayangi ketiga cucu perempuannya dari pada keempat cucu laki-lakinya. Hanya saja Zu sudah memahami jika keempat cucu laki-lakinya sudah sangat mandiri, bahkan tidak bisa lagi diajak bermain bersama seperti yang saat ini tengah dia lakukan bersama ketiga cucu tercintanya.             Zu juga tidak peduli jika saja mungkin ada seseorang yang menganggap dirinya sebagai pria yang sangat memanjakan ketiga cucunya. Bagi Zu, apa yang dia berikan kepada keluarganya adalah kepuasan tersendiri untuknya. Sebab dia sendiri bekerja keras di masa muda hanya untuk memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Sekarang, semua kerja kerasnya terbayar lunas. Tidak hanya lebih dari cukup untuk foya-foya kedua putranya. Tetapi, harta kekayaannya juga bisa menghidupi keturunannya kelak bahkan lebih dari 10 keturunan sekalipun. Bagi seorang Zu, merupakan suatu kebanggaan tersendiri saat dirinya melihat para cucunya berfoya-foya dan melakukan segala hobinya dengan kekayaan yang dia punya. Walau dia tahu kedua menantunya tidak menyukai didikan yang dia dan istrinya berikan. Namun Zu tetap memberikan fasilitas dari segala sisi untuk ketujuh cucunya, meski dengan cara diam-diam. Seperti permainan yang mereka lakukan pagi ini. Zu memberi ide menarik agar mereka bermain sembari menunggu yang lain hadir di dapur untuk sarapan bersama.             Bermain tebak-tebakan dengan menggunakan permainan suit dan berakhir dari memilih kotak berlapis emas. Menebak nama hewan yang diberikan kepada pemenang suit. Lalu pemenang suit harus memberikan satu abjad secara spontan kepada mereka bertiga, agar menebak nama hewan sebanyak-banyaknya. Siapa yang bisa menebak nama hewan dengan sebanyak-banyaknya, maka dia adalah pemenang yang diperbolehkan untuk memilih salah satu dari keenam kotak emas. Dan di dalam kotak emas, Zu sudah mempersiapkan 6 kartu Black Card. Keenam kartu Black Card terdiri dari 3 kartu The American Express Centurion, dan 3 kartu Mastercard Black Card. Tentu saja Zu memberikan hadiah menarik dalam permainan mereka. Dan ide permainan itu disetujui langsung oleh ketiga cucunya tanpa komentar berarti. Selama berjalannya permainan, mereka bertiga mendapat giliran untuk membuka kotak berlapis emas yang mereka inginkan. Namun, keberuntungan memang berpihak pada Embun. Setiap kali dia membuka kotak berlapis emas itu, dia selalu mendapatkan Black Card Amex milik sang Grandma, Anta. Dan pada permainan terakhir, lagi-lagi Embun berhasil memilih kotak emas yang berisi dengan Black Card Amex milik sang Grandpa, Zu. Berbeda dengan Azathea dan Bening yang mendapatkan 2 Mastercard Black Card. Keberuntungan Embun direspon keirian dari kedua Kakaknya, Azathea dan Bening.             Respon dari kedua cucunya membuat Zu tidak sampai hati. Akhirnya, dia memberikan sisa Black Card Amex miliknya kepada Azathea dan Bening supaya terlihat adil. …             Azathea dan Bening merengek, lalu memeluk sang Grandpa untuk merayunya. “Grandpa … Bening cuma dapat Mastercard saja?” “Grandpa, kami mau …” “Adek, Kak Bening minta satu saja. Biar kita bisa belanja bersama-sama …”             Embun memajukan bibirnya kala melihat ekspresi kedua Kakaknya tampak bersedih. Entah kenapa, dia merasa jika satu kartu saja sudah cukup.             Tidak mungkin dia berbelanja dengan Black Card Amex, sedangkan kedua Kakaknya berbelanja dengan Mastercard Black Card. Dia pikir, orang-orang pasti akan berpikir jika keluarganya sangat pelit. Setelah menimbang selama 1 menit, dia menyodorkan dua kartu milik sang Grandma, Anta. “Ini, Kakak ambil ini saja. Biar Embun pakai punya Grandpa,” ucapnya bernada lesu dengan raut wajah sedikit tidak rela, namun hatinya sudah sangat yakin.             Mereka berdua saling melirik satu sama lain. Berbeda dengan Zu yang akhirnya mengambil dua kartu milik sang istri. “Ini, biar Grandpa simpan saja ya. Dan untuk dua cucu Grandpa yang cantik …” ucapannya berhenti sejenak.             Dia membuka dua kotak emas yang belum sempat dibuka oleh ketiga cucunya. Dan mengambil dua kartu miliknya yang tersisa. Dia menyodorkan dua Black Card Amex itu ke arah Azathea dan Bening. “Kak Aza dan Kak Bening juga pakai punya Grandpa,” jelasnya tersenyum ke arah mereka yang mulai berwajah riang.             Embun memeluk sang Grandpa dengan gerakan hati-hati. “Yeay!! Kakak dapat juga!!” teriaknya antusias. “Yeaayy! Terima kasih, Grandpa!” Azathea dan Bening juga ikut memeluk sang Grandpa.             Zu tertawa geli dan hatinya sungguh bahagia sekali. Dia bangga jika cucunya bisa membeli dan mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Dia merasa, jika kerja kerasnya selama muda dulu tidak sia-sia. Apalagi saat ini dia dipeluk dari depan, belakang, dan samping oleh ketiga cucunya. Hidupnya terasa lengkap dan begitu damai. “Iya-iya. Jangan sedih lagi. Ini hanya permainan.” Zu mengecup kening cucunya satu persatu. “Tidak mungkin Grandpa tidak beri Black Card Amex untuk cucu-cucu Grandpa yang cantiknya seperti—” Dia menghentikan kalimatnya seraya memberi isyarat. “Grandma Adyanta Nawwar Rizky!!” sahut mereka bertiga kompak.             Karena Zu terus tertawa, mereka bertiga juga ikut tertawa. Namun, tiba-tiba Embun membuka suaranya. “Tapi Grandpa? Ngomong-ngomong Embun lapar.” Dia melirik kedua Kakaknya. “Kakak tidak lapar?” tanyanya melirik kedua Kakaknya. “Iya, Kakak sudah lapar juga!” “Sama!”             Zu mengulum senyumannya. Perlahan dia hendak bangkit dari posisi duduknya di karpet merah buatan Turki. “Ayo, Sayang. Kita ke dapur sekarang. Mereka pasti sudah menunggu kita disana,” ucapnya sembari bangkit, dan dibantu oleh ketiga cucu tersayangnya. “Grandpa, hati-hati.” “Biar Embun bantu ya, Grandpa.” “Sebentar, Kak Aza atur kursi rodanya dulu.”             Zu berjalan pelan menuju kursi rodanya. Yah, sejak usianya menginjak 90 tahun, tubuhnya sudah tidak kuat berjalan lama. Dokter menyarankan dirinya untuk memakai kursi roda, dan berjalan beberapa menit saja untuk menyegarkan tulang kaki.             Azathea mendorong kursi roda itu, meski sudah terdapar remot kontrol disana. Sedangkan Bening dan Embun, mereka berjalan di sisi kanan dan kirinya. “Grandpa pasti sudah lapar, maafkan kami ya, Grandpa? Kami lupa kalau kita belum sarapan.” Embun menggenggam erat jemari kiri sang Grandpa. “Iya, Grandpa. Kami minta maaf. Sebenarnya, Kak Bening juga sudah lapar dari tadi. Tapi Kak Bening mau menang, makanya tadi terus bertahan.” Bening berkata jujur. “Tapi Grandpa tadi lapar tidak?” tanya Azathea sembari mendorong pelan kursi roda yang sengaja didesain khusus untuk seorang Azzura Abraham Althaf.             Zu tersenyum dan terus menggenggam jemari cucunya, Bening dan Embun. “Tidak masalah, Sayang. Lagi pula, permainan ini adalah ide Grandpa. Grandpa saja jadi lupa waktu. Dan Grandpa belum lapar, Sayang. Tapi kita akan sarapan bersama nanti,” jawab Zu dengan senyuman bahagianya.             Sejujurnya, dia juga sudah lapar sejak di dapur tadi. Hanya saja, dia lebih memilih untuk menahannya demi cucu cantiknya. Setidaknya pagi ini dia bisa bermain dengan ketiga cucu perempuan yang dulu selalu dia timang. …             Dyrga dan Dyrta tersenyum melihat pemandangan mereka saat ini. Antara bahagia dan juga sedih menyelimuti hati yang kian hari, kian sendu.             Bahagia, sebab melihat senyuman di wajah sang Daddy yang membuat hati mereka terasa damai. Bahagia dibalik kerutan wajahnya tak bisa dibohongi.             Dan mereka juga sedih, sebab usia sang Daddy sudah sangat berkurang. Sebagai seorang putra, mereka jauh merasa bersalah di usia senja kedua orang tua mereka.             Lubuk hati mereka yang paling dalam merasa belum siap jika waktu mengambil momen bahagia itu dengan begitu cepat. Mereka masih sangat ingin menghabiskan banyak waktu dengan kedua orang tua mereka.             Rasa tidak rela untuk berpisah semakin besar di benak mereka. Namun, mereka sadar jika Tuhan adalah penentu usia dari setiap yang bernyawa. “Bagaimana mungkin aku mengabaikan momen indah ini begitu saja?” Dyrga masih terus menatap lurus ke depan. Melihat mereka bermain disana. “Aku merasa bersalah karena telah melewatkan banyak waktu mudaku hanya untuk menjalankan bisnis diluar,” sambungnya lagi.             Dyrta tersenyum tipis mendengar pernyataan sang Abang. Dibalik senyumnya itu, tersimpan luka yang tidak bisa dia jabarkan dengan seuntai kalimatpun. “Apa kau memikirkan hal yang sama, Mas?” Dyrta bertanya dengan kedua tangan masih terus bersidekap d**a.             Dyrga segera menyapu air mata yang menetes di sudut mata kanannya. “Aku hanya ingin kita lebih sering menghabiskan waktu bersama. Setidaknya pergi berlibur bersama dengan keluarga Althaf yang lain,” ujarnya dengan suara terdengar parau.             Dyrta melirik sang Abang. Kedua matanya juga sudah memerah. Namun, dia terus menahannya agar tidak terjatuh. “Atau kita bisa liburan lama di Indonesia, Mas. Mommy pasti sangat merindukan keluarga yang ada di Medan.” Dia memberi saran.             Dyrga tersenyum dan menganggukkan kepala. Dia pikir, liburan itu akan menjadi momen bahagia bagi Mommy mereka. “Itu ide yang bagus. Tapi, kita harus memberitahu ini pada mereka dari jauh hari. Setidaknya, mereka ikut berada di Medan selama beberapa hari saja.” Dyga melirik Dyrta.             Dyrta menghela panjang nafasnya. Dia lupa, jika kedua putra mereka sudah menjadi orang sibuk seperti mereka saat masih muda. “Ya sudah. Aku akan bahas ini pada Aiyaz dan Gamal. Aku pikir, hanya dua anak itu yang selalu punya banyak alasan tidak logis.” Dyrta melirik sang Abang dengan seringaian tipis. Seketika dia mengingat tingkahnya saat masih muda dulu.             Dyrga masih betah melihat ekspresi bahagia Daddy dan putri mereka. “Apa mungkin aku tega mengatakan semua trik Daddy dan Mommy memanjakan mereka? Melihat mereka bahagia karena memanjakan cucunya saja, itu membuat hatiku tenang,” ujar Dyrga mengatakan isi hatinya dengan jujur.             Dyrta ikut mengiyakan ucapannya. “Kita tidak perlu mengatakan itu pada mereka, Mas. Sebagai seorang Ibu, mungkin mereka takut jika putri mereka menjadi wanita manja.” Dyrta membalasnya dengan seringaian tipis.             Dyrga tersenyum, membenarkan pernyataan Dyrta. “Kalau begitu, kita tetap sembunyikan ini saja. Jangan sampai ada satu orang pun yang tahu,” ucapnya lagi lalu direspon oleh seseorang yang berada tepat di belakang mereka. “Dan aku sudah tahu. Lalu, bagaimana?” Deg!             Dyrga dan Dyrta menoleh ke arah belakang. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD