Sejak pertama bertemu dengan Nay, Ellin sudah merasa cocok. Aura yang terpancar dari wanita itu begitu positif. Membuat ia betah duduk lama-lama dan mengobrol banyak hal dengannya. Hal yang jarang ia lakukan dengan Ari karena kecanggungan yang meronta. Jika Nay tipe orang yang lebih terbuka, maka Ari memiliki sikap yang berbeda. Lelaki itu lebih banyak diam dan merenung. Sikap yang membuatnya agak was-was dan selalu memikirkan pertanyaan yang sama. Apakah ia melakukan sesuatu yang salah?
“Aku tidak tahu di mana Ari menyimpan album pernikahan kalian. Namun, aku punya beberapa foto pernikahan kalian yang tersimpan di folder ponsel. Aku menyimpannya dengan baik, lho!”
Ellin tersenyum mendengar penuturan Nay. Ia merapatkan tubuh pada wanita yang mulai membuka galeri di ponsel pribadi. Setelah scroll sekian lama, akhirnya ia menemukan sebuah foto yang menunjukkan dua orang tengah memamerkan senyum terbaik ke kamera. Dia bisa melihat potret dirinya masa lalu yang memiliki tubuh lebih berisi.
Dirinya memakai baju pengantin internasional model ball gown dengan belahan d**a yang agak rendah. Ada aksen payet menarik dari d**a sampai pinggang yang membuat sang pengantin mirip putri negeri dongeng. Memegang buket bunga posy, ia benar-benar cantik mempesona dengan tatanan rambut croissant chignon.
Ia menatap foto di ponsel berkali-kali. Tidak percaya bahwa ia adalah wanita cantik yang ada di sana. Berbeda dengan dirinya yang dulu, kini ia lebih kurus dengan bola mata yang agak menonjol. Apa benar ia pernah secantik wanita dalam potret pernikahan itu? Mengabaikan pemikiran sendiri, ia bergeser pada sosok jangkung di samping sang pengantin wanita. Lelaki yang memakai setelan tuksedo hitam itu adalah Ari. Meski Ari memiliki potongan rambut pendek yang lebih rapi dari sekarang, tetapi wajah itu masih tetap tampan. Tak terlihat menua. Ia juga tidak percaya bahwa Ari pernah tersenyum lebar. Sebahagia itu.
“Ellin, kamu baik-baik saja? Wajahmu tampak pucat,” ujar Nay cemas.
Ellin menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Hanya merasa aneh melihat diriku memakai baju pengantin seperti ini. Aku tampak ….”
“Luar biasa, aku tahu. Kamu sangat cantik hari itu, El. Aku sampai sulit bernapas melihatmu memakai gaun putih itu. Kurasa, cita-citamu untuk menikah ala princess benar-benar terwujud.”
“Oh.”
Nay lalu menggeser slide foto selanjutnya, tak lelah mengenalkan satu per satu teman mereka. Sampai tiba di slide terakhir, Ellin memegang tangan kanan Nay dengan kuat. Sebuah foto menunjukkan potret pernikahan Ellin bersama banyak orang.
“Teman-teman kantor kita. Ada Lutfi, Rere, Nina, Dewi, Cika, eh … si gendut yang hobi makan, Dodi namanya. Di sebelah kiri, ada Ronald, Dimas dan …,” ucap Nay yang langsung berhenti.
Pandangan Ellin tidak bisa teralih dari potret seorang laki-laki yang berdiri dekat Dimas. Wajahnya agak lonjong dengan bola mata yang sayu, bahkan senyum yang terpasang hanya separuh saja.
“Ellin, kamu ingat sesuatu?” tanya Nay menyelidik.
Bibir Ellin terkatup rapat, tapi ia fokus menatap potret yang terakhir. Menyentuh layar ponsel yang otomatis memperbesar foto pernikahan itu. Rasanya ia pernah melihat lelaki itu, tapi ia tidak bisa mengingat kapan dan di mana pertemuan mereka.
Mengetahui arah pandangan Ellin yang terfokus pada foto, Nay mendesah pelan. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri. Melanggar janji yang ia buat pada Ari beberapa jam lalu.
“Oh, kamu bodoh, Nay!” rutuknya kesal.
Dipandanginya Ellin yang masih fokus pada foto, menyentuh gambar sang lelaki yang memakai kemeja warna hitam itu.
“Eh, sudah hampir jam makan siang. Sebaiknya kita siapkan makan siang untuk Ari, yuk!”
Ellin terperangah, lalu mengangguk menuruti permintaan Nay yang langsung memasukkan ponsel ke dalam tas. Keinginan bertanya tentang siapa laki-laki tadi tak akan ia katakan, apalagi Nay terlihat tidak nyaman. Ia tidak ingin meracuni pertemuan pertama dengan Nay berubah menjadi buruk.
“Kamu ingin tahu apa makanan kesukaan Ari, El?”
Mengangguk singkat, Ellin menyahut, “Aku tidak ingat.”
“Tidak apa. Aku akan membantumu untuk mengingatnya.” Nay membisikkan sesuatu di telinga Ellin yang langsung membuat wanita itu bergidik singkat.
***
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, pesanan pare segar yang dibeli Nay secara online telah tiba. Wanita itu memakai celemek dapur yang biasa dipakai Mbok Lastri, lalu memotong dua buah pare yang masih segar dan membuang isinya. Dengan gesit tanpa takut terluka, ia telah memotong pare menjadi potongan kecil-kecil yang lebih tipis.
“Kamu mau membantuku?” tanya Nay yang langsung dibalas dengan anggukan kepala Ellin.
“Baiklah, kamu bisa mengupas tiga siung bawang putih dan lima siung bawang merah. Aku akan mengolah pare biar tidak pahit.”
Ellin menuruti perintah Nay. Ia mulai menghaluskan bawang putih dan merah bersama cabai, garam dan seiris terasi kecil. Kata Nay, Ari sangat suka dengan citarasa terasi pada tumis pare. Harapan masakan pertama akan memikat lidah sang suami, ia berusaha mengulek bumbu di atas cobek sekuat tenaga.
“Kamu sangat mengenal Ari, ya?”
Ucapan Ellin membuat gerakan Nay yang meremas pare berhenti. Mereka berpandangan sejenak, lalu tangan kanan Nay memeras pare lebih kuat agar tekstur sayur lebih kesat. Saat mencuci sayur di wastafel dapur, ia menoleh pada Ellin yang menunggu.
“Kita bertiga teman di SMP dan SMA, tapi aku berteman dengan Ari sejak kanak-kanak.”
“Aku benar-benar kehilangan memori tentangnya,” ucap Ellin dengan nada sedih yang tidak dibuat-buat.
“Tidak apa-apa. Kalian bisa memulai lagi dari awal, ‘kan? Selama ini, kamu cukup sibuk di kantor sampai tidak punya waktu luang.”
“Begitu, ya? Aku terdengar seperti istri yang tidak baik, ya?”
Mendadak Nay memukul wadah pare keras-keras sampai air keran muncrat mengenai wajah. “Astaga, aku benar-benar kehilangan kontrol.”
“Nay,” tegur Ellin ikut terkejut dan mematikan air keran yang masih mengalir. Mengambil beberapa irisan pare yang berserakan di wastafel dapur.
“Kamu baik-baik saja?” Ellin mengawasi Nay yang agak masam.
“Aku baik-baik saja, tapi aku kesal pada diriku sendiri.”
“Kenapa?”
“Aku memberikan informasi yang terlalu banyak padamu. Kamu butuh waktu untuk mengingat semuanya. Maafkan aku!”
Ellin menggeleng. “Aku senang memiliki teman sepertimu. Aku belum pernah bercerita pada orang lain seperti sekarang. Kurasa, aku mungkin hampir mendekati diriku yang dulu. Kamu bilang kalau aku tipe orang yang banyak omong, ‘kan?”
Nay tertawa. “Kamu benar. Sebaiknya aku yang memasak dan kamu duduk di kursi makan saja.”
“Kamu bilang kalau Ari suka sayur pare. Seharusnya aku membantumu menumis sayur itu.”
Gerakan Nay yang tengah menyiapkan wajan penggorengan berhenti, lalu melirik Ellin sekilas. Ucapan wanita berkacamata itu menghancurkan bibit pengharapan yang baru saja tumbuh di hatinya.
“Meski Ari sangat suka tumis pare, kamu membenci makanan itu, El.”
“Apa karena pare memiliki rasa yang pahit?” tanya Ellin polos.
“Bukan be—mungkin. Pare memang pahit,” balas Nay pelan, lalu sibuk memasukkan bumbu pada minyak panas di wajan saat melanjutkan lebih lirih, “sepahit kehidupan kita.”
Tentu Ellin tidak pernah mendengar tiga kata yang Nay ucapkan pada saat terakhir. Suara dan aroma bumbu yang ditumis mengakhiri percakapan mereka.
***