Dua cangkir teh masih mengepulkan uap saat Ari meletakkannya di atas meja makan. Beberapa potong kue lapis tersaji di atas piring yang langsung membuat perut Ellin keroncongan. Ia menunggu Ari yang tengah mencuci tangan di wastafel dapur. Makan siang yang terlambat bukan masalah, asal bersama orang yang tepat.
“Apa aku selalu mengandalkanmu terus?”
Alis Ari bertaut. Ia tidak menyahut saat mengambil sepotong kue lapis dari piring dan menyajikannya di lepek. Saat ia mengulurkan piring kecil itu pada Ellin, bibirnya baru terangkat, “Aku tidak mengerti maksudmu.”
Ellin menatap Ari sejenak, kemudian mendesah pelan, “Bahkan aku tidak bisa memasak makanan kesukaanmu.”
Ari yang tengah mengambil kue lapis untuk diri sendiri memasang senyum tipis. Tangan kanannya menarik kursi, lalu mendekat pada Ellin yang masih menatap potongan kue tanpa berkedip.
“Kamu tidak pernah memasak pare. Tak perlu dipikirkan terlalu serius. Aku senang melihatmu kembali ke dapur ini.”
“Nay juga bilang kalau aku terlalu sibuk dulu. Maafkan aku, ya!”
Ari agak terkejut, tapi ia bisa menguasai diri dengan baik. Mata coklatnya menatap Ellin yang memainkan ujung kaos tanpa henti. Sikap gugup yang melekat pada Ellin sehingga Ari menganggap wanita itu istimewa sejak dulu.
“Kamu bekerja sebagai staf keuangan di perusahaan advertising ternama. Aku memahami konsekuensi pekerjaanmu sejak kita memutuskan untuk menikah.”
Ellin tersentak, lalu ia menatap Ari penasaran. “Oh ya, bagaimana kita bisa menikah? Maksudku, kamu tidak pernah menceritakan bagian itu.”
“Lain kali saja. Sekarang kita harus minum teh dan makan kue. Aku yakin rasanya lebih enak selagi hangat.”
Ellin hanya mengangguk setuju. Ia tengah menyendok potongan kue yang lembut ketika sebuah ide mendadak muncul dalam kepala. Ia menyodorkan satu sendok penuh kue pada Ari dengan penuh semangat, meski lelaki itu membalas dengan kerutan yang lebih banyak.
“Makanlah! Aaa ….”
Tak punya pilihan lain, Ari membuka mulut agak lebar. Ellin tersenyum puas melihat cara sang suami menikmati sepotong kue lapis. Rambut gondrongnya ikut bergerak seiring hembusan angin yang masuk lewat ventilasi dapur. Kapan terakhir ia melihat keindahan itu? Ia sudah lupa, bahkan tidak bisa mengingatnya.
“Kamu tidak suka kuenya?”
Terkejut dengan pertanyaan Ari, Ellin buru-buru menyendok kuenya sendiri.
***
Ellin belum bisa tidur jelang pukul sembilan malam, padahal Ari sudah mengeceknya dua kali. Setelah menghabiskan makan malam dan minum vitamin, ia memilih naik ke tempat tidur. Udara di luar cukup dingin pada pertengahan bulan Januari. Hujan selalu datang setiap hari tanpa jeda. Ia tidak suka meringkuk di bawah selimut tebal terlalu lama.
Melongok pada jendela kamar, Ellin menatap lingkungan sekitar rumah yang sepi. Hujan yang masih mengguyur membuat orang-orang enggan ke luar rumah. Seharusnya suara gemerisik hujan membuatnya lebih cepat tidur. Meski sudah mencoba beberapa kali, matanya tetap enggan terpejam.
Ellin bergerak menuju ke meja rias yang dipenuhi koleksi parfum miliknya. Ia sempat mencoba beberapa, tapi parfum dengan aroma floral paling favorit. Setiap menyemprotkan parfum itu, dia merasa lebih bahagia. Setelah memakai parfum, ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Ia tidak ingin berpaling melihat bola mata yang lebih cekung. Beberapa hari lalu, ia selalu bermimpi buruk sehingga tidak bisa tidur nyenyak.
Tangan kanan Ellin mulai menyentuh tulang pipi yang terlihat menonjol, seolah ia kehilangan berat badan secara drastis. Beban pikiran memang membuat ia kehilangan nafsu makan dua minggu terakhir. Setiap ada orang yang datang ke rumah, ia merasa cemas dan takut.
“Aku tidak bisa tidur,” gumam wanita berparas ayu dengan bulu mata lentik itu.
Ia memutuskan untuk melihat apa yang dilakukan Ari di lantai satu. Biasanya lelaki itu memang pergi tidur setelah pukul sepuluh, kadang lewat tengah malam. Bahkan, Ari pernah tidak tidur di kamar utama sebab Ellin menemukan sprei di sebelah masih rapi keesokan hari. Tidak ada tanda-tanda seseorang pernah tidur di sana. Hal itulah yang sering membuat Ellin murung. Jika Ari benar-benar suaminya, kenapa seolah ada tembok pembatas di antara mereka? Jujur saja, Ari belum pernah menciumnya. Hanya beberapa kali memeluk saat ia terbangun akibat mimpi buruk.
Tak ingin semakin terpuruk dengan pemikiran sendiri, Ellin segera menuruni tangga. Ia mencari saklar lampu dalam gelap. Tidak ada siapa-siapa. Ia sudah mengecek ruang tamu, ruang keluarga hingga dapur, Ari tidak ada di sana. Tiba-tiba perasaan takut kehilangan menyergap. Pasalnya, Ari selalu pamit bila bepergian ke luar rumah. Ingin sekali mengecek buku telepon dan menghubungi teman-teman Ari, tetapi ia mengurungkan niat itu. Masih ada harapan. Bukankah ia belum mengecek lantai tiga? Ari bisa saja berada di rooftop.
***
Benar dugaan Ellin jika Ari berada di lantai tiga rumah mereka. Lelaki itu berdiri di depan pagar pembatas lantai tiga yang setinggi pinggang saja. Kaos hitam yang ia pakai sudah basah terkena air hujan yang tak henti mengguyur Jakarta. Ia hanya memperhatikan punggung Ari yang kokoh. Tak peduli hujan ikut membuat dirinya basah sebab kanopi otomatis tidak tertutup. Sepertinya Ari memang ingin menikmati hujan sendirian.
“Kenapa kamu belum tidur?” tanya Ari tanpa berpaling.
Ellin tidak menjawab. Ia melangkah menuju ke samping lelaki berambut gondrong itu. Tinggi badan mereka hampir sama, hanya selisih satu kepala saja. Jadi, ia tidak perlu terlalu mendongak untuk menatap wajah Ari yang menengadah ke langit.
“Aku tidak bisa tidur.”
“Aku hanya ingin sendi—menikmati hujan.”
Ellin mengedikkan bahu sedikit, lalu memandang jalanan kompleks yang lengang dari ketinggian.
“Aku mencarimu di bawah. Kamu tidak ada di mana-mana, aku cemas sekali.”
Ari menoleh dan memperhatikan raut wajah Ellin yang tidak berbohong. Dulu ia tidak ingin percaya bahwa Ellin berbohong padanya, tetapi kenyataan berkata lain. Namun, ucapan Ellin terdengar tulus di telinganya kali ini. Benarkah orang yang lupa ingatan bisa merencanakan kebohongan lagi? Ia meragukan hal itu.
“Aku tidak pernah ke mana-mana. Aku ada di sini, El.”
Ellin merapatkan tubuh yang mulai menggigil pada Ari. Merasakan aroma tubuh lelaki itu menyesap ke lubang hidung. Membuatnya ingin terus berdekatan sampai kapan pun, meski Ari lebih sering bersikap dingin padanya.
“Kamu tidak keberatan, ‘kan?”
Pertanyaan Ellin terdengar ambigu, tetapi Ari hanya menggelengkan kepala. Saat tangan sang istri menyentuh pergelangan tangannya, ia tidak bergidik sama sekali. Digenggamnya balik tangan mungil itu selama beberapa saat.
“Kamu bisa sakit kalau kehujanan seperti ini.”
“Tidak apa. Aku mungkin akan menyukai hujan dalam hidupku.”
Tatapan lembut Ari berubah cepat, ada kilat terluka di sana. Ellin bisa melihat dan merasakan hal itu.
“Kamu selalu menyukai salju bukan hujan, El.”
“Mungkin El yang dulu suka salju, El yang sekarang akan menyukai hujan.”
Tangan Ari yang menggenggam tangan Ellin langsung terhempas tiba-tiba. Ada perasaan sedih yang menyergap hati wanita itu. Ari tidak menyukai sentuhannya. Namun, pemikiran itu langsung lenyap saat Ari membalikkan tubuh berhadapan dengannya. Menyentuh piyama tipis yang dipakai Ellin, mengalirkan sensasi aneh dalam dirinya. Kedua tangan Ari meluncur dari bahu menuju ke tulang selangka yang menonjol dan mengusapnya lembut tanpa tekanan. Seolah ia adalah benda rapuh yang bisa hancur dalam sekali sentuhan.
Ellin sudah memejamkan mata, berharap Ari akan menghapus air hujan yang sudah membasahi wajah. Sentuhan tangan lelaki itu memiliki unsur magis yang membuatnya menginginkan lebih. Bibirnya setengah terbuka dan mengundang. Saat jemari Ari mulai menyentuh pipi, ia agak tersentak. Ia hanya belum terbiasa dengan sentuhan Ari yang minim selama ini.
Kediaman melanda mereka selama beberapa menit sampai Ellin merasakan tangan Ari menjauh. Kegugupan membuat ia tidak bisa mengontrol diri. Ia tidak menolak Ari, malah mengharapkan sentuhannya lebih dalam. Sepertinya pemikiran Ari bertolak belakang. Saat dirinya membuka mata, ia benar-benar menyesali gerak refleks yang tidak bisa dikenalikan. Ari sudah berbalik menuju ke ujung tangga yang menghubungkan rooftop dengan lantai dua.
“Ayo kembali ke kamar! Aku tidak ingin kamu terkena flu.”
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Ari selalu menghindar.
***