01 - Perjuangan Bunda

1312 Words
Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi namun Ibu muda itu sudah terbangun dari mimpi indahnya. Tugasnya sebagai seorang Ibu dari tiga orang anak serta kewajibannya memberi nafkah layaknya seorang Ayah membuat jam tidurnya berkurang. Wanita itu bergegas mandi terlebih dahulu sebelum memasak bubur untuk ketiga buah hatinya. Setelah selesai mandi, dia menuju dapur untuk menyiapkan semuanya. Jika kalian bertanya, apakah dia tidak memiliki maid? Tentu saja ada. Namun jika menyangkut si kecil, dia akan memasaknya sendiri. Tangan cekatan nya mulai membuat bubur tim untuk ketiga anaknya. Hingga sebuah suara membuatnya sedikit melirik "Pagi Non," sapa Mbak Desy sopan. Desy merupakan babysitter Chacha. "Pagi Mbak." "Mau saya bantu Non? Biar Non istirahat sebentar," tawar Mbak Desy dengan tersenyum ramah. "Gak usah Mbak. Nanti Mbak bagian mandiin kembar aja," tolak Raina halus. "Baik Non. Kalau gitu saya permisi mandikan si kembar dahulu." pamit Mbak Desy dan diangguki Raina. Selepas Mbak Desy pergi, Raina mengusap matanya yang berair. Sudah setahun belakangan ini wanita itu sering menghabiskan waktunya untuk menangis. Terlepas dari tanggung jawabnya memberikan kasih sayang serta nafkah untuk dirinya serta ketiga anaknya. Satu jam kemudian semua sudah siap di meja makan termasuk masakan para maid yang dipekerjakan oleh Cakka dan Elsa. "Bububu...." Chacha berceloteh dengan bertepuk tangan. Ketiga bayi berusia 14 bulan hasil jiplakan nya dan Roy itu anteng di stroller nya dengan senyuman yang lebar hingga memperlihatkan giginya yang masih jarang. Para maid yang selesai menyiapkan sarapan serta babysitter yang menyiapkan keperluan Baby G segera menyingkir agar Nona nya bisa mendekatkan diri kepada ketiganya. "Bun, aem." Gala menjulurkan tangannya meminta Raina agar segera menggendongnya. "Gala duduk ya. Bunda suapin," tutur Raina sabar. Ketiganya tertawa dengan suara khas bayi membuat Raina segera menyuapi mereka satu persatu. Dia sengaja membuat mereka makan satu tempat agar sampai kapan pun tidak dapat terpisah. Seperti dirinya dan Edgar yang selalu disuapi bersama oleh Bunda Avio. "Pagi sayang. Lelah gak urus kembar? Kalau lelah, aku izin gak masuk buat bantu kamu," tanya Roy sembari mengelus rambut istrinya. "Pagi Mas. Enggak dong. Mereka itu kebahagiaanku. Mana mungkin aku lelah." "Bunda...bunda...." Panggilan Alan membuyarkan lamunan Raina yang Menghayal merawat kembar bersama dengan Roy, suami sekaligus Ayah dari ketiga anaknya. "E-eh iya sayang. Maaf ya," ucap Raina dengan menyesal. Memang di antara ketiganya hanya si sulung yang dapat menyebutnya 'Bunda'. Setelah selesai, Raina menitipkan ketiga anaknya kepada para pengasuhnya karena dia harus mengambil perlengkapan si kembar selama seharian nanti. "Terima kasih Mbak Desy, Mbak Dea, Mbak Mia." ucap Raina tulus. "Samasama Non. Hati-hati dijalan," pesan ketiganya dan diangguki Raina. Setelah itu Raina mendorong stroller menuju mobil dibantu dengan para Bodyguard nya. *** Wanita tangguh itu kini sudah berada di lobby kantornya, Lesan Company. Dia hanya sebagai Ketua Divisi Desain karena jika harus menjadi CEO, dia sendiri belum memiliki pengalaman. Sepanjang menuju ruangannya banyak sapaan dari para karyawan Cakka untuk dirinya dan untuk si kecil. Raina sendiri tidak membatasi jika para karyawannya ingin bermain dengan Baby G. Ting Lift sudah berhenti di lantai 15 tepat area para Divisi Desain berkumpul. Memang Lesan Company membedakan tiap lantai untuk tiap divisi nya. Raina segera menuju ruangannya. Setibanya diruangan, Raina segera menurunkan Baby G dari stroller nya karena memang seperti itu kebiasaan mereka. Jika Raina bekerja, ketiga anaknya akan bermain di karpet yang ada di ruangan itu. Otomatis para pegawai yang akan masuk harus lepas alas kaki terlebih dahulu serta mencuci kakinya di tempat yang disediakan. "Anak-anak Bunda main sendiri ya? Bunda mau cari uang buat beliin kalian mainan," tutur Raina lalu mengecup pipi gembul ketiganya. Entah paham atau tidak yang pasti mereka mengangguk antusias membuat Raina terkekeh. Wanita itu segera menuju meja kerjanya. Menandatangani beberapa berkas serta mengurus calon partner baru. Tok! Tok! Pandangan Raina beralih ke pintu yang diketuk dari luar. "Masuk." Cklek! Raina belum menyadari siapa tamu yang datang karena dia terlalu fokus dengan berkasnya. "Halo anak cantik, halo anak ganteng." Suara yang sangat dikenalinya membuat pandangan Raina benar-benar teralih. "Bang Erlang. Kok gak bilang mau kesini?" cerocos Raina seolah dia lupa bahwa dihadapannya ada tiga nyawa sedang menatapnya bingung. Erlang terkekeh geli. "Abang kan mau bertemu Adiknya yang cantik ini. Sama mau kasih gift buat anak-anak manis yang lagi merhatiin kita sekarang," ucapan Erlang membuat Raina menunduk. Benar saja Baby G sedang menatap bingung kearahnya dengan pandangan polos. Gala merengek dengan tangan terulur. Sepertinya si bungsu itu tau bahwa Pamannya membawa banyak mainan dengan harga fantastis. Erlang yang peka langsung membawa Gala ke gendongannya. "Gala mau mainan hm?" tanya Erlang lembut. Bayi 14 bulan itu mengangguk pelan lalu meringsek ke d**a bidang Erlang. Sementara Alan harus menelan rasa kecewanya karena tak digendong. Sebenarnya Erlang mengerti bahwa si sulung sedang memperhatikannya, namun tak salah kan jika dirinya ingin menggoda keponakan tampannya itu? "Bunda....hiks...." Akhirnya Alan kalah. Bocah yang jarang sekali menangis itu kini tengah mengeluarkan air matanya. "Loh kok nangis?" tanya Raina setelah mensejajarkan tingginya dengan Alan. Bocah itu tidak menjawab tetapi tangan mungilnya menunjuk Erlang. "Kenapa sama Uncle?" "Ndong Bunda...ndong hiks...." Anak itu semakin terisak dengan wajah memerahnya. Sementara Erlang sudah tergelak dengan Gala di gendongannya. Chacha? Gadis itu tengah tiduran di karpet dengan memegang boneka nya. "Sini Uncle gendong. Gitu aja pake nangis." Erlang mencibir keponakannya. Entah sejak kapan pemuda datar itu menjadi asik seperti ini. Namun tetap terlihat aneh. Ajaib Alan langsung berhenti menangis. Bocah itu justru tertawa. Raina langsung menuju Chacha yang masih asyik rebahan. "Chacha ngantuk?" tanya Raina lalu mengangkat Chacha. Gadis cilik itu langsung menyandarkan dirinya ke d**a Raina. Sepertinya tak lama lagi akan tertidur karena matanya sudah terlihat sayu. "Kamu bawa ke kamar aja si Chacha dek. Kayaknya dia ngantuk," saran Erlang. Raina mengangguk setuju dan langsung menuju kamar pribadi di ruangan nya. Sesampainya di kamar, Raina berniat meletakkan Chacha ke kasur namun gadis itu menolak "Mau apa?" tanya Raina karena Chacha menggeleng. Gadis itu langsung menarik baju kerja Raina. Sepertinya Mama muda itu paham jika si kecil sedang haus. Langsung saja Raina memberikan ASI untuk putrinya. Tak lama Chacha tertidur masih dalam posisi menyusu. Raina mengelus lembut kening putrinya. Aku kangen Mas. Bahagia di sana, Batinnya lalu mengecup kening Chacha dan meletakkan ke kasur karena bocah itu sudah terlelap. *** El baru saja memasuki markas DJ. Di sana banyak sekali tahanan yang keadaannya mengenaskan. Bisa dibilang kondisi tubuhnya tidak utuh lagi karena mereka semua sangat suka menyiksa para penghianat. "Selamat datang bos!" sapaan hangat dari mereka semua dibalas anggukan singkat oleh El. "Bagaimana keadaan mereka semua?" tanya El datar. "Aman bos. Mereka semua mengenaskan," sahut salah satu dari mereka. El menyeringai puas "Bagus. Tetap awasi mereka dan jangan lengah," pesan El dan berlalu pergi untuk bertemu dengan Ero. *** Raina menatap foto anak-anaknya yang dia letakkan di meja kerjanya. Entah mengapa susah sekali menentukan momen di mana mereka bisa berfoto bertiga. Pasti hanya berdua saja dan selalu seperti itu. Raina dibuat tersenyum melihatnya. Ketiga anaknya itu perpaduan antara dirinya dan mendiang Roy. Tak lama Mama muda itu menghela napasnya pelan. Sampai kapan dirinya harus terbayang-bayang rasa sedih terus? Sudah setahun lebih Mas kamu pergi. Apa boleh aku berharap kalau Tuhan memberikan keajaiban supaya kita bisa rawat mereka sampai kita menua bersama? batin Raina tanpa sadar air matanya menetes. Kriiieettttt... "Permisi Bu ini ada dokumen yang harus ditanda tangani," ucap seorang pegawai perempuan yang berusia lebih tua daripada Raina. "Mbak jangan panggil saya Ibu, dong! Saya ini masih 22 tahun loh," tegas Raina karena merasa panggilan itu sangatlah tua. "Tidak sopan, Bu." "Udah deh Mbak Lala! Anggep aja saya itu Adiknya Mbak!" Raina menatap tajam anggota divisi nya. "Oke deh. Aku panggil kamu Adik aja ya?" Raina tersenyum manis dan mengacungkan jempolnya. "Oke Mbak." "Anak-anak di mana Dek? Kok tumben diem?" tanya Mbak Lala penasaran. "Dibawa Papa Cakka sama Mama Elsa tadi," jawab Raina. "Oh. Yaudah deh aku kembali ke ruangan ya, Dek. Bye." Mbak Lala melambaikan tangannya dan dibalas oleh Raina. Selepas Mbak Lala pergi, Raina menelungkupkan kepalanya ke meja karena merasa sangat mengantuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD