Dipecat Tidak Hormat

1180 Words
“Kenapa kamu di sini?!” dengus Ara. “Hei! Jaga sopan santun mu!” seruduk Bu Gandi. Ah, Ara tidak menyadari bahwa karyawan dapur termasuk Bu Gandi dan Ruri sedang berkumpul seolah menyambut seseorang. “Sudahlah….” ucap laki-laki itu seraya mendekat. Seringainya mengembang saat jarak mereka cukup dekat. “Wajahmu tidak pernah berubah ya. Tetap polos seperti dulu. Sayang tidak sepolos hatinya.” “Jaga ucapanmu, Wira Handaru!” Ya, laki-laki ini adalah mantan suaminya, Wira Handaru. Laki-laki yang dicintai Ara beberapa tahun lalu. Kini semua kenangan itu hanya tinggal jejak yang akan menimbulkan sesak ketika mengingatnya. “Pergilah! Ini bukan tempatmu!” kecam Ara. “Sepertinya bukan begini sambutan yang pas untuk menyambut atasan. Bukankah begitu kepala koki?” tengok Wira ke Bu Gandi. “A-anu….” Bu Gandi beranjak dari tempatnya. Mendekat ke arah Wira berdiri. “Sebenarnya dia karyawan baru. Belum ada satu tahun dia bekerja di sini. Jadi… kalau Tuan merasa terganggu dengannya. Saya tidak keberatan memecatnya.” DEG! Situasi apa ini? Pecat? Memangnya bisa begitu?! “Tunggu! Kenapa aku harus dipecat?” protes Ara tidak terima. “Tck! Itu karena kamu sudah menyinggung CEO baru perusahaan ini. Seharusnya kamu jaga sikap bukannya langsung berkata kasar seperti tadi!” “CEO?” “Ya, beliau CEO baru perusahaan ini,” ungkap Bu Gandi. Ia beralih ke Wira dan melempar senyum lebar. “Suatu kehormatan Tuan mampir kemari. Beginilah keadaan dapur perusahaan. Kami menyediakan makanan prasmanan sebagai fasilitas untuk kesejahteraan karyawan,” jelas Bu Gandi semangat. Wira hanya tersenyum singkat kemudian fokusnya kembali pada Ara. “Kamu pasti tidak menyangka kan? Mantan suamimu ini akan sukses seperti sekarang.” Pengakuan Wira sontak membuat seisi dapur membelalakkan mata. Tak terkecuali Ruri yang spontan menutup mulutnya. Bisik-bisik terdengar lirih. Mereka saling melempar tatapan ke Ara. Tatapan penuh tanya yang jelas tidak akan Ara jawab. “Apa maumu?” timpal Ara. Ia tipe orang yang to the point. Tidak ingin berlama-lama memandang wajah mantan suaminya. “Tadinya aku hanya ingin menyapamu. Siapa yang menyangka kamu justru mengusirku dari perusahaanku sendiri. Seperti yang kepala koki bilang. Kamu sudah tidak sopan. Aku punya hak memecat karyawan yang attitude nya buruk.” “Tapi….” Wira mengikis jarak dan mensejajarkan tingginya dengan Ara. “Akan terlihat kejam jika aku memecat mantan istriku sendiri. Jadi….” Wira semakin maju hingga bibirnya berhenti di samping daun teling Ara. “Berikan tubuhmu maka akan kuberikan pekerjaan yang lebih layak dari pekerjaanmu sekarang.” DEG! Ah, Ara paham! Laki-laki ini ingin balas dendam dengan mempermainkan Ara. Memang, sebagai wanita Ara terkesan matre karena meninggalkan suaminya yang sedang berjuang dari nol. Ya, karena laki-laki di depannya tidak tahu apapun. Ara harus siap menerima resikonya. Tapi! Ucapan Wira barusan sudah keterlaluan! Lebih baik mendengarkan ujaran kebencian dari pada menyuruhnya melakukan sesuatu yang bukan kewajibannya lagi. Dia pikir Ara wanita rendahan? Ini tidak benar! Detik itu juga Ara menatap penuh kebencian. Kemudian garam berukuran sedang itu melayang telak mengenai pipi Wira. “Sudah kubilang untuk menjaga ucapanmu kan? Dasar lalat tak tau diri!” cecar Ara. Ia berbalik dan menatap tajam Bu Gandi. Karirnya di tempat ini sudah berakhir. Apa salahnya mengeluarkan unek-unek sekalian. “Aku mengundurkan diri! Tapi sebelum itu aku ingin mengucapkan beberapa nasihat penting.” Ara menarik nafas dalam. “Bu Gandi tolong sadar diri bahwa usia ibu sudah tidak muda lagi. Buat apa memendam iri pada karyawan yang bodynya lebih bagus dari ibu? Dari pada memendam iri bukankah lebih baik ibu diet? Itu lebih baik bukan? Oh ya, cara ibu memakai eyeliner itu sangat berantakkan dan tidak keren sama sekali. Alih-alih cantik, ibu justru terlihat seperti mata panda. And more than anything. Jangan belagu menggunakan bahasa inggris ketika ibu tidak tahu artinya. Ibu terlihat seperti orang bodoh yang ingin terlihat gaul!” Ara berhasil mengucapkan semua itu dalam satu tarikan nafas. “Saya permisi!” sambung Ara. Ia berjalan melewati Bu Gandi dan Wira yang sejak tadi memegangi pipi nyerinya. “Hei!” pekik Wira. “Kamu dan aku tahu dunia ini keras. Aku akan menunggu keputusanmu. Apartemen Harbour City nomor 111. Itu tempat yang harus kamu tuju untuk menemuiku.” Sebuah jari tengah dihadiahkan pada Wira. Semua orang terkejut dengan tindakan tidak sopan itu. Tapi tidak dengan Wira. Ia sudah khatam dengan perangai mantan istrinya yang blak-blakan. *** "Wira sialan! Bren*sek!" "Ugh! Rasanya ingin kucekik dia!" "Memang kenapa kalau dia jadi CEO? Hal itu tidak merubah kenyataan kalau dia pria bren*sek yang hanya memikirkan bisnis ketimbang istrinya!" "Lalat berisik. Lalat tidak tahu dir!" "Apa dia pikir sudah keren dengan penampilan seperti tadi? Hah! Tidak ingat bagaimana culunnya dia dulu. Hanya karena jas hitam tidak bisa menutup bibitnya yang culun! Dasar lalat culun!" "Lalu apa-apaan kata-katanya tadi? Menyerahkan tubuhku? Hah! Pikir dia aku tidak bisa mencari pekerjaan lain selain di perusahaannya? Besar kepala sekali dia hanya karena menjadi CEO! Lihat saja! Semoga perusahaanmu bangkrut dan kamu kembali miskin!" Sejak tadi Ara misuh-misuh sendiri di kontrakan. Hampir satu jam bibirnya mengeluarkan kata mutiara beserta kebun binatang lengkap dengan isinya. Hingga akhirnya ia lelah sendiri dan memilih rebahan di sofa. "Tck! Padahal aku sudah mulai nyaman di sana," sesalnya. Ia menghentakkan kakinya kesal. Sebelum bekerja di perusahaan itu. Ara sempat kerja di berbagai tempat. Dari mencuci piring sampai menjadi waiters cafe. Semuanya sudah pernah Ara coba. Tapi tak ada yang sebaik gaji perusahaan itu. "Hah, aku harus cari pekerjaan baru," Ara bangkit. Meraih tasnya dan merogoh handphone. Jempolnya naik turun mencari informasi pekerjaan di aplikasi pencari kerja. Sejak tadi Ara sudah menemukan setidaknya sepuluh pekerjaan yang cocok dengannya. Tapi masalahnya ada di umur! Ya! Umur Ara sudah melewati batas kualifikasi. Ah sial! Susahnya mencari kerja di umur 29 ke atas ya seperti ini. Ini lah alasan seseorang harus mencari kerja sejak dini. Karena usia sangat mempengaruhi kualifikasi tiap instansi. "Entahlah!" sungut Ara seraya menaruh handphonenya ke atas meja. Seolah kesialannya belum habis. Handphone itu jatuh dan dalam sekejap mati. "Uhhhhh! Wira sialan. Ini semua gara-gara Wiraaa!" pekiknya frustasi. Mau tidak mau Ara harus pergi ke konter untuk membenahi handphonenya. Seharusnya handphone normal tidak akan menerima kerusakan serius hanya karena jatuh dari meja yang tidak seberapa tinggi. Masalahnya, handphone Ara keluaran lama yang sudah ratusan kali jatuh. Jika bisa bicara mungkin handphone itu sudah menjerit ingin dimuseumkan. Karena bukan hanya dalamnya yang hancur. Penampilan luarnya pun sudah banyak goresan dan retak. "Bagaimana mas? Apa masih bisa diperbaiki?" "Aduh Kak. Kalau seperti ini lebih baik beli yang baru saja. Ini masih bisa diperbaiki. Tapi biayanya sama saja dengan handphone baru. Mau beli baru saja Kak? Banyak nih pilihannya," tunjuk penjaga konter. "Emh... yang paling murah harga berapa?" Ara tidak perlu handphone bagus. Yang penting bisa untuk w******p dan telepon sudah cukup. Oh satu lagi! Bisa cari kerja. Jaman sekarang bukan masanya mencari kerja lewat koran. Ada gedget pintar yang memfasilitasi para pencari kerja untuk dapat pekerjaan. Itu sebabnya Ara harus beli handphone. Itu kebutuhan krusial demi kelangsungan hidupnya. Sekian menit menawar. Tentu saja dengan rayuan ala janda tanpa anak yang masih terlihat seperti ABG, Akhirnya Ara dapat banyak diskon. Ia memeluk paper bag berisi smartphone sambil berjalan pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD