Crystal menaiki taksi setelah memutuskan kembali dari rumah Keluarga Alexander. Perkataan Morgan terkait bekas luka di pinggang Ruby menjadi kunci dari ingatan masa lalu pria itu. Crystal masih ragu, siapkah dia memancing ingatan lama tunangannya itu?
"Kalau nanti dia malah jadi fokus ke si Cassandra itu, bisa nangis bombay gue, mah! Mending buat dia bucin dulu, baru deh gue bantu dia cari tuh cewek. Oke!"
Senyum gadis kasmaran. Sang supir memperhatikan sejak tadi dan tak menganggu, menembus jalanan di komplek perumahan Anggrek. Tak sabar hendak sampai. Arthur mengatakan akan kembali ke asrama sore ini. Pun dia masih merindukan cengkrama dengan kakak angkatnya itu.
Tak diketahui Crystal, petaka besar telah tercipta di rumahnya. Setengah jam yang lalu, kedua orangtuanya tiba dari Malaysia karena ingin merayakan pesta ulang tahun putri satu-satunya itu.
Sang mama duduk terpekur di sofa sambil menahan rasa terkejutnya. Di lantai, Arthur berlutut tepat di belakang papanya Crystal setelah mengungkapkan rahasia besar terkait hatinya.
"Pa, please. Aku tau ini keterlaluan, tapi aku nggak bisa tahan lagi. Lebih baik aku jujur, kan?" lirih Arthur, masih berharap kesediaan sang ayah untuk memahami perasaannya.
Pria tinggi tegap itu belum bicara, tak bisa menerima semudah itu pengakuan Arthur. Cinta. Memang tak ada yang salah. Tapi sama seperti mereka, Arthur juga membantu tumbuh kembang Crystal. Lama memiliki keturunan, Arthur menjadi bagian dari mereka. Saat ini Arthur berusia dua puluh lima tahun, sekolah tarunanya akan selesai tiga bulan lagi. Hal itu membuatnya sangat percaya diri untuk mengungkap hati yang dipendam pada sang adik.
"Mama tau kalian nggak punya hubungan darah, tapi kenapa kamu bisa merasakan hal itu, Thur? Ini nggak benar," keluh wanita cantik ibunda Crystal tersebut.
"Menjijikkan sekali!" pekik sang papa. "Apa selama ini saat Crystal memeluk dan memperlakukanmu sebagai kakak, pikiran kotor bersarang di kepalamu? Apa ini balas jasa yang bisa kamu berikan pada keluarga ini?!"
Kecam amarah kepala keluarga itu membuat Arthur bungkam. Dia bangkit dari posisi berlututnya, berdiri dengan tegar. Hela napas menunjukkan betapa bulat tekadnya akan cinta yang dia miliki. Tak ada yang salah dengan perasaannya.
"Aku nggak bisa membalas apa pun selain rasa terima kasih. Tapi jika balas budi ini menghalangi perasaanku, aku nggak terima."
Arthur pergi meninggalkan mereka, masuk ke kamar dan mengambil semua barang-barang pemberian keluarga Crystal selama ini. Di meja itu, dia meletakkan dompet, kunci mobil, dan juga semua barang berharga lainnya. Menunduk sesaat, lalu tersenyum tipis.
"Aku nggak tau Ruby itu seperti apa, tapi aku yakin bisa lebih membahagiakan Crystal dari siapa pun. Tolong beri aku kesempatan, Pa! Aku akan berjuang jadi lebih sukses dan pantas untuk putrimu."
Mama Crystal bangkit dari duduknya. Saat hendak bicara, suaminya mengangkat tangan. Dia pemberi keputusan untuk masa depan putrinya.
"Tiga bulan lagi kami berencana menikahkan mereka. Tapi kalau mereka menolak, kami akan memberi kesempatan sampai Ruby lulus kuliah. Sampai hari itu, silakan lakukan yang kamu bisa! Aku nggak akan menghalangi."
Arthur terkejut dengan perkataan dingin sang papa. Memangkas jarak mereka, lalu setengah membungkuk dengan raut syukur. Dipegangnya genggaman tangan beliau, sebagai rasa terima kasih dan hormatnya.
"Makasih, Pa."
Ibunda Crystal belum menyahut, membiarkan sang suami mengurusi perasaan dan masa depan putra angkatnya itu. Tak diizinkan bertemu Crystal, Arthur pun pergi dari rumah untuk kembali ke asrama. Hanya tertinggal kedua orangtua itu yang masih berdebat serius di ruang tengah. Crystal sudah bertunangan dengan Ruby, tetapi suaminya ini memberi peluang untuk Arthur mendapatkan hak yang sama.
"Ini maksudnya apa, sih, Pa? Kenapa Papa ngasih harapan kosong sama dia? Arthur ini anak baik. Kenapa Papa–"
"Aku tau dia anak yang baik."
Pembicaraan serius itu menjadi agenda lanjutan yang tak direncanakan. Sore hari yang mendung ditemani secangkir teh hangat yang diseruput pria berusia empat puluh tahun itu.
"Kita membesarkan Arthur dari kecil. Dia sangat baik dan sopan. Bahkan jika seandainya memang Crystal nggak bisa berjodoh dengan Ruby, Papa memang berniat menjadikan Arthur suaminya."
Deg! Wanita cantik bernama Clara itu terkejut. Suaminya bicara dengan tenang seolah hal ini sudah direncanakan sebelumnya. Tentu hal itu tak bisa dia terima.
"Papa serius?" tanya wanita itu dengan mata terbuka lebar.
"Ya. Hanya alternatif saja. Tapi Papa nggak akan paksa Crystal kalau memang dia nggak mau. Kita sendiri tau gimana sayangnya Crystal pada Arthur."
Pembicaraan mereka terhenti saat mendengar suara mesin mobil di luar, disusul derap langkah kaki dari flat shoes Crystal. Mereka tak ingin rahasia perasaan Arthur ini menakuti Crystal. Apalagi gadis kecil mereka itu harus mulai fokus pada rentetan ujian yang akan digelar minggu berikutnya. Seminggu ini mereka mulai memasuki fase minggu tenang sebelum menghadapi ujian semester.
"Mama! Papa!"
Gadis itu berlari menyambut kedua orangtuanya. Tak menyangka keduanya pulang untuk merayakan ulang tahunnya kemarin. Pelukan untuk putri manjanya ini. Berulang kali Crystal menoleh ke seisi ruang tengah.
"Cari siapa, sih?" tanya sang mama.
"Kak Arthur udah balik ke asrama, Ma?"
Crystal memang sangat dekat dengan Arthur. Mengingat hal yang terjadi baru saja membuat mamanya merinding. Sang papa mengajak Crystal duduk, merayakan ulang tahun dengan sajian tart cokelat di atas meja.
"Dia udah balik. Nanti aja kamu telepon dia lagi."
Perasaan menggebu Arthur pada Crystal, mungkin benarlah tulus. Akan tetapi, jika gadis itu mengetahuinya kelak, mungkin dia akan menatap sang kakak dengan cara berbeda. Entah menyambut atau menghindar.
*
"Crys!"
Crystal menoleh ke sisi kiri saat mendengar panggilan itu, Intan sedang duduk di salah satu cafe dengan gelas ice cream cokelat di hadapannya. Hari libur, gadis tomboy yang tengah galau itu mengajaknya main di luar. Mungkin mereka butuh bersantai sebelum berkutat dengan tumpukan buku pelajaran.
"Nih!" seru Intan seraya menyodorkan ice cream rasa vanilla pada Crystal.
Berbicang sebentar, pembicaraan seputar kegalauan Intan yang meskipun sudah ditembak Morgan, tetapi penolakan justru yang diberikan. Gadis itu terserang galau untuk pertama kalinya.
"Elo, mah! Buriq aja sok jual mahal," canda Crystal, menepuk bahu sahabatnya.
"M*nyet, lo! Mentang-mentang cantik. Apalah gue cuma remahan monde butter cookies," seru Intan sambil memutar bola mata, malas.
"Lagian elo, sih! Morgan itu serius sama lo. Lain kali kalau dia nembak lagi, langsung iya-in aja. Atau elo aja yang gantian nembak."
Intan masih cemberut. Morgan takkan mungkin mengulang permintaannya. Pembicaraan cinta memang tak ada habisnya. Ujian akhir pun sudah di depan mata. Waktu diisi dengan keceriaan dan canda. Crystal lupa baru saja dia patah hati sebab Emerald yang resmi berpacaran dengan Mutiara. Hatinya sudah dipenuhi oleh bayang Ruby.
"Ah, nggak seru! Harusnya Kak Ruby yang traktir lo makan. Kan, birthday lo. By the way, kadonya apa?" tanya Intan, penasaran.
Ruby adalah si sulung keturunan Alexander. Kekayaan berlimpah yang tentu saja takkan segan dia keluarkan untuk tunangannya ini. Awalnya Crystal tersenyum saat menunjukkan kalung rubi di lehernya pada Intan. Lantas, senyumannya memudar.
"Ih, bagus banget! Pengen juga," rengek Intan.
Raut sedih Crystal mengundang kecurigaan Intan. Dipegangnya bahu temannya itu, memintanya untuk bercerita.
"Ada masalah?"
Crystal menceritakan semua yang diketahui tentang Ruby dan bayangan Cassandra. Juga rahasia yang sebagiannya telah dibuka oleh Morgan. Kunci dari awal ingatan Ruby. Pasti bekas luka itu ada kaitannya dengan rahasia hitam pria itu.
"Jadi gimana, dong? Gue penasaran, tapi takut," keluh Cystal, cemberut.
"Elah! Tinggal ngintip doang. Suruh aja dia buka baju, terus tanya."
Crystal belum menanggapi, hanya menggaruk sisi pelipisnya sambil mengaduk ice cream yang mulai mencair dengan sedotan hitam itu.
"Alah! Lo bingung kenapa? Takut baper liat perut kotak-kotak Kak Ruby? m***m! Kayak nggak pernah liat aja," cibir Intan.
Wajah Crystal memerah. Ingat kejadian di ruang loker saat dia mengunjungi kampus Ruby dan mendapati pangeran tampannya itu menggeluti olahraga panjat. Bentuk tubuh pria itu sangat bagus, membuatnya merinding dengan kesempurnaan badan atletisnya.
Crystal mendehem pelan, melirik cuek seraya berkata, "Tau dari mana lo dia six pack?"
"Ya keliatan, lah! Pake kemeja aja keliatan nge-press gitu di badannya. Dari d**a sama lengannya aja udah bikin ngiler. Belum lagi bahunya, senderable banget, dah!"
Celoteh Intan ini membuat Crystal tersenyum bangga memiliki calon suami setampan Ruby. Mengingat hanya tinggal tiga bulan lagi mereka menikah, memiliki pria itu bukanlah angan belaka.
"Ngelamun apa, woi!" seru Intan.
Crsytal terkekeh pelan, "Ngelamunin pangeran ganteng gue."
Intan mencebik saja, mencomot kentang goreng yang dipesannya bersamaan dengan burger dan kebab yang sudah dibabat habis manusia galau yang satu ini. Puas menikmati betapa kasmarannya Crystal, sementara dia hanya menghalu Morgan yang gagal dimiliki.
"Iyalah! Pangeran ganteng! Mau bandingin sama Si Al yang kayak papan prosotan gitu. Jauh, lah!" tukas Intan saat membayangkan badan kurus Emerald yang pucat. Terkekeh geli, tergelak tawanya puas. "Ini tuh kayak bandingin Edward Cullen sama Jacob Black."
"Tapi Ruby nggak black, kok. Oppa Korea," seru Crystal, menambah pujian lagi pada tunangannya.
"Iyalah, paham gue!"
Usai menghabiskan lima belas menit lagi, Crystal dan Intan pergi sambil mengitari mall untuk cuci mata. Kali saja ada barang manis yang bisa menjadi koleksi belanjaan mereka. Keluar dari bangunan besar itu, mereka berjalan menuju tepi jalan untuk menghentikan taksi yang lewat. Asik bicara, Crystal tak sengaja menabrak bahu seorang wanita dengan selendang menutupi sebagian wajahnya. Dia menggendong putranya yang berusia sekitar setahun dan tampak lucu.
"Maaf, Mbak!" seru Crystal seraya mengutip botol dot-nya.
Sejak tadi bayi itu menangis meski sang ibu sudah menimang pelan sambil menepuk punggungnya. Menunduk, takut menatap Crystal yang berada di sampingnya.
"Mbak, ini ...."
Deg! Crystal terkejut saat tak sengaja ujung selendang wanita tadi tersingkap. Sejak tadi dia menunduk karena ingin menutupi sebagian luka pada wajah di sisi kiri.
"Makasih, Mbak."
Merasa sangat kasihan, Crystal dan Intan mengajaknya duduk di cafe kecil yang tak jauh dari mall. Anaknya sedari tadi menangis, mungkin kelaparan. Crystal hanya merasa kasihan mendengar tangis bayi mungil itu.
"Bapaknya mana, Mbak? Kasian keluyuran gini, panas-panasan," ujar Intan, prihatin.
"Bapaknya nggak ada, Mbak," jawab wanita itu, terlihat sedih. "Saya belum menikah. Kecerobohan saya. Dia pergi dan nggak tau kalau saya lagi hamil. Nggak apa-apa, yang penting Bian sehat-sehat aja."
Tak ada sahutan lagi dari mereka. Wanita itu sebenarnya sangat cantik. Mereka bisa melihat sisi wajahnya yang lain yang tak memiliki bekas luka. Cara dia tersenyum dan menyayangi putranya itu membuat kedua siswi itu terhenyuh. Berbicang-bincang sebentar sembari menanti hujan yang tiba-tiba jatuh mengurai rintik dari langit.
"Jadi sekarang Mbak Cassie tinggal sendiri mengurus putra Mbak? Laki-laki kurang ajar itu nggak mau bertanggung jawab?" seru Intan, gemas sendiri.
Hanya anggukan singkat. Ya, Cassie. Dia adalah gadis dari masa lalu Ruby. Sejak tadi dia memperhatikan Crystal yang merapal namanya dengan sangat fasih. Dirinya pun sudah tahu siapa gadis ini. Untai senyum sinis dia sembunyikan di balik selendangnya.
"Iya. Nggak mau ngeluh lagi. Bisa dapat uang aja syukur. Saya bantu jaga anak tetangga. Tapi hari ini lagi libur, makanya ngajak jalan Bian untuk beli susunya. ASI saya macet, Mbak," ulas Cassandra.
"Panggil Crystal aja, Mbak. Saya masih kelas dua belas. Kalau temen saya ini juga seumuran. Emang mukanya boros gini kayak tante girang," cibir Crystal menepuk bahu Intan.
Hari itu berlalu dengan mengisi full stamina. Masih ada sisa satu hari lagi untuk beristirahat. Setelahnya, mereka akan mulai berperang dengan tumpukan buku demi mengisi amunisi ujian semester. Memiliki niat tertentu, bias bahagia Crystal dan Intan mendapat sorot sinis Cassandra saat dia menunduk.
*
Kling! Malam menjemput. Crystal yang lelah seharian, jatuh tertidur setelah makan malam. Sejak tadi pesan masuk dari Ruby tak dibalas. Tunangannya itu masih belum bisa keluar dari rumah karena harus beristirahat. Crystal mengucek mata, meraih ponsel dan membacanya.
[Abis ujian akhir, tanggal berapa? Main ke villaku, yuk!]
Ajakan apa? Berkencan? Mata Crystal mendadak terang, dibalasnya segera tanpa ragu.
[Tanggal 21 April, masih sebulan lagi. Kamu udah sehat, kan?]
Ruby membalas segera. Lebih asik membaca pesan daripada bercengkrama langsung untuk saat ini.
[Satnite aku mampir. Doain sehat, ya! Aku kangen kamu, Sayang.]
Sayang. Hanya sapaan itu saja membuat jantung Crystal hampir lepas. Membayangkan suara lembut itu memanggilnya dengan mesra, dia sangat kasmaran. Sempat berguling-guling sambil menatap deretan history chat itu.
Krik! Crystal merinding saat mendengar suara decit jendela. Sedikit gemetar, dia menyalakan lampu meja dan menyoroti pandangan ke jendela.
"Siapa?!"
Tok! Tok! Lampu meja menyala bersamaan dengan ketukan di dinding kaca itu. Crystal terkejut saat Arthur muncul di sana. Crystal bergegas mendekati pintu balkon untuk membiarkan sang kakak masuk. Kemarin Arthur sudah berpamitan pulang ke asrama. Kemunculannya ini tentu membuat Crystal heran.
"Kok, Kak Arthur ada di sini? Eh, lebih bener kalau, kenapa Kak Arthur pake manjat ke kamarku segala kayak maling?" protes Crystal, mengomel.
Arthur belum bicara, menatap pantulan sinar mata Crystal dari sinar temaram lampu kamar. Duduk sebentar di kasur itu, tersenyum saat Crystal bersandar manja seperti biasanya.
"Padahal aku mau cerita banyak tentang Ruby. Kak Arthur main pulang aja."
Arthur membuka lengannya agar lebih leluasa menjangkau punggung Crystal untuk memeluknya. Sesekali dia mencium puncak kepala itu. Aroma strawberry menguar dari shampo yang dipakai Crystal seperti biasa.
"Kamu sama Ruby gimana? Serius mau nikah sama dia?" tanya Arthur, memulai topik pembicaraan mereka.
"Kak, sebenarnya ..."
Crystal menceritakan akar masa lalu Ruby yang kini menjadi beban tersendiri bagi Crystal. Mendadak dia takut jika Ruby mengingat semuanya, dia tersingkir. Meski cahaya temaram, Arthur bisa melihat raut berkaca-kaca adiknya itu. Berulang kali dia menaikkan pandangannya agar air mata itu tak jatuh.
"Kek bocil banget, sih, aku ini? Masa gitu doang udah sedih. Kalau nggak jodoh, ya tinggal cari yang lain," ujarnya, berusaha menghibur hati sendiri.
Beberapa detika waktu dibutuhkan hingga Arthur memberanikan mengungkap rasa. Crystal terkejut saat kedua pipinya disentuh, lalu kecup hangat Arthur singgah di dahinya. Ini bukan pertama kali, tapi terasa sangat berbeda.
"Nggak ada yang lebih mencintai Crystal selain Kakak. Entah itu Ruby ataupun mantan bule kamu itu."
Crystal terkejut. Binar serius Arthur membuatnya tak nyaman. Saat hendak menjauh, punggungnya direngkuh Arthur. Pelukan erat itu begitu hangat meski posesif.
"Saat kamu menyerah tentang Ruby, datanglah padaku, Crys."
Bisik lembut itu menakuti Crystal. Saat hendak melepasan diri, pelukan itu semakin erat. Apa maksud ucapan kakaknya ini?
"Kak Arthur, lepasin!" pekik Crystal.
"Aku cinta sama kamu, Crystal."
Crystal gemetar. Ulangtahunnya baru berlalu sehari. Jika ini hanya lelucon sebagai kejutan ulangtahun, mungkin Crystal tak masalah. Tapi binar serius dan rengkuh erat itu memancing detak takut di d**a Crystal. Pelukan itu terlepas, Crystal masih sangat shock.
"Aku nggak mau nyakitin kamu. Tapi inilah perasaanku. Aku sayang sama kamu, Crys."
Crystal mematung, membiarkan jemari sang kakak membelai sisi rambutnya. Pernyataan cinta Arthur. Ini kali pertama Crystal menatap Arthur seperti sosok asing. Bukan kakak seperti biasanya. Tak ada pertalian darah, Crystal pun tahu sejak awal. Akan tetapi, tak pernah sedikit pun Crystal berpikir hal ini bisa terjadi.
"Aku nggak akan paksa kamu. Tapi setelah hari ini, aku bukan kakak kamu lagi. Aku punya perasaan yang sama kayak Emerald ataupun Ruby."
"..."
"Karena itu, tolong jangan benci aku. Aku akan tunggu kamu selama mungkin. Sampai saat itu, tolong pikirkan kalau aku juga mencintai kamu, Crystal."
"Kak ...."
"Berikan aku hak yang sama untuk mencintai kamu."
Ini lelucon yang mengerikan. Tak ada respon, Crystal hanya bisa bungkam mendengar pernyataan itu. Hanya kecup mesra yang singgah di dahi Crystal. Pria itu pergi meninggalkan beban baru bagi si gadis cantik ini. Genggaman erat di sprei tak mengurangi rasa shocknya.
'Aku tau rasa sayang Kak Arthur nggak bisa dibandingkan dengan mereka. Tapi ... apa harus begini akhirnya, Kak?'
Malam larut diisi dengan lamunan. Crystal tak bisa tidur setelah mendapat hadiah mengejutkan dari sang kakak angkat.