Morgan mengangguk. Lama Crystal berpikir, akhirnya dia tersenyum pasrah. Senyumnya sangat cantik beriring manik matanya yang berkaca-kaca.
"Aku pikir ga sesepele itu. Aku sedih liat dia kesakitan kayak tadi. Jadi kupikir ... harusnya Cassandra datang dan bikin dia ingat semuanya."
"Udah gue bilang, kalau Cassie balik, lo akan tersingkir, Crys. Gue yang paling tau gimana dulu gilanya dia ke Cassie."
"Ga masalah," ucap Crystal. Dia tersenyum agar Morgan tak prihatin akan hatinya. Entah kenapa dia suka melihat Ruby tersenyum daripada menatap raut sakitnya. "Kalau dia milik gue, dia akan balik lagi, Gan. Gue cuma mau dia baik-baik aja. Bodohnya, ntah kenapa gue segini bucinnya sama dia."
Morgan belum menjawab, hanya mengusap kepala Crystal agar gadis ini lebih tegar.
"Gan, please."
"Sebenarnya Cassie udah di sini. Selama ini papa dan mama berusaha keras supaya Cassie ga deketin Ruby lagi. Cassie itu mimpi buruk Ruby. Gue ga mau Ruby jadi sebodoh itu lagi."
Ruby punya masa lalu hitam yang entah bisa dijangkau Crystal atau tidak. Akankah Crystal bertahan?
"Cassie itu ... orang yang gimana, Gan?" tanya Crystal.
Morgan masih bungkam. Dia menatap Crystal sambil mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. Hanya beberapa menit berlalu dan akhirnya dia siap mengungkap sebagian takdir. Crystal mendengarnya.
Tiga tahun lalu, tepatnya kejadian itu masih membekas di ingatan Morgan.
Ruby menarik tangan Morgan saat mereka berjalan seharian mengitari mall. Sesekali Morgan terhenti, sedikit membungkuk karena lelah.
"Ga capek belanja terus? Itu kartu kredit lo hampir limit! Ntar lo dimarahin bokap lagi, By!" keluh Morgan.
Ruby tertawa. Dia menepuk bahu Morgan dan menunjuk ke arah toko perhiasan di sudut.
"Gue mau ngasih kejutan sama Cassie," ujarnya.
"Lo mau beliin dia berlian lagi? Gila lo! Ngabisin duit mulu cuma buat dia."
"Santai, lah! Duit bokap banyak gitu. Kalau bukan kita, siapa lagi yang ngabisin hartanya."
Morgan tak menjawab. Ruby pun berbicara dengan petugas toko dan memilih perhiasan cantik yang akan dibelinya. Morgan tak peduli. Dia hanya berkeliling melihat keadaan di sekitar. Tak sengaja, dia melihat seorang gadis sedang bergelayut manja di sisi pria tua dengan tampilan bonafit.
Tak mau mengganggu Ruby, Morgan pun mendekati untuk memergoki aksi selingkuh gadis itu. Dialah Cassandra.
"Siapa dia, hah?" tukas Morgan.
"Oh, Morgan. Ngapain kamu di sini, Dek?" tanya Cassandra.
"Siapa dia, Sayang?" tanya pria tua itu.
"Om, aku ada perlu sebentar. Om duluan aja, ya. Kunci hotelnya, kan, masih di aku."
"Ya udah, jangan lama-lama, ya!"
Pria tua itu pergi. Sepertinya Cassandra tak peduli meskipun telah tertangkap basah oleh Morgan. Itu karena dia tahu, Ruby sudah bertekuk lutut padanya.
"Apa yang mau kamu tanya? Bapak tua tadi? Dia itu cadangan aja, sih, kalau credit card Ruby lagi diblokir."
"Dasar, j*lang!" maki Morgan.
"Eits, anak kecil ga boleh ikut campur urusan orang dewasa, ya! Kamu mau apa? Mau ngadu, iya? Jangan bodoh, Morgan! Yang ada nantinya kalian bertengkar dan Ruby jadi benci sama kamu."
Jauh di sana, Ruby tersenyum karena melihat Morgan bersama Cassandra. Tak menyangka mereka bertemu di tempat ini.
"Sayang, kamu ada di sini?" tanya Ruby.
"Oh, iya. Aku tadi lagi ke toko buku untuk cari bahan makalah besok." Pintar sekali gadis berbisa ini mencari alasan.
"Sini, aku ada hadiah buat kamu."
Ruby menarik tangan Cassandra dan berhenti tepat di toko perhiasan tadi. Morgan hanya menatap Ruby, si manusia bodoh yang terjerat begitu dalam pada cinta palsu Cassandra. Dia menunjukkan kalung cantik dengan bandul mawar berwarna merah. Bandul cantik yang terbuat dari batu rubi.
"Ini buat aku?" Cassandra tersenyum saat menerima kalung itu.
"Sini, aku pakaikan," ucap Ruby. Ruby pun memakaikan kalung itu saat Cassandra memunggunginya. Kalung cantik itu kini tergantung di lehernya, begitu padu dengan kulit dadanya yang putih mulus.
"Cantik banget, By."
"Happy anniversary, Sayang," balas Ruby.
"Jadi ... kamu kasih kalung rubi ini untukku? Sebagai kado anniv?"
"Iya, kamu suka?"
Cassandra tersenyum, lantas berbalik pada Ruby. Dia menggantungkan lengannya di bahu kokoh pria itu, menatap dengan sedukatif sambil memainkan kancing kemeja Ruby.
"Lalu Ruby ini ... apa bisa jadi milikku juga?"
Ruby yang bodoh. Morgan terus merutuki nasib malang yang menimpa Ruby sebab dihantui Cassandra. Seberkas ingatan itu masih terbayang di pikiran Morgan.
Morgan menghela napas dan berhenti mengingat sebagian kejadian tiga tahun yang lalu.
Beberapa hari itu adalah masa sebelum terjadi kecelakaan. Dia menatap serius Crystal yang masih setia mendengarkannya di samping.
"Jadi Ruby cuma dijadiin korban si cewek matre itu? Apa Ruby ga tau kalau dia main juga sama om-om?" kesal Crystal.
Sejak tadi tangannya mengepal keras sambil mendengarkan cerita Morgan. Bisa dibayangkan betapa gila dan bodohnya waktu itu Ruby terhadap Cassandra.
"Mereka itu udah bareng sejak kecil. Cassandra dulunya juga baik. Tapi semenjak orangtuanya bangkrut, dia jadi sejahat itu. Aku udah coba bilang ke Ruby kalau Cassie ga pernah serius sayang sama dia. Yang ada kami selalu ribut dan gue paling ga suka kalau harus bertengkar sama Ruby."
Crystal merasa kasihan. Morgan juga terlihat belum siap membuka semua luka dan kenangan di masa lalu. Sepertinya itu membekas karena kematian kekasihnya juga bersamaan dengan kecelakaan yang menimpa Ruby.
"Lalu ... kecelakaan itu, gimana ceritanya?"
Morgan hening sesaat. Apakah dia harus menguak semuanya? Dia percaya Crystal mulai mencintai Ruby. Akan tetapi, Morgan tak yakin apakah Crystal siap menghadapi bagaimana Ruby yang dulu sebelum kecelakaan itu terjadi.
"Oh iya, lo udah pernah liat Ruby buka baju, belum?" tanya Morgan.
Saat pembicaraan serius, entah kenapa Morgan justru menanyakan hal yang membuat Cyrtal merinding dengan rona wajah merah. Kejadian di klub Mapala dan juga bayang-bayang pernikahan, Crystal sangat malu sebab mengaitkan dua hal sensitif itu.
"Lo apaan, sih, pake nanya begituan ke gue? Lagian ini privasi gue sama Ruby, ga perlu diobral-obral juga," elak Crystal.
"Oh, berarti udah, ya? Udah ngeliat perut Ruby juga?"
Plak! Pukulan itu mendarat mulus di bahu Morgan. Crystal kesal karena Morgan terus mengarahkan pertanyaan hanya untuk membuat Crystal malu dengan sejuta dentumannya. Pertanyaan Morgan memancing pikirannya melayang untuk mengukir kembali ingatan akan bentuk badan atletis tunangannya yang pernah dia lihat senja itu.
"Hei! Apa, sih, dari tadi pertanyaannya ga jelas banget?" keluh Crystal.
Morgan hanya bungkam. Gadis itu menunduk sambil memainkan jemarinya. Morgan menatapnya dari samping, ekspresinya berubah serius.
"Udah liat bekas luka di pinggangnya?"
Crystal terkejut. Bukan hal m***m, ternyata sejak tadi Morgan bicara serius terkait Ruby.
"Bekas ... luka?"
"Iya. Udah liat?"
Crystal menggeleng. Morgan bangkit karena sepertinya dia belum siap membuka kenangan itu lagi dengan Crystal.
"Memangnya kenapa dengan luka itu?" tanya Crystal.
"Tanya sama Ruby itu kenapa," perintahnya. "Lo benar, nyembunyiin semua ingatan Ruby cuma akan bikin dia makin tersiksa. Sebaiknya memang kita pelan-pelan ingatkan dia tentang kejadian itu."
"Gan ...."
"Untuk saat ini, keluarga gue akan berusaha jauhin Cassandra dari Ruby. Dan lo ... pelan-pelan bantu Ruby untuk bangkitkan ingatan lamanya. Tanya ke dia soal luka itu. Gue harap ingatannya bisa terpancing dan pelan-pelan kita akan munculkan Cassie dalam tiga bulan ini."
Hanya itu, Morgan pun berlalu dari hadapan Crystal. Ini tentang luka Ruby dan tautan masa lalunya dengan Cassandra. Tabir itu pun mulai tersingkap beriring cinta Crystal yang terus masuk menyusuri labirin hati Ruby.
"Apa ... aku udah siap untuk hadapi masa lalunya Ruby?" lirih Crystal, pelan.
*
Sepulang dari camping, ada suasana berbeda di kelas. Rona bahagia meliputi Emerald dan Mutiara yang baru saja berkencan. Crystal juga sangat kasmaran saat ada pesan dari Ruby.
[From : Calon Suami
Maaf, ya. Kamu jadi khawatir. Aku baik-baik aja, kok. Ini udah agak mendingan. Aku ngagetin kamu, ya? Masih bersedia di sampingku, 'kan?]
Ada isyarat harap pada pesan Ruby. Mungkin dia berpikir Crystal akan memikirkan ulang hubungan mereka sebab melihat dirinya sakit kemarin. Crystal telanjur mencinta Ruby, dan kini dia sudah berteguh hati untuk menghadapi masa lalunya juga.
"Aku ga boleh buat dia stres. Ya, pelan-pelan aja nanti ingatin dia tentang masa lalunya."
Crystal membalas pesan itu sambil tersenyum.
[Ga, lah! Aku ga akan kabur, kok. Aku udah telanjur sayang sama kamu. Jahat! Jadi ga ada pilihan lain, deh.]
Kling! Ruby segera mengirimkan balasan. Cinta mereka sepertinya saling bersambut.
[Pasti lagi cemberut! Ck, pasti makin cantik. Jadi pengen cium kamu lagi.]
Cium lagi? Semburat merah mewarnai pipi Crystal. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku, menyembunyikan wajahnya saat dia melipat tangan di atas meja.
Kasmaran. Sayangnya, salah satu dari ketiga sahabat itu justru bernasib sebaliknya. Intan. Si tomboy ceria yang dikenal seantero sekolah itu mulai tampak murung. Belakangan ini Morgan mengusilinya, lalu tiba-tiba pergi dan itu membuatnya sedih dan kehilangan.
"Mau minta maaf sama dia, tapi aku takut diterkam hidup-hidup. Kemarin itu dia galak banget, katanya aku jangan ngomong dulu sama dia."
Saat bel terdengar, Intan akhirnya memilih ke kantin untuk mengisi perut. Saat tanpa sengaja dia melihat Morgan berjalan ke arahnya, jantungnya berdegup kencang. Entah karena cinta atau karena takut.
"Aih, gue mesti gimana, nih?"
Alhasil, Intan berlari pontang-panting meninggalkan lorong kantin. Saat di persimpangan lorong, dia tak sengaja menabrak tumpukan buku yang dibawa oleh Jimmy.
“Aduh, sakit,” ucapnya sambil mengusap bokongnya karena jatuh terduduk di lantai.
“Aduh, Tan. Sori banget. Kenapa lo ga hati-hati? Nabrak gue gitu aja. Lo sakit di mananya?”
Plak! Intan segera menepis tangan Jimmy saking kesalnya. Tentu saja dia tak membiarkan Jimmy mengusap daerahnya yang nyeri itu.
“Dasar playboy. Yang sakit itu jidat gue. Soalnya buku lo ....”
Intan hening saat teringat kejadian serupa pernah menimpa dia dan Morgan. Pertama kalinya dia berbicara dengan Morgan ketika mereka melakukan adegan tabrakan buku juga.
“Melamun aja,” sergah Jimmy.
Intan terkejut saat lengan Jimmy menyusup di balik kedua pahanya hanya untuk menggendong Intan. Tentu saja perhatian para siswa mengarah padanya.
“Apaan, sih? Turunin gue!” kesalnya.
“Ga! Itu liat jidat lo, sampe biru gitu. Gue ini cowok baik hati yang mau bertanggung jawab sama ulah gue. Udah, jangan sewot! Biar gue antar ke UKS.”
“Tapi kaki gue, kan, ga kenapa-napa! Ga perlu gendong segala!"
Intan berontak sepanjang perjalanan ke UKS. Mendadak, dia jadi bahan gosip para siswa.
“Kenapa? Risih, ya? Mendadak terkenal, kan, lo karena digendong seorang Jimmy? Mudah-mudahan aja lo ga ditimpukin Beverlous setelah ini.”
Intan sebisa mungin menyembunyikan wajahnya. Dia terkejut ketika Jimmy justru berhenti di depan Morgan.
‘Oh my God! Harus apa gue?’ gerutu Intan dalam hati.
Morgan menatap sinis, tak peduli. “Kenapa dia?” Leader Beverly itu bertanya tanpa mau menatap Intan.
“Tadi ga sengaja ketabrak sama gue di dekat lorong. Ga tau, sih, nih anak kaburnya cepat banget. Ga liat gue bawa buku bertumpuk-tumpuk gitu!”
“Oh.”
Jimmy mengernyitkan alis, “Hah? Cuma itu doang? Gue liat belakangan ini kalian akrab.”
“Trus, gue mesti bilang apa? Bukan urusan gue juga, kan? Ga usah bikin gosip. Ini bukan pertama kalinya gue akrab sama cewek. Ga ada istimewanya!”
“Hm, iya, sih! Lo ga mau gantiin tugas gue bawa ni cewek ke UKS? Gue ada janji kencan sama cewek di perpus.”
“Ga! Lo jatuhin aja ke bawah. Ga bakalan kesakitan, kok! Udah kebal. Dia, kan, bisanya nyakitin orang doang.”
Jimmy tak percaya Morgan bisa bicara sekasar itu. Pun dia tahu bahwa memang Intan ini cukup spesial bagi Morgan. Sahabatnya itu pergi. Intan sangat kecewa. Perkataan itu terdengar seperti seorang musuh.
‘Morgan benci gue, ya?’ bisik batinnya.
“Lo sama Morgan lagi berantem?” tanya Jimmy ketika mereka berjalan menuju UKS.
“Ga. Gue ga berantem, berteman atau terlibat hubungan apa pun sama dia. Gue, kan, ga kenal dia.”
“Bukannya lo Beverlous, ya? Dan lo bucin banget sama Morgan?”
Intan cuek. Sampailah mereka di UKS. Jimmy mengambil kompres untuk membantu menghilangkan lebam di dahi Intan.
"Gue Beverlous, tapi bukan berarti gue ngidolain Morgan banget, 'kan?"
"Jadi, siapa yang lo idolain? Atau jangan-jangan ... lo suka gue, ya?" terka Jimmy.
“Ck, gue ga suka cowok cute kayak lo, Jim! Lo itu terlalu dan lebih imut dari gue. Gue maunya yang macho gitu, lebih manly! Yang jelas, ga kabur kalau misalnya gue banting dia” jelas Intan.
Jimmy membantu Intan mengobati lukanya, hanya tersenyum tipis. "Lo serem banget, sih? Jadi gue ini bukan tipe lo, ya?”
“Bukan.”
“Kalau lo jadian sama gue, mau ga?”
Intan keki mendengar tawaran berkencan si bontot Beverly ini. 'Ini udah dua anak Beverly yang nembak gue. Ada apa, sih? Kenapa anak Beverly nembak cewek yang bukan tipe mereka? Ga tenar, ga centil, beda jauhlah dari cewek-cewek yang jadi pacar mereka. Karena apa? Buat dimainin doang? Untuk sensasi aja, bangga bisa naklukin semua cewek?’ tanya batinnya.
"Oy!" seru Jimmy sambil menyentil telinga Intan.
"Apaan, sih? Ga usah cari masalah! Gue ga minat sama playboy!"
“Padahal gue pengen banget jadian sama lo. Kira-kira ... seru ga, ya, jadian sama cewek tomboy? Apa rasanya?”
Intan menyungging senyum sinis, lalu turun dari kasur tidurnya. “Nih rasanya!”
Bukk!!! Kesal, Intan pun menendang sisi lambung Jimmy dengan lututnya.
“Arrghh, sakit, Tan! Sialan!”
Intan tersenyum cuek, hanya angkat bahu sambil berlalu meninggalkan Jimmy.
“Nice Girl! Lucu juga dia. Oke, next target!”
*
Meskipun mulai menjalin hubungan serius dengan Ruby, tetap saja Crystal merasa tak nyaman karena Emerald sudah berpacaran dengan Mutiara. Perasaan Crystal gundah, campur aduk jadi satu. Keduanya selalu terlihat mesra di depan mata Crystal. Mutiara selalu menempel bak perangko hingga bel jam pelajaran usai terdengar nyaring. Mereka berjalan beriringan menuju pelataran sekolah, lalu terhenti untuk berbincang.
“Sayang, mereka boleh ikut, ga?” tanya Mutiara sambil menoleh ke Crystal dan Intan.
Crystal dan Intan saling pandang, cuek. Rasa hati ingin sekali menarik rambut Mutiara. Gadis centil itu menggelayut manja di lengan sahabat mereka tanpa henti.
“Jangan digantungin terus lengan si Al. Emangnya lo monyet?!” tukas Intan dingin.
Emerald kesal, mengetuk dahi Intan. “Lo apaan, sih, ngomongnya?! Ga sopan banget sama cewek gue.”
Crystal mengalihkan wajahnya, mendengus kesal. Bahkan sekarang Emerald lebih membela Mutiara daripada Intan.
“It's oke. Lo urusin aja, deh, cewek baru lo itu. Kalau gue ga suka, ga usah maksa gue untuk respect ke dia!” gerutu Intan, kesal.
“Lo kenapa, sih? Sensi banget! Emangnya yang maksa lo, siapa? Gue itu cuma ngomong baek-baek sama lo kalau gue ....”
Emerald dan Intan asik berdebat panjang sementara Crystal asik memperhatikan Mutiara yang mendekati Davin ketika anak Beverly itu memanggilnya. Keduanya saling bercanda di dekat pohon beringin. Mereka bertukar nomor ponsel hanya agar pembicaraan berlanjut di luar jam sekolah.
“Ntar malam gue chat atau telepon, ya, Cantik!” bisik Davin, lantas berjalan menjauhi Mutiara.
“Yup! Bye, Ganteng!”
Mutiara mendekati lagi pertengkaran tadi, hanya menyimpan tawa dan berisyarat pada Crystal agar dia bungkam sambil meletakkan telunjuknya di bibir. Mutiara kembali tersenyum, hanya meletakkan kepalanya di bahu Emerald.
“Kalian kenapa, sih? Berantem mulu, udah kayak anak TK aja. Tadi itu kita mau ngajak kalian nonton. Kan, seru rame-rame," ulas Mutiara.
Intan melirik tajam, sangat muak mendengar suara Mutiara yang menurutnya terlalu dibuat-buat agar terkesan imut. “Gue diajak nonton? Jadi obat nyamuk? Ngomong, kok, ga ngotak!”
Emerald mengeratkan jari, sangat kesal karena sikap kasar Intan pada Mutiara.
“Ih, Intan kasar banget ngomongnya. Wajar, sih, jadi sensi. Jomblo gitu," cibir Mutiara.
“Apa lo bilang?!” kesal Intan.
Tak lama, mobil Ruby berhenti di dekat mereka. Ruby muncul sambil tersenyum. Crystal hendak berlari menemuinya karena rindu dan cemas, tetapi terhalang karena Mutiara segera mendekati untuk menebar pesona.
“Kak Ruby makin hari makin charming aja. Makan apa, Kak?” ucap Mutiara.
"Cuma makan nasi, kok. Emangnya mau makan apa lagi?" Ruby membalas dengan santun.
Emerald kesal setengah mati melihat tingkah Mutiara yang memuji Ruby mengingat Ruby adalah pria yang menikungnya saat dia masih menjalin kasih dengan Crystal.
“Mulut lo tuh di-rem, enak aja lo muji-muji cowok lain di depan cowok lo sendiri. IQ lo berapa, sih?” sengit Intan, menegur Mutiara.
Mutiara tak terlalu peduli, hanya tersenyum agar Emerald tak marah padanya. Ruby pun mendekati Crystal, mengecup pelan puncak kepala gadis itu. Usapannya di rambut Crystal menandakan betapa sayangnya dia pada tunangan kecilnya ini. Jelas terlihat aura cemburu yang terbit di wajah Emerald. Dua gadis ini memang ada di hatinya.
“Kenapa jemput aku? Harusnya kamu istirahat," keluh Crystal.
"Aku kangen. Lagian aku jadi agak baikan setelah liat kamu."
Malas mendengar cengkrama Ruby dan Crystal, Emerald segera menarik tangan Mutiara meninggalkan pelataran sekolah. Mereka menoleh pada Intan yang sejak tadi tak terlalu menanggapi.
"Intan nunggu siapa? Kak Ruby anterin, ya?" tawar Ruby.
"Ga usah, Kak. Aku masih ada perlu. Kalian duluan aja."
"Oh, oke. Hati-hati, ya!" pamit Crystal.
Mobil itu melaju gesit menjejaki jalan raya. Sepanjang kemudi, Crystal masih memperhatikan. Sebenarnya sejak tadi dia memikirkan pembicaraan serius dengan Morgan kemarin terkait masa lalu Ruby. Apa yang terjadi jika Cassandra kembali?
"Kalau setelah nikah nanti kita tinggal di Jepang, kamu mau, Crys?"
Celetuk Ruby membuyarkan lamunan Crystal. Menikah. Angan itu kembali terbit di pikiran Crystal. Crystal tersenyum tipis, sedikit malu.
"Kamu yakin aku udah bisa jadi istri kamu? Aku aja ga terlalu yakin. Malah kamu niatnya mau bawa aku jauh pula dari mama. Aku aja ga bisa masak."
"Kan, bisa belajar. Aku juga nanti bantu-bantu, kok. Kita bisa bareng-bareng biar mandiri."
Ruby tersenyum tipis, menyentuh kepala Crystal dengan senyum untuk mengurangi ketakutannya.
"Iya juga, tapi ...."
"Tiga bulan ini waktu yang cukup lama untuk kamu berpikir. Kita ga tau apa yang terjadi nanti. Bisa aja kamu pengen ngejar Emerald lagi dan berubah pikiran," celoteh Ruby.
"Atau mungkin kamu yang berubah pikiran, Ruby."
Pernyataan serius Crystal seperti cambukan di hati Ruby. Ya, karena saat ini, Ruby masih meraba hatinya yang sebagian kosong bersamaan hilangnya memori tentang Cassandra. Apakah nanti dia akan menyingkirkan Crystal saat Cassandra hadir?
"Aku ga tau."
"Berhenti!" perintah Crystal.
"Hah?"
"Aku bilang, berhenti!"
Permintaan tegas Crystal memaksa Ruby menginjak rem untuk menepi. Ruby menatap raut sedih di wajah Crystal. Entah beban apa yang melingkupi hati gadis itu.
Klik! Crystal membuka seat belt hanya agar bisa mendekati Ruby. Dia memeluk tunangannya itu hingga tanpa sadar air matanya jatuh.
"Crys, kenapa?" tanya Ruby. Tiba-tiba saja aura gadis itu mendadak suram dan sedih.
"Janji sama aku, By. Kalau dia kembali nanti ... tolong pikirkan kalau aku cukup berarti buat kamu. Aku benar-benar ga mau kehilangan kamu. Aku udah kehilangan Al, jadi aku ga mau kehilangan kamu juga."
Sejak percakapan dengan Morgan itu, Crystal sangat takut Ruby akan kembali pada Cassandra. Walau hanya sebagian saja memori yang dibuka Morgan, Crystal bisa membayangkan betapa berartinya Cassandra untuk Ruby.
Ruby melepaskan pelukan Crystal, memegang pipi gadis itu hanya untuk memberi kecupan di dahinya. Air mata Crystal jatuh. Dia terisak di depan tunangan yang dulu sempat dia benci.
"Jangan nangis lagi, Sayang. Aku janji ga akan ninggalin kamu. Aku ga bisa liat kamu nangis."
"Kenapa?" tanya Crystal.
"Udah aku bilang, kamu cantik kalau lagi nangis. Ga mungkin, kan, aku cium kamu di tengah jalan gini? Kayak ga ada tempat lain aja."
Crystal tersenyum. Dia kembali duduk santai dan Ruby mulai menjalankan mobil lagi. Dia tak ingin membebankan Ruby akan kerisauan hatinya.
'Gimana caranya aku tanya dia soal luka itu? Kan, ga mungkin aku tanya tiba-tiba luka di pinggangnya. Dianya juga pasti bingung aku tau dari mana. Kalau dia belum cerita soal itu, itu artinya dia ga ingat apa pun. Lagian kenapa dia harus cerita? Gimana caranya nge-gap Ruby dan ngeliat luka itu, ya? Masa aku minta dia buka baju, sih? Nanti mikir apa dia?' batinnya.
Morgan mengatakan bahwa bekas luka itu adalah jalan untuk membuka ingatan Ruby. Yang tak mereka sadari, Cassandra selalu ada di sekitar Ruby yang kapan pun siap memutus ikatan keduanya.
*