Usai makan malam, Crystal pun masuk ke kamarnya yang berada tepat di sebelah kamar Ruby. Tak ada niat dari Ruby untuk bercengkrama. Crystal sangat bosan.
"Ck, beneran dianggurin, gue! Pengen ngobrol, tapi takut ganggu."
Nekat, Crystal pun keluar kamar dan mendekati pintu kamar Ruby. Sedikit ragu untuk masuk. Malu sekali jika ketahuan Morgan bahwa dia memata-matai Ruby.
"Ketuk nggak, ya?"
Di belakang sana, mamanya Ruby tersenyum dan mendekati calon menantunya itu. Sama seperti mamanya Crystal, beliau pun tak sabar mendapatkan menantu untuk putra tertuanya.
"Masuk aja!"
Crystal terkejut dan berbalik. Dia malu karena berdiri di depan kamar Ruby.
"Eh, Tante. Ini ...."
"Ayo masuk! Sekalian ada yang mau Tante kasih."
"Eh?"
Krik! Beliau membuka pintu dan mendorong punggung Crystal agar masuk ke kamar Ruby. Secara bersamaan, Ruby keluar dari toilet sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk.
"Ada apa, Ma?" tanya Ruby.
"Apanya yang ada apa? Kamu ini! Masa Crystal udah nginep di sini pun nggak diajakin ngobrol. Ini cuma tiga bulan lagi, loh! Masa mau jadi suami istri, tapi nggak ada pedekate-an segala."
Suami istri. Sekali lagi padanan kata itu disandingkan untuk Ruby dan Crystal. Crystal sangat malu saat beliau memintanya duduk di tepi kasur, sementara Ruby tak terlalu ambil pusing sambil mendekati meja belajar.
"Masih banyak kerjaan untuk persiapan besok, Ma. Mama ada perlu?" tanya Ruby.
"Oh, ini! Rencananya lusa, mama-papa mau ada urusan dan pergi ke Malaysia. Jadi ..."
Beliau memberikan tas jinjing berisi kotak putih cantik dengan bingkai pita di atasnya. Kotak itu diletakkan di pangkuan Crystal.
"Ini apa, Tante?"
"Hadiah ulang tahun buat kamu. Tadi, kan, Tante bilang mau pergi, jadi kadonya duluan aja, ya!"
"Makasih banyak, Tante!"
"Kamu udah nyiapin kado, By?" tanya mamanya.
"Eum ... belum."
"Ih, masa belum kepikiran mau kasih kado apa. Dasar payah! Coba dibuka kado dari Tante, Crys."
Crystal pun membuka kado itu. Dia terkejut melihat gaun cantik berwarna putih dan bisa dipastikan itu adalah gaun yang akan dipakai di acara penting.
"Nanti pas lamaran, pakai gaun ini, ya!"
"Mama! Lamaran apa, sih?" tegur Ruby.
"Loh? Ya kamu melamar Crystal, dong! Gimana, sih?"
Crystal tampak keki. Ruby hanya geleng-geleng kepala saja, merasa malu karena mamanya terus menyinggung tentang pernikahan.
"Cobain gaunnya, Crys. Nanti kalau misalnya kekecilan atau kebesaran, bisa dikondisikan."
"Sekarang, Tan?"
"Iya. Cepat, gih! Sana masuk toilet."
"Iya, Tan."
Crystal segera masuk ke toilet untuk mencoba gaun cantik pemberian sang calon mertua untuk acara lamaran nanti. Sementara itu, Ruby dan mamanya bicara santai sambil menunggu Crystal.
"Kamu suka sama Crystal, kan?" tanya mamanya.
"Hm. Tapi suka aja nggak cukup, kan?"
Ekspresi Ruby mulai serius. Beliau menyentuh pipi Ruby, menatap dengan binar kasih. Ada beban yang tersimpan dalam ingatan masa lalu Ruby. Keluarga Alexander masih tak ingin mengungkit mimpi buruk itu lagi.
"Jangan berbalik lagi, Sayang! Mama milih Crystal karena Mama yakin kamu bisa ngelupain semuanya."
"Tapi aku mau ingat semuanya, Ma."
Ruby sedikit menunduk, mengambil tangan mamanya untuk dikecup. "Meskipun berulang kali Mama bilang Cassandra itu mimpi burukku, sekalipun yang kutau dulunya aku mencintai Cassandra, bukannya ini nggak adil untuk Crystal? Aku mau ingat semuanya, Ma."
"Ruby ...."
"Sebelum perasaanku dan Crystal terlalu jauh, bisa tolong bantu aku cari di mana Cassandra? Biarkan aku ingat semuanya. Biarkan aku milih dengan pikiran yang jernih. Entah itu Crystal atau Cassandra, aku nggak mau nyakitin salah satunya."
"Nggak! Cuma Crystal! Mama nggak akan biarin Cassandra datang lagi! Mama hampir kehilangan kamu karena dia, Ruby!" kesal beliau seraya bangkit dari duduknya.
"Nggak, Ma. Aku ...."
Mamanya pergi dari kamar Ruby karena tersinggung dengan perdebatan kecil mereka. Pria muda itu merasa bersalah. Setiap kali dia menyinggung nama Cassandra, mamanya selalu marah dan mulai murung beberapa hari kedepannya. Tak ada satu pun yang bisa dia tanyai mengenai mimpi buruk itu. Semua bungkam.
"Aaaah!"
Ruby terkejut mendengar suara dari toilet. Refleks, dia membuka pintu karena cemas terjadi sesuatu pada Crystal. Menyadari Ruby masuk, Crystal segera berbalik. Rambut panjangnya menyingsing di sisi bahu, jatuh ke depan. Dia belum siap mengancing gaunnya.
"Ih, kenapa tiba-tiba masuk aja? Kalau tadi aku t*lanjang, gimana?" protes Crystal.
Ruby mendecak kesal seraya berkata, "Ya kamu ngapain jerit? Lagian pintunya nggak dikunci."
Gadis cantik itu terkekeh pelan, menunjukkan layar ponsel dari aplikasi belanja berwarna jingga tersebut. "Oh, itu tadi aku liat hape, ada diskon untuk skincare yang kupakai."
Ruby menggeleng pasrah sambil menepuk jidat. "Astaga!"
Crystal meletakkan ponsel pada sisi wastafel. Merasa sedikit tak nyaman karena resleting gaunnya tersangkut. Jika tak hati-hati, gaun cantik itu bisa robek karena keteledorannya.
Ruby tak ingin mengusik lagi. Saat hendak pergi, Crystal pun memanggil lagi. "By, itu ...."
"Apa lagi?" keluh pria beralis tebal itu.
"Bisa tolong bantu kancingkan?" Crystal sedikit malu saat memintanya.
Ruby terkekeh pelan, memicingkan sedikit ekor matanya dengan nada mengejek. "Kenapa? Sesak? Kamu kegendutan, ya?"
"Kamu, ih! Bukan itu! Resleting-nya nyangkut pas aku tarik. Aku takut gaunnya jadi rusak kalau aku paksain. Nggak enak sama Tante Rose. Ini gaunnya pasti mahal banget."
"Iya-iya! Bawel banget, kamu!"
Meski sedikit malu, Crystal terpaksa meminta bantuan Ruby karena takut gaun mahal pemberian Nyonya Alexander itu rusak. Dia pun berbalik memunggungi Ruby, menatap cermin. Di belakangnya, jantung Ruby berdesir karena melihat lekuk punggung cantik Crystal. Kulitnya begitu mulus dan bersih. Suasananya canggung mengisi hening keduanya.
Ruby maju selangkah. Dari cermin, Crystal bisa melihat ekspresi Ruby. Bukan hanya dia, Ruby juga terlihat canggung dan wajahnya mulai merah.
Sejak tadi meski kesulitan menarik resleting, Ruby hanya memanjakan matanya dengan lekuk molek punggung calon istrinya itu. Ya, Crystal adalah calon istrinya. Toilet itu sangat dingin, namun gelora justru membakar keduanya menjadi hangat.
'Ruby ngeliatin gue gitu banget. Gue jadi malu. Duh, ini gimana harusnya?' batin Crystal.
Ruby tergoda untuk menyentuh punggung itu. Bahunya putih bersih dan sepertinya akan sangat lembut saat diraba. Jantung Crystal berdegup cepat saat merasakan sensasi geli ketika Ruby mengusap bahunya dengan jemari. Dia memejamkan mata, justru terpengaruh dengan sentuhan Ruby. Ruby mulai mendekat, Crystal bisa merasakan hela napas berat Ruby di dekat lehernya.
Beberapa detik berlalu. Crystal segera tersadar karena tak ingin Ruby terlalu jatuh sepenuhnya. Dia segera berbalik dan mengembalikan ilusi Ruby.
"Why did you touch me?" tanyanya.
Ruby sangat malu karena telah begitu kurang ajar menyentuh Crystal yang belum menjadi miliknya. Hanya menunduk saja. Jawaban apa yang bisa dia berikan? Saat Ruby hendak pergi, Crystal mencegahnya dengan menggantungkan dua lengannya di bahu Ruby.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Crystal.
Ruby belum menjawab. Crystal terus memperhatikan sisi canggung Ruby. Telinganya sangat merah. Indikator akurat saat pria ini mulai canggung. Pasti saat ini Ruby sudah terjerat dalam hasratnya.
"Nyentuh aku seenaknya. Aku ini bukan siapa-siapa kamu, kan?" tanya Crystal.
"Kita menikah aja, Crys."
Crystal terkejut saat Ruby memutuskan itu dan menatap serius matanya. "Setelah lulus, menikahlah denganku dan kita pergi dari sini. Kita bisa tinggal di Jepang atau di mana pun. Aku cuma berharap tetap jadi Ruby yang seperti ini buat kamu. Aku takut dia kembali."
"Ruby ...."
Crystal bungkam. Ada rasa takut yang hebat dari sinar mata Ruby. Napasnya memburu sambil menggenggam jemari Crystal. Entah ketakutan apa yang mencengkram batinnya saat ini. Crystal justru merasa kasihan. Setidaknya dia mengetahui sisi kelam Ruby yang tak mengingat masa lalunya. Juga gadis yang pernah dicintainya itu.
"Cry, kamu mau, kan? Aku yakin kita akan bahagia. Aku nggak mau dia datang lagi. Nggak peduli sekalipun memang aku cinta sama dia, tapi ngeliat mama sedih sewaktu bicara tentang dia, pasti dia ngelakuin sesuatu yang mengerikan di masa lalu."
Ruby sedikit menunduk. Crystal pun memegang pipinya agar pria itu agar kembali menatapnya.
"Aku nggak mungkin menikah kalau di hati kamu ada orang lain, Ruby. Sama seperti kamu yang nggak mau berbagi hatiku dengan Al, aku juga nggak mau ada Cassandra di hidup kamu."
"Crys ...."
"Tolong jangan lari dari masa lalu. Aku akan di sisi kamu meskipun dia nanti datang. Aku akan biarkan kamu milih antara aku atau dia."
Ruby menggeleng, terus menggenggam jemari Crystal untuk meyakinkannya. "Kamu bisa bicara gini karena kamu belum cinta sama aku. Aku nggak bisa pastikan apa yang kulakukan nanti. So please ... love me. Ikat aku seerat mungkin. Aku nggak mau berbalik lagi."
"Ruby ...."
Ruby terlihat sedih. Crystal bisa menangkap kebingungan di mata Ruby. Dia yang sulit melangkah karena masih dirantai oleh masa lalu. Cassandra mungkin akan kembali dan membelenggu Ruby. Melihat dia bercerita tentang masa lalunya dan Cassandra, Crystal bisa pastikan bahwa Ruby dikontrol sepenuhnya oleh Cassandra. Crystal mendekati wajah Ruby, begitu dekat hingga dia bisa merasakan hela napas berat Ruby yang hangat.
"Kiss me, Ruby!"
Ruby menggeleng. Dia menurunkan tangan Crystal dari pipinya. Berulang kali Crystal meminta, Ruby masih belum mau menyentuhnya lebih meskipun status tunangan sudah mereka jalani beberapa bulan terakhir.
"Nggak, Crys. Jangan paksa aku!" pinta Ruby.
"Lusa aku delapan belas tahun."
"Aku suka kamu, Crys. Itu cuma alasan. Aku akan cium kamu kalau aku yakin aku mulai cinta sama kamu."
Ruby pun keluar dari toilet dan meninggalkan Crystal. Sama seperti Ruby, Crystal pun masih meraba hatinya. Dia ingin bersama Ruby, tetapi hatinya masih dijerat oleh Emerald. Akankah keduanya bisa melepaskan diri dan memutuskan untuk saling mencintai?
Crystal tertegun. Entah kenapa dia tak tenang saat menyadari Ruby masih mengingat Cassandra meski ingatan itu kabur. Karena tak ada mamanya Ruby, Crystal melepaskan gaunnya. Dia berjalan keluar dari toilet dan melihat pintu balkon terbuka. Ruby berdiri di sana sambil menatap langit. Apakah Ruby butuh teman bicara? Di balik senyumnya, Ruby menyimpan sisi kesepian yang akhirnya bisa Crystal lihat.
Crystal berjalan tepat di belakang Ruby. Ruby terkejut saat gadis itu memeluknya dari belakang, bersandar di bidang punggungnya.
"Kalau aku belajar mencintai kamu, apa kamu mau lupain Cassandra?" tanya Crystal.
Ruby belum menjawab. Dia memegang lengan Crystal yang berada di lingkar perutnya.
"Kalau aku nyerah tentang Al, apa kamu mau terus jalan sama aku dan nggak berbalik ke Cassandra, By?"
Ruby menarik tangan Crystal agar bisa berbalik untuk menatap gadis itu. Crystal cemberut dan ekspresi cemburunya sangat manis. Ruby sangat gemas dan mencubit hidung mancungnya. Detik mengisi rasa kagum Crystal akan keindahan senyum tunangannya ini.
"Calon istri kecilku ini ... apa kamu cemburu?"
"Nggak tau!"
"Kamu salah paham, Crys. Aku mau ketemu dan ingat Cassandra lagi karena aku harus selesaikan urusan dan perasaanku sama dia. Harusnya aku yang cemburu karena kamu nggak bisa move on dari Emerald."
Ruby sedikit menekuk kakinya, melingkarkan tangan atletisnya di kedua paha Crystal agar dia bisa menggendong gadis itu.
"Ruby, ih!"
Crystal sangat malu. Dia menunduk melihat Ruby mendongak ke arahnya. Ruby sangat kuat mengangkatnya cukup tinggi hingga dadanya sejajaran wajah Ruby. Pria itu hanya terus menguntai garis senyum. Kenapa senyum pria ini begitu cantik?
"Kalau kamu serius, memang sebaiknya kita nikah aja. Dengan gitu, meskipun nantinya Cassandra balik, aku ada dalam genggaman kamu," kata Ruby.
"Tiga bulan lagi?"
"Hm. Wanna be my little wife?"
"Kamu ngelamar aku?"
"Nggak, lah! Nanti aja. Aku cuma kasih kamu arahan aja. Yang jelas, aku serius sama kamu. Jangan main-main sama hatiku, ya?"
"Ruby ...."
Keduanya masih asik bicara. Sesekali Crystal mengusap rambut legam Ruby yang menutupi sisi dahinya. Emerald, mantannya yang bule itu memang tampan. Akan tetapi, pesona dewasa Ruby ini tak pernah bisa dia tolak.
Ruby juga sama terjeratnya. Si cantik yang menyebalkan ini selalu saja membuat hari-harinya kesal, tapi suara dan kecemburuannya itu membuat Ruby candu untuk menggodanya.
"Jangan jadi cewek nakal! Jangan lirik-lirik mantan lagi! Aku cemburu dan rasanya sakit."
"Bisa turunin aku?" Crystal menepuk bahu Ruby agar tunangannya itu menurunkannya.
"Kenapa? Kamu malu?" tanya Ruby.
"Bukan gitu. Aku berat, nanti kamu capek. Kamu harus tidur."
"Nggak mau!"
"Aku cium nanti, mau?" goda Crystal, seraya mengeringkan matanya.
Ruby segera menurunkan Crystal dari gendongannya. Saat hendak pergi, Ruby menarik tangan Crystal. Ruby memeluk bahu gadis itu dari belakang, meminta gadis itu menyandarkan kepalanya di pelukannya. Mereka menikmati malam dengan memandang langit.
"Aku suka banget sama Jepang. Beberapa tahun ini aku kerja dan penghasilannya untuk beli rumah di sana," ungkap Ruby.
"Eh?"
"Ya ... dapat bantuan duit papa juga, sih. Aku rencananya mau tinggal di sana kalau aku nikah nanti."
Crystal hanya tersenyum. Menikah muda? Terasa mengasyikkan apalagi punya suami seperti Ruby. Jantung Crystal terus berdebar jika mengingat itu nantinya. Dia menunduk malu saat Ruby menyingsingkan helaian rambut Crystal ke sisi lain. Pria itu ingin menyandarkan dagunya di bahu calon istrinya. Gadis cantik berhidung mancung itu menghela napas berat saat bisa merasakan bibir Ruby mencium ujung bahunya yang terbuka.
"Aku nggak bisa bilang kalau aku cinta sama kamu. Yang pasti, aku suka sama kamu, Crystal."
"Cintanya sama Cassandra?" protes Crystal.
"Dih, cemburu?"
"Aku nggak suka milikku disentuh cewek lain, Ruby."
Crystal berbalik menatap Ruby. Pria ini sangat jangkung. Terkadang Crystal harus mendongak tinggi agar bisa melihat jelas wajah Ruby.
"Kamu milikku, Ruby, aku nggak akan biarin kamu disentuh cewek lain lagi."
Crystal menjangkau lingkar pinggang Ruby agar tunangannya itu lebih mendekat. Entah kenapa, dia selalu merasa seperti gadis nakal saat di dekat Ruby. Dia korban pertunangan? Tidak. Nyatanya, justru dia yang selalu terjebak pada Ruby.
Crystal terus menatap bibir Ruby. Tangannya terangkat, menyentuh bibir itu dengan jemarinya. Mereka begitu dekat. Usapan lembut jari Crystal di bibir Ruby justru membuat Ruby terlena. Sangat menggoda. Napasnya mulai berat saat terus memandang mata nakal Crystal. Entah karena ingin membiarkan napasnya lolos melewati bibir, Ruby membuka sela bibirnya.
Crystal hanya membayangkan bibir plum cantik itu jika dikecupnya. Apa rasanya dicium Ruby? Lower lip-nya cukup berisi dengan lekuk seksi berwarna merah darah. Menyadari Ruby hendak berhasrat, Crystal menarik tangannya karena takut Ruby menyecapi jarinya.
"Ruby, aku bisa aja cium kamu sekarang, nggak ada yang bisa ngelarang aku. Meskipun kamu tetap bersikeras nunggu aku berumur 18 tahun. It's oke, aku nggak mau paksa kamu. Aku nggak mau kamu cium aku kalau bukan karena cinta. Di hati kamu masih ada Cassandra."
"Sayang ...."
Dada Crystal berdesir saat mendengar sapaan itu. Dia sedikit berjinjit untuk memeluk bahu kekar Ruby. Nyaman sekali. Merajut pertunangan meskipun Ruby masih dihantui cinta pertama yang tak bisa dia ingat, dan juga Crystal yang masih membagi setengah hatinya pada Emerald. Keduanya sepakat untuk berdamai dengan keadaan rumit ini.
"Jangan berlari, Ruby! Silakan cari Cassandra! Aku akan temani kamu. Aku nggak mau harus berbagi hati kamu dengan cewek lain. Jadi ... ayo kita selesaikan masa lalu kamu."
"Tapi aku nggak tau di mana Cassandra."
"Berusaha, ya! Aku akan tetap di sini dan tunggu kamu. Aku akan tunggu kamu untuk jemput hatiku, atau justru ninggalin aku untuk dia."
Crystal segera berlari meninggalkan kamar Ruby. Sebenarnya Crystal sudah memberi isyarat bahwa dia memilih Ruby. Pilihan ada di tangan Ruby. Akankah dia meneruskan ke jenjang serius bersama Crystal atau kembali pada Cassandra. Gadis yang masih dia cintai, tetapi tak bisa mengingat jelas kenangan apa yang membuat keluarganya mati-matian menyingkirkan gadis itu dari hidupnya.
"Kamu di mana, Cassie?" gumamnya.
*