"Mam, Arka Minggu ini mau datang ngelamar aku. Aku kan udah lulus kuliah." Prisa memeluk mamanya manja.
"Sayang, maafkan mama. Tapi mama tidak mau kamu melangkahi kakak mu, apalagi dia perempuan," dengan wajah menyesalnya.
"Mam ayolah. Arka sudah 3 tahun menungguku, dia sangat baik dan mencintaiku. Kalau harus menunggu lagi aku gak yakin dia mau," dengan kesal, Prisa memasang wajah cemberutnya.
"Huuuh." Irma ibu dari Mariam dan Prisa hanya bisa menghela nafas.
Mariam putri sulungnya sudah berusia 28 tahun, tapi belum pernah membawa satu pria pun ke rumah. Sedangkan Prisa yang usianya belum genap 23 tahun sudah ingin menikah.
Sebagai orang tua Irma sangat mengkhawatirkan Mariam, takut dia jadi perawan tua.
"Assalamualaikum." Mariam baru saja pulang kerja, dia segera mencium punggung lengan mama nya.
"Wa'alaikumsalam, sudah pulang sayang," mengelus punggung Mariam penuh kasih sayang.
"Ada apa?" merasa heran melihat mimik wajah adiknya yang cemberut.
"Ini semua gara-gara kakak!" Prisa dengan tatapan kesalnya.
Mariam yang baru pulang kerja dia sungguh merasa lelah ditambah lagi adiknya yang marah-marah tak jelas.
"Apa maksudmu Prisa, kakak gak ngerti," bingung.
"Sopanlah sama kakakmu Prisa." Mama Irma menatap tajam kepada Prisa.
"Mam, tapi aku benar!" kesal karena mamanya membela Mariam.
"Jelaskan sama kakak, ada apa sebenarnya?" masih merasa heran. Mariam berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terpancing emosi.
"Apa aku harus menunggumu seumur hidup untuk aku bisa menikah! Arka bisa meninggalkanku kak, dia sudah tiga tahun menungguku!" teriak prisa kesal kepada kakaknya, karena dia harus kembali menunggu kakaknya sebelum dia menikah.
"Oh jadi ini masalah nya," menghela napas dalam.
"Maaf, bukannya kakak nggak mau nikah. Tapi, nggak ada satupun pria yang mau sama kakak, Prisa!" dadanya terasa sesak menahan tangis yang hampir meledak, namun Mariam masih bisa tegar.
"Prisa, kenapa berkata seperti itu sama kakakmu!" pekik mamanya, dia langsung memeluk Mariam.
Hatinya sakit, Prisa bisa berkata seperti itu kepada kakaknya sendiri.
"Mam, sudahlah. Gak usah sedih, apa yang dikatakan Prisa benar adanya," suaranya lirih dan serak.
"Kak, maafkan aku," memeluk erat tubuh kakaknya.
"Sudahlah, pris kakak mengerti," menutup matanya, dia menahan agar air mata tidak menetes dan itu berhasil.
Mariam adalah gadis yang tegar dan kuat. Dia sudah merasa kebal dengan perkataan menyakitkan yang menusuk ke hati nya.
Seringkali para tetangga berkata yang begitu menyakitkan. Perawan tua, itulah perkataan yang sering dia dengar dari mulut mereka.
"Siapa bilang aku gak mau menikah, apa salahku jika tak ada pria yang mau pada ku," teriak Mariam dalam hatinya, dia menjerit dan menangis di dalam hati.
Mariam melepaskan Prisa dari pelukannya, berjalan menuju dapur tanpa sepatah kata pun. Mengisi gelas dengan air putih dingin, lalu meneguknya sampai habis dalam sekali teguk.
Itulah yang selalu dilakukan Mariam saat hatinya merasa sedih.
Setelah merasa puas minum, Mariam segera menghampiri mama dan adik nya kembali.
"Bu, biarkan Prisa dan Arka bahagia. Tidak usah menunggu ku," ucap Mariam lembut.
"Mama tidak akan pernah lakukan itu Mariam, tidak!" air mata berderai dari pelupuk mata Irma.
Mariam mengusap pipi mamanya lembut, lalu memeluk nya. "Maaf, aku tidak bisa membahagiakan mama," saat ini Mariam tak sanggup untuk menahan air matanya.
"Kak, aku akan bicara pada Arka agar dia mau menunggumu setahun lagi." Prisa memutuskan untuk menunggu Mariam menikah.
"Tidak, kakak akan berusaha membujuk papa dan mama," padahal sudah jelas-jelas mamanya berkata tidak.
"Kalian bicarakan saja tentang hal ini." Mamanya memilih untuk pergi meninggalkan mereka berdua. Dia mau menyiapkan makan malam.
Prisa berdiri, dia ingin pergi menemui Arka untuk membicarakan hal ini.
"Kamu mau kemana?" tanya Mariam.
"Aku mau menemui Arka, ingin membicarakan hal ini. Semoga saja dia mau mengerti," dengan suara lemah, badannya terasa begitu tak bertenaga.
Rasa takut Arka menolak permintaannya kali ini, bergelayut di benaknya.
"Maafkan kakak," dengan wajah penuh sesal dan sedihnya.
"Kak, sebenarnya tidak ada yang kurang dengan mu. Kamu cantik, baik dan mandiri. Siapapun bisa jatuh hati padamu." Prisa menatap lekat kakaknya.
Mariam berwajah cantik bertubuh indah, rambutnya hitam lurus dan bergelombang di ujungnya.
Hanya tak banyak yang tahu. Mariam selalu mencepol satu rambutnya, dia tak pernah menggerainya saat keluar dari rumah. Supaya simpel katanya.
Wajahnya putih mulus tanpa banyak riasan. Hanya polesan pelembab dan bedak tipis yang menghiasi wajah cantiknya. Bahkan tak ada lipstik menempel, hanya pelembab bibir tanpa warna yang menyentuh bibirnya.
Warna merah muda alami membuat bibirnya terlihat segar dan menawan.
"Kamu hanya ingin menyenangkanku, Pris." Mariam tersenyum kecut.
"Hanya satu kekuranganmu, kak. Kakak terlalu menutup diri, kakak tidak mau membuka hati untuk siapapun." Prisa menghampiri mamanya di dapur, lalu pamit.
"Kak, aku pergi dulu ya," memeluk Mariam kemudian pergi meninggalkan nya.
Mariam segera masuk ke kamarnya, dia merendam tubuhnya di bathtub. Segar rasanya, aroma lavender dari sabun cair begitu menenangkan hatinya.
Usai mandi Mariam segera memakai pakaian nya, lalu ke dapur membantu mamanya memasak.
Mariam memang pandai memasak. Dia terlihat cekatan saat membantu mama nya.
Usai memasak Mariam dan mama segera menatanya di meja makan.
Tidak lama kemudian, Danu Ayah Mariam dan Prisa pulang. Waktu menunjukan pukul enam sore sudah menjelang magrib.
"Ayah baru pulang?" tanya ibu sambil mencium punggung lengan suami nya itu.
"Iya, ayah banyak kerjaan tadi." Ayah segera duduk di sopa, Mariam menyuguhkan segelas kopi hitam kesukaan ayah nya itu.
"Terimakasih, kamu sudah cocok jadi istri." tersenyum ke arah Mariam.
Mariam membalasnya dengan senyuman.
"Aku juga mau yah, tapi belum ada jodohnya," mendesah kesal.
"Kamu itu cantik, bahkan lebih cantik dibanding adikmu. Mungkin kamunya yang terlalu pemilih," perkataan ayah membuat hati Mariam berdenyut nyeri.
"Apa aku harus berteriak 'Hei, siapa yang mau menikah dengan ku'. Aku juga mau nikah kali, aku malu banyak orang mengatakan aku perawan tua!" Mariam kembali berteriak dalam hatinya.
"Mana Prisa? Sejak tadi ayah gak melihatnya." Ayah mengedarkan pandangannya mencari prisa.
"Dia mau bertemu Arka," jawab Mariam.
"Oh, mereka seharusnya sudah menikah. Kalau bukan karena mu." Menatap Mariam dengan sedikit kesal.
"Yah, jangan berkata seperti itu sama Mariam," sedikit kesal kepada suaminya itu, yang terlihat memojokkan Mariam.
Mariam masuk ke kamarnya tanpa berkata-kata, dia merasa sangat kesal pada dirinya sendiri.
"Aku memang perawan tua. Huuuh! Di saat teman-temanku sudah menikah bahkan ada yang punya anak, aku masih saja melajang. Apa aku sejelek itu sampai tidak laku," berdiri di depan cermin menatap lekat wajahnya.
Mariam membuka ikatan yang mencepol rambutnya. Kini rambutnya tergerai indah, duduk di meja rias menatap lekat wajahnya.
"Apa aku harus merubah penampilanku, pakai make up dan menggerai rambutku. Aaah, apa-apaan ini. Jika ada yang suka padaku maka harus menyukaiku apa adanya, bukan karena penampilan semata," gumamnya, lalu Mariam mulai menyisir rambutnya.