Darah Tinggi?

1050 Words
Aku membuka mataku, tapi tidak mendapati Romi berada di sampingku. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Dia sepertinya sudah bangun sejak tadi. Hawa dingin di sini sangat membuatku ingin terlelap lagi. Tapi, rasa lapar ini memaksaku untuk terbangun. Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku berjalan menuju ruang makan. Bibi sedang menyiapkan sarapan untuk kami. Aku menarik kursi dan mendudukinya. Aku mengambil sebuah tempe goreng yang terasa masih hangat ditanganku. Menggigit dan mulai mengunyahnya. Bibi kembali menaruh beberapa hidangan lainnya. “Apa Bibi melihat suamiku?” tanyaku padanya. Bibi tersenyum dia menunjuk ke luar vila, “Bapak di depan Bu,” jawabnya. Aku melihat ke arah yang dia tunjuk. Ruang makan ini memang mempunyai pintu. Sehingga jika dibuka, udara sejuk akan memasuki seluruh ruangan. Pemandangan indah juga bisa dilihat dari sana. Aku mendapati Romi terlihat sedang menelepon seseorang. Sesekali dia juga menendang-nendangkan kakinya ke batu-batu kecil di halaman. Aku merasa pasti ada yang tidak beres. Apa ini tentang bisnisnya? Aku berdiri dan beranjak berjalan ke arah Romi. Dia masih fokus dengan teleponnya. Hingga dia terkejut saat aku memeluknya dari belakang. Entah kenapa dia terlihat begitu terkejut kemudian mematikan teleponnya dengan segera. Membuatku menjadi curiga dengan gelagatnya. Tapi, aku mencoba menepis pikiran buruk tentangnya. “Eh, kamu sudah bangun,” ucapnya. Dia menoleh dan membalas pelukannya. Dia mengecup kepalaku dengan lembut. Aku mengangguk pelan. “Iya, aku bangun dan kamu sudah tidak ada di kamar,” jawabku dengan sedikit cemberut. Dia malah terkekeh pelan, “Iya, tadi Dimas telepon. Sepertinya kita harus kembali hari ini. soalnya aku harus mengurus bisnisku kembali. Kapan-kapan kita akan jalan-jalan lagi. sekarang kita makan yuk.” Ucapannya selalu lembut dan menenangkan. Suaranya seolah membiusku hingga terlupa dengan seluruh kecurigaan yang menggelayuti hatiku. Semuanya sirna begitu saja. Mungkin ini salah satu keuntungan menikah dengan orang yang lebih dewasa. Dia bisa mengemong dan begitu lembut. Aku mengangguk, kemudian kami masuk dan sarapan. “Bi, setelah ini kami akan kembali. Lain kali kami akan kembali lagi,” ucap Romi pada Bibi yang sedang meletakkan masakan terakhirnya di meja makan. “Injih Pak, semoga kalian cepat diberikan momongan. Saya menantikan kedatangan kalian untuk berkunjung lagi,” jawabnya dengan sopan. Kemudian dia tersenyum dan keluuar dari vila. “Memangnya kenapa dengan Dimas? Dia tidak bisa menangani urusan di sana ya?” aku mencoba untuk menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi dia tidak ingin membahasnya denganku. Mungkin dia merasa aku terlalu kecil untuk mengetahui semuanya. “Kamu tidak perlu memikirkannya. Biar aku saja, kamu cukup tinggal di rumah dan menungguku pulang. Aku akan mengurus semuanya untukmu, tidak perlu khawatir,” ucapnya dengan lembut. Lagi dan lagi aku dibuat tidak bisa membantah ucapannya. Aku tidak bisa memaksanya untuk menceritakan tentang pekerjaannya. Memang aku tidak tahu apa pun tentang hal tersebut. Aku menghela napas dengan pelan. Kemudian aku mengangguk menyetujui apa yang dia ucapkan. *** Setelah sarapan kami pun segera kembali pulang. Semua barang sudah dimasukkan. Beberapa oleh-oleh juga sudah dibeli. Kami pun pergi dari vila tersebut. Perjalanan terasa begitu cepat, karena aku tertidur dalam perjalanan tersebut. Saat sudah sampai di rumah, Romi membangunkanku dengan perlahan. Aku mengucek mataku sebentar, kemudian mengolet dan segera turun dari mobil. Aku membantunya mengeluarkan barang-barang yang kami bawa. Ternyata oleh-oleh yang kami beli cukup banyak. Kami bahkan berbalik hingga tiga kali untuk memasukkan barang-barang tersebut ke dalam rumah. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Dengan tatapan genit Romi pun tidur di sebelahku. Dia mulai menciumi kepalaku. Aku sedikit menghindar, kemudian dia pun ikut mengikuti gerakanku. Dia merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Matanya memberikan kode. Aku berpura-pura tidak melihatnya. Katanya sibuk, mau ketemu sama Dimas, lah kok mengode-ngode minta jatah sekarang. Dia masih terus merapatkan tubuhnya padaku. Semakin aku mundur, dia terus maju. Hingga akhirnya aku sampai di ujung. Tubuhku sudah menempel di tembok. Sudah tidak ada sela lagi untukku bergeser. Dia yang melihat itu langsung dengan cepat mengimpit tubuhku. Menarik dan memelukku dengan erat. Tidar ada obrolan di antara kami. hanya saling memeluk dan merasakan detak jantung satu sama lain. Aku tidak pernah mengira. Aku bisa menjadi istri dari pria yang usianya jauh di atasku. Tapi selama pernikahan ini, aku tidak pernah merasa dia bersikap sok dewasa. Sikapnya begitu mengalir dan membuatku nyaman. Dia bisa memosisikan dirinya menjadi teman sekaligus suami yang baik. aku benar-benar merasa beruntung. Mungkin dia memang orang yang tepat. Pilihan orang tuaku mungkin memang yang terbaik. Kemudian aku merasa dia melonggarkan pelukannya. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu. Aku tetap diam, aku menunggu dia mengatakan alasannya sendiri. Toh dia yang sedari tadi menggoda, kemudian dia juga yang memelukku. Aku melihat dia berdiri, mengambil ponselnya yang ada di sebelah ranjang. “Dimas, aku bicara dengannya sebentar ya. Nanti kita lanjutkan.” Dia mengucapkannya dengan mengerlingkan mata. Aku menganggukkan kepalaku, kemudian dia pun ke luar dari kamar melanjutkan obrolannya dengan Dimas, Sikapnya terlihat begitu murni, seperti memang sikapnya sehari-hari. Dia tidak kikuk sama sekali menghadapi aku yang masih kekanakan ini. Aku juga merasa heran. Kenapa aku bisa merasa nyaman dengannya ya? Padahal awalnya aku tidak suka dengannya, bahkan aku merasa benci. Tapi kini, rasa nyaman itu seakan telah memenuhi hatiku. Jika mengingat soal temppo hari mantannya menemuiku. Rasanya aku ingin menjambak rambutnya lagi. perasaanku terasa kacau saat itu. Bagaimana bisa, ada perempuan yang sangat tidak mempunyai malu. Apa urat malunya sudah putus? Hidup menjadi seorang istri di usia semuda ini tidak pernah ada dalam rencanaku. Rencana yang aku tulis di buku harianku begitu panjang. Sebenarnya aku ingin kuliah, kemudian bekerja, mempunyai karier yang bagus, menggapai harapanku yang ingin keliling Indonesia. Tapi, aku sadar. Aku hannyalah gadis miskin. Aku tidak mempunyai orang tua yang mampu membiayai semua keinginanku. Biaya kuliah tidaklah murah. Kehidupan kami saja pas-pasan. Bisa mempunyai beberapa ekor kambing saja sudah lumayan. Aku tidak tega, jika mereka harus bekerja lebih pagi dan pulang lebih malam hanya untuk membiayaiku kuliah. Karenanya, aku membantu mereka dengan bekerja di toko. Tapi mereka malah menikahkanku dengan seorang pria yang tidak aku kenal sama sekali. Padahal jika mereka hanya menentang hubunganku dengan Gilang. Aku masih bisa menerimanya. Nyatanya semuanya sudah terjadi. Sekarang aku ada di sini, sebagai istri dari Romi. Mau tidak mau aku harus menjalani semua ini. Jika dipikir lebih dalam lagi, jantungku berdetak lebih kencang setiap kali ada dia di sampingku. Apa aku mulai mengidap penyakit darah tinggi ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD