Malam yang Sepi

1052 Words
Aku melihat bintang-bintang berkelip dengan indahnya. Bulan juga bersinar dengan sangat terang. Tapi, Romi masih belum pulang juga. Ponselnya terhubung dengan pelayanan pelanggan. Apa dia berada di daerah yang sulit jaringan? Padahal dia menggunakan provider yang mahal. Provider itu bukannya sudah menjanjikan akan terhubung di mana pun keberadaannya. Aku menutup tirai kamar. Memainkan ponsel berlama-lama. Siapa tahu dengan bermain ponsel membuatku masih betah untuk terjaga. Nyatanya, mataku terlalu lelah untuk terus terjaga. Mataku pun terpejam dan aku pun tidur dengan sangat lelap. Aku mendengar azan subuh berkumandang. Aku menoleh ke samping tempat tidur. Rupanya Romi sudah terlelap di sana. Aku tersenyum, dengan perlahan aku turun dari ranjang. Aku tidak ingin membangunkannya. Dia terlihat begitu lelap, mungkin dia kelelahan. Aku memandangi wajahnya dengan senyuman di wajah. Aku tidak pernah melihatnya setampan ini. ah, apa yang sedang aku pikirkan. Tidak! Tidak! Lebih baik aku mandi sekarang. Sebelum kepalaku mulai berpikiran yang aneh-aneh lagi. Aku membasuh diriku dengan tetesan air yang keluar dari shower. Air hangat itu mengalir dan memberikan tubuhku rasa yang nyaman. Cairan sabun sudah berbusa, aku menggosokkannya ke seluruh tubuhku. Setiap sisi dan setiap sudut. Aku ingin terlihat segar di mata Romi setelah dia membuka mata. Kenapa lagi-lagi aku memikirkannya? Ada apa denganku? Kenapa setiap kali aku melakukan sesuatu, aku malah berpikir tentangnya? Sudahlah aku harus segera menyelesaikan ritual mandi dan mulai memasak. Saat aku selesai masak, aku kembali ke dalam kamar. Aku membangunkan Romi dengan hati-hati. Aku tidak ingin dia merasa pusing karena dia terkejut saat aku membangunkannya. Dengan perlahan aku menepuk pipinya. “Mas, bangun.” Tapi dia masih belum bereaksi. Aku mengulanginya lagi. “Mas, sudah siang, Mas.” Bukannya bangun, tapi dia malah memegang tanganku. Dia meletakkan tanganku di bawah wajahnya. Bagaimana ini? “Mas, ayo bangun. Sudah siang, Mas. Makanan sudah siap, ayo sarapan!” aku membisikkan itu di telinganya. Ternyata refleksnya lebih dari yang aku harapkan. Dia tidak hanya bangun. Tapi langsung menarikku dan merebahkan aku di tempat tidur. Dia langsung mengunciku, hingga aku tidak bisa bergerak. Wajahnya dan wajahnya hanya berjarak beberapa centimeter saja. aku bisa merasakan embusan napasnya. Matanya menatap mataku dengan lembut. Kemudian dia mengecup bibirku. Ada apa dengannya? Aku tidak membalas ciuman itu. Dia kan belum mandi! Aku mencoba bergerak, tapi tenaganya lebih besar dari tenaga yang aku keluarkan. Aku tidak bisa bergerak. Aku benar-benar terkunci. “Mas, mandi dulu.” Itu adalah sebuah kalimat yang pada akhirnya menghentikan tindakan Romi. Tapi, bukannya mandi. Dia malah kembali tidur dengan memelukku. “Diamlah! Aku masih mengantuk.” Dia menjawab dengan menutup matanya. “Mas, ayo mandi dan sarapan. Bukankah kamu akan bekerja lagi? Dimas pasi sudah menunggumu.” Aku mencoba merayunya. Agar dia melepaskan aku. “Tidak, hari ini aku ingin bersamamu saja. biarkan dia bekerja ekstra hari ini. kemarin aku sudah bekerja cukup lama. Aku ingin bersamamu hari ini.” dia mengeratkan pelukannya padaku. Aku merasakan hangat tubuhnya. Wajahku terasa memerah, aku mungkin sudah seperti udang rebus sekarang. “Tapi, Mas. Aku lapar.” Aku berkilah. Aku memberikan sebuah alasan agar dia mau melepaskan pelukannya. Aku bisa berkeringat jika terus dalam pelukannya. Benar, dia pun meregangkan pelukannya. Tapi tidak berhenti di situ. Dia juga bangun dan berdiri. Aku terkejut, saat dia dengan tiba-tiba menggendongku dan membawaku ke ruang makan. Aku tersipu. Aku menyembunyikan wajahku ke dalam dadanya. “Kau sudah mandi?” aku mencoba menebak. Karena aku bisa mencium wangi khas tubuhnya setelah mandi. Dia tersenyum. “Kamu kira aku tidak bangun ya? aku bahkan sudah mandi dan berganti baju. Aku tadi melihatmu sangat serius di dapur. Jadi, aku kembali ke kamar dan berpura-pura tidur.” Dia terkekeh. Dia benar-benar telah berhasil mengerjaiku pagi ini. Awas saja, aku akan membalasnya nanti. Dia menurunkan aku, kemudian dia menarik kursi dan mempersilakan aku duduk di sana. Dia yang berinisiatif menyendokkan nasi ke piringku. Dia benar-benar sangat romantis pagi ini. dia bisa membuatku lupa atas kejadian semalam. Dia pulang terlambat tanpa memberi tahu terlebih dulu. Dia bahkan tidak dapat aku hubungi. Padahal sebelumnya aku sudah berencana aku akan mengomel dan meminta penjelasan padanya. tapi, perlakuannya pagi ini membuatku melupakan semuanya. Aku berpikir, bisa saja ponselnya kehabisan daya. Dan dia sangat sibuk hingga dia harus pulang sangat larut. Tidak mengapa, itu adalah sebuah bentuk tanggung jawabnya padaku. Maka, aku harus terus percaya dan mendukungnya. Agar semua usaha yang dia lakukan bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Sebagai istri aku memang berkewajiban untuk selalu mendoakannya. Dalam segala hal dan dalam segala situasi. “Terima kasih.” Aku tersenyum padanya yang sedang menuangkan lauk ke atas piringku. Kemudian dia menyeret kursi di sebelahku dan mulai memakan miliknya. Aku masih memegang sendokku. Tapi aku tidak menyuapkan makanan itu ke dalam mulutku. Aku memperhatikan dia makan dengan sangat lahap. Dia terlihat sangat lapar. Bahkan aku menjadi kenyang hanya dengan melihatnya makan seperti itu. “Kenapa kamu tidak makan?” aku terkekeh mendengarnya. Dia mengucapkannya dengan mulut yang penuh dengan makanan. Dia seperti anak kecil saja. Menggemaskan sekali. Dia menyodorkan sendok makannya padaku. Aku pun membuka mulutku dengan malu-malu. Aku melahap makanan yang dia berikan dengan baik. “Mas, semalam ....” aku tidak berani melanjutkan kalimatku. Hingga akhirnya aku menghentikannya dan kemudian menggelengkan kepalaku. “Tidak jadi, Mas.” “Semalam aku mengirimkan pesanan orang. Dia akan membuka usaha jualan sayur juga. Dia memesan banyak. Jadi aku pulang larut, kau ingin membangunkanmu semalam. Tapi, kamu terlihat lelah. Jadi aku mengurungkannya. Kamu tidak marah kan?” nada bicaranya begitu lembut saat menjelaskan semuanya padaku. Aku menjadi tidak enak, aku sudah berencana mengomel padanya. tapi dia memperlakukan aku sangat manis dan lembut pagi ini. “Iya, Mas. Kamu jaga kesehatan ya.” aku menambahkan lauk ke atas piringnya. Dia mengangguk dan tersenyum, kemudian dia melanjutkan menyendok makanannya. Aku pun juga mulai menghabiskan makananku. Aku senang, dia ingin bersamaku hari ini. Aku akan meminta jalan-jalan. Dia harus menebus kesalahannya semalam dengan menuruti semua kemauanku hari ini. “Mas, nanti jalan-jalan ya?” aku mengucapkannya dengan nada manja. Aku tidak sengaja melakukannya. Itu bergulir begitu saja dari mulutku. Dia mengangguk, “Iya, kamu mau ke mana? Ayo kita jalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama. Aku akan sangat sibuk nantinya. Maafkan aku jika aku akan sering pulang larut lagi.” dia mengusap tanganku. Dia membuatku merasa senang dan sedih dalam waktu bersamaan. Kenapa dia harus bekerja hingga larut malam? Bukankah pekerjaannya bisa dia serahkan pada Dimas saja?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD