Cincin di Jari Telunjuk

1517 Words
Setelah merasa baikkan aku pun duduk di samping Romi. “Sudan baikkan?” tanya dia padaku. Aku mengangguk. “Mau beli makan atau minum?” tanya dia lagi. “Minum air dong,” pintaku. “Kamu tunggu di sini, aku beli dulu. Jangan ke mana-mana,” ucapnya. Dia pun segera berlari menuju stan minuman. Kemudian dia kembali dengan sebotol air mineral ditangannya. Dia membukanya untukku, memasukkan sedotan dan memberikannya padaku. Aku meminumnya seperti orang yang kehausan. Setengah botol sudah kuteguk dalam satu kali minum. “Masih mau lanjut?” tanya dia padaku. “Mau dong, masa enggak?” jawabku. “Ya sudah ayo, mau naik sepeda listrik saja?” dia menawarkan untuk naik sepeda listrik padaku. “Enggak usah, jalan saja sama-sama,” jawabku. “Naik itu seru loh, mau enggak?” tawarnya lagi. “Baiklah,” jawabku. Kami pun menyewa sepeda listrik. Entah kenapa aku malah merasa seperti naik kursi roda. Maka aku langsung mengembalikannya. “Yakin mau jalan saja?” tanya Romi padaku. “Iya, naik itu berasa seperti naik kursi roda. Aku jadi merinding,” jawabku. Dia tertawa mendengar alasanku. “Baiklah, kita lanjut jalan saja kalau begitu,” jawabnya. Dia menggandengku berjalan. Benar-benar bulan madu yang sangat romantis. Berulang kali aku mengucap syukur karena memilikinya dalam hidupku. Kami melanjutkan mencoba wahana lain yang ada di sana. Berfoto di titik-titik menarik. Kami foto di samping sebuah kapal nabi Nuh. Juga berfoto dengan harimau kecil. Aku sebenarnya ingin berfoto dengan harimau yang besar, tapi ngeri banget rasanya. Kemudian perjalanan kami lanjutkan menuju museum satwa. Di sana banyak sekali fosil hewan-hewan. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Di sana juga ada replika hewan purba. Besar sekali, ngeri-ngeri sedap kalau melihat hewan sebesar itu. Saat itu kami berbarengan dengan datangnya rombongan anak-anak kecil yang sedang melakukan studi wisata. Seru melihat kaki-kaki kecil itu berlarian. Di sana juga banyak serangga-serangga yang diawetkan. Ada kupu-kupu, kumbang, dan banyak lagi. Setelah puas berkeliling. Kami pun kembali beristirahat sebentar di stan makanan di luar Secret Zoo. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Eco green park. Saat mengunjungi eco green park ini. Aku baru menyadari, ternyata jenis burung itu sangat beragam. Dari yang jinak hingga yang buas. Aku puas berfoto dengan burung-burung di sana. Di sana aku juga melihat ada telur-telur burung yang sedang dierami di sebuah mesin. Ada juga telur yang sedang proses menetas. Burung kecil keluar dari cangkangnya. Sungguh pengalaman yang sangat berharga. Aku jadi seperti anak kecil yang sedang diajak bermain oleh ayahnya. Romi memberikan semua hal yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. *** Malam itu kami memutuskan untuk makan malam di rumah saja. Dia menelepon bibi tukang masak kemarin. Romi memintanya untuk memasak untuk kami. Sementara bibi memasak, Romi mengajakku ke arah kolam renang. Untuk duduk di pinggir kolam dan menikmati suasana. Dia mulai menciumiku lagi. “Ada bibi!” ucapku padanya. Dia tertawa saja. Kemudian kami mencelupkan kaki kami ke dalam kolam renang. Aku melihat Romi berdiri, dia masuk ke dalam vila. Entah sedang apa dia di dalam sana. Aku hanya ingin menikmati dinginnya air di kakiku. Rileks rasanya, setelah seharian berjalan berkeliling di tiga tempat. Bibi meletakkan makan malam di meja samping kolam renang. Dia pun pamit padaku untuk masuk kembali. Aku hanya mengangguk saja. Kemudian aku merasa ada yang memelukku dari belakang. Romi mengecup pipiku. Kemudian aku menoleh ke arahnya. “Ayo makan!” ajaknya. Aku berdiri dari dudukku. Ternyata di meja itu sudah ada beberapa lilin yang menyala. Makanan-makanan lezat juga sudah terhidang di sana. Romi menarik kursi dan mendudukkanku di sana. Kemudian dia duduk di seberangku. Dia membelai tanganku dengan lembut. “Happy birthday sayang,” ucapnya. Aku langsung melongo. Aku tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi di hadapanku. Ini adalah kali pertama ulang tahunku terasa begitu sepesial. Karena tidak pernah ada rasa sepesial di hari ulang tahunku. Bahkan aku tidak pernah mengingatnya. Tapi sekarang, Romi memperlakukanku seperti Ratu. Bahkan dia menyiapkan makan malam romantis di sini. Dia mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya. “Semoga hubungan kita bisa bahagia hingga akhir,” ucapnya sambil memakaikan cincin itu di jariku. “Kok di pasang di telunjuk?” tanyaku. “Coba angkat telunjukmu,” ucapnya. Aku menurutinya saja. “Kenapa dengan jari telunjuk?” “Kalau seperti itu, tandanya angka berapa?” tanya Romi padaku. Bukannya menjelaskan, dia malah main tebak-tebakan receh. “Satulah, anak sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) juga tahu kalau ini menunjukkan satu,” jawabku sedikit kesal. Karena dia terlalu terbelit-belit dalam menjelaskan. “Seperti itulah cintaku, hanya satu untuk kamu. Hanya akan ada satu wanita dalam hidupku, yaitu kamu,” jelasnya padaku. Mendengar itu aku menjadi tersipu. “Ooooo,” ucapku. “Ayo makan!” ucapnya. Malam yang begitu romantis. Makan malam di samping kolam renang, dengan cahaya lilin di meja makan. Udara yang begitu sejuk menambah romantisnya suasana. Gemerlapan cahaya lampu di bawah sana, membuat semakin sempurnanya acara makan malam itu. Ulang tahun yang tidak akan pernah aku lupakan. *** Malam itu kami langsung tertidur pulas. Aku bahkan mendengarnya sedikit mendengkur malam itu. Mungkin dia merasa sangat capek. Tapi, aku tiba-tiba merasakan ada sebuah sentuhan di pahaku. Ada tangan yang menyibak baju tidur yang aku kenakan. Aku mencoba membuka mataku. Ternyata Romi sudah terbangun. “Ada apa?” tanyaku padanya. “Terbangun,” jawabnya. “Ya sudah, ayo tidur lagi,” jawabku. “Sudah terlanjur bangun,” ucapnya. “Ya tinggal merem lagi kan?” ucapku. “Dia enggak mau tidur lagi,” ucapnya sambil menunjuk ke bawah. Aku tergelak saat melihat ada sesuatu yang tegak di bawah sana. “Mau ya?” pintanya. Kami pun melakukannya lagi. Menikmati malam dengan saling menghangatkan. Mencumbu satu sama lain. Hingga kami mencapai kenikmatan bersama-sama. Kemudian kami pun tertidur pulas sampai pagi tiba. *** Pagi itu, Romi sudah terlebih dulu bangun. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Mencarinya ke sekeliling. Tapi aku tidak melihatnya. Kemudian aku putuskan untuk turun dari ranjang. Aku berjalan ke kamar mandi. Bersiap mandi dan membersihkan sisa-sisa semalam. Setelah mandi aku berniat mencarinya ke luar halaman. Tapi, ternyata dia sudah berada di kamar. “Dari mana?” tanyaku padanya. “Enggak dari mana-mana kok,” jawabnya. “Aku tadi mencari kamu, enggak ada,” ucapku. “Oh, tadi aku ke depan. Mencari bibi yang masak itu. Tapi belum datang, aku sudah lapar soalnya,” jawabnya. “Oh, memangnya bahannya sudah ada di lemari es? Apa perlu belanja dulu?” tanyaku memastikan. “Kayaknya di lemari es sudah ada bahannya,” jawabnya. “Ya sudah. Aku saja yang masak,” jawabku. . “Kamu bisa masak? Pertama kali masak saja sudah sepedas itu,” sindirnya. “Ya, aku mana tahu kalau kamu enggak suka pedas,” jawabku. Kami berjalan menuju dapur. Dia mengekor di belakangku. Baru saja aku membuka lemari es. Dia sudah mulai memelukku dari belakang. “Mau masak enggak nih?” sindirku. “Mau, aku sudah sangat lapar,” jawabnya. Dia pun langsung melepaskan pelukannya. “Duduk di sana, jangan ganggu!” perintahku padanya. Dia pun menurut, dia langsung duduk setelah mendengar perintahku. Terkadang merasa lucu. Dia kan lebih tua dari aku. Tapi, setiap kali aku bicara, dia pasti langsung menurut. Apa ini, yang dinamakan manisnya pernikahan. Aku menikmati semuanya. Setiap detik bersamanya. Semoga ini adalah sebuah hubungan yang tidak akan pernah berakhir. Aku memeriksa isi lemari es. Di sana ada beberapa sayur dan juga buah. Tapi tidak ada lauknya. “Cuma sayur sama buah, menunggu Bibi saja ya?” ucapku. “Eh, masa enggak ada lauknya? Tempe? Tahu?” Romi tidak percaya padaku. Dia mengecek sendiri isi lemari es-nya. “Dibilangi enggak percaya,” sindirku. “Iya deh, menunggu Bibi saja,” jawabnya. Tidak lama kemudian Bibi datang dengan membawa kantong keresek besar. Dia mengeluarkan tiga kotak besar. Satu kotak berisi steak, satu kotak lagi nasi, dan satu kotak lagi sayuran. “Sepuntene, kulo tasik pesen niki. Dadose lami,” (Maf saya tadi masih pesan ini, jadinya lama) ucap Bibi pada kami. Sepertinya dia merasa bersalah karena datang terlambat. Sampai-sampai kami sudah berada di dapur untuk menunggu masakan dihidangkan. “Nggeh, boten nopo-nopo,” (Iya, tidak apa-apa) jawab Romi. Setelah menyiapkan semuanya, Bibi pun pamit untuk membersihkan ruangan. Kami hanya mengangguk padanya, saat dia meminta izin. Kami menyantap steak dengan nasi hangat. Biasalah, lidah orang Indonesia. Makan steik juga masih dengan nasi. Enggak afdal rasanya kalau makan belum dengan nasi. Bahkan dulu, waktu aku masih kecil, aku sering makan mi instan dengan nasi. Dobel karbohidrat, makanya aku enggak bisa montok. Kurang protein dan juga serat. Romi memotongkan daging steik untukku. Kemudian dia menaruhnya di piringku. Aku hanya menerimanya dengan tersenyum. “Ini kalau di kampung aku, namanya empal,” ucapku memecah kesunyian. “Kok empal? Ini steik sayang,” jawabnya. “Kalau di rumah sih, daging di masak apa saja namanya empal. Kami terbiasa menyebutnya seperti itu,” jawabku. Dia tergelak mendengarnya. “Jadi kalau misal di masak rendang, juga di sebut empal?” tanya dia. “Iya, pokoknya segala masakan dari daging aku menyebutnya empal. Biar gampang,” jawabku. “Kayaknya aku harus membelikanmu buku resep nih, biar tahu nama-nama masakan,” ledeknya padaku. Menyebalkan memang. Aku cemberut mendengarnya. Dia pun semakin puas tertawa melihat ekspresi kesalku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD