Perut Container!

1126 Words
14 "Filmnya sedih banget. Hiks," ucapku sambil menyusut air terjun dari sudut mata. Aa' ganteng memandangiku dengan alis menyatu bak tiang listrik yang roboh. "Sedih dari mana, Sayang? Ini kan film kartun," sahutnya. "Pokoknya sedih! Ini buktinya. Aku sampai nangis!" jawabku tidak mau kalah. Aa' tampan hanya mampu menghela napas panjang dan menahannya sampai pipi menggembung. Dduuuttttt. "Lega!" ujarnya seraya tersenyum bangga dengan suara kentut yang dua oktaf seperlima itu. Aku memutar bola mata dan menutup hidung dengan tangan kiri. Tangan kananku menunjuk ke belakang tubuhnya yang montok. Aa' handsome berbalik dan terperangah saat melihat emak-emak genk bergelimpangan di lantai marmer. Mereka pasti terpesona setelah menghirup parfum alami Aa' kasepku ini. "Ayo, Cinta. Kita pergi dari sini!" ajaknya sambil menarik lenganku. Kami berjalan tergesa sembari terus tertawa. Menuruni anak tangga hingga tiba di lantai bawah rumah. Papa dan Pak Tarno tampak serius bermain catur di meja makan. Isah sedang serius mendengarkan ocehan Mama sambil mengunyah emping manis pedas di atas meja pantry. Aa' Andre yang bahenol membawaku ke ruangan gym. Dia memintaku untuk mencoba mengangkat beban di alat kebugaran. "Nggak ahh. Ntar berotot," tolakku halus. "Nggak bakal berotot. Ngencangin doang," ujarnya lembut. "Aa' aja deh yang coba. Sekalian ngempesin itu koper," tunjukku ke perutnya. "Enak aja koper! Ini container!" *** Malam itu kami tidur beramai-ramai di kamar utama. Tadinya cuma aku sama Mama yang mau nyoba tidur di sini, tapi emak-emak geragas itu tak peduli dengan berbagai penolakanku. Mereka dengan santainya mengatur diri di atas kasur extra large dan langsung tidur berjamaah. Dengan terpaksa aku merebahkan diri di atas sofa. Mencoba untuk tidur tapi tidak bisa. Terganggu banget dengan paduan suara dengkuran emak-emak itu. Akhirnya kuputuskan untuk keluar dari kamar. Melirik sebentar ke jam besar di dekat tangga yang menunjukkan pukul 11.30 malam waktu Zimbabwe. Aku menuruni anak tangga sambil melambaikan tangan dengan anggun bak putri bangsawan. Mendekati lantai satu aku melihat sesuatu yang mencurigakan. Pintu kulkas besar dalam kondisi terbuka. Aku berjinjit menuju pantry. Berdiri di belakang sesosok kuda nil yang sedang berjongkok di depan kulkas. "Katanya diet!" ledekku. Brrruuukkk! Aa' kesayangan terkejut dan langsung menutup pintu kulkas. Dia berdiri dan berbalik ke arahku dengan menyembunyikan tangan di belakang tubuhnya. "Ngumpetin apaan?" tanyaku sambil memajukan tubuh, mencoba mengintip dari balik pundaknya yang lebar. "Hmm ... percuma ditutupin, A'. Itu mulut belepotan cream," ujarku sembari menyolek ujung bibirnya. "Tau aja! Ini ... aaaaa," dia menyuapiku dengan sepotong kue yang berbentuk bulat segitiga. "Enak kan?" Aku mengangguk. Aa' langsung berbalik lagi dan membuka pintu kulkas. Menarik satu kotak berisi kue dan tak lupa menutup pintu kulkas dengan bokongnya. Kami berjinjit menuju teras belakang. Belok kanan dan masuk ke perpustakaan. Duduk bersila di atas lantai dan saling menyuapi kue ke mulut pasangan. Sesekali kami tertawa melihat wajah yang belepotan di pantulan cermin di tempat gym yang bersebelahan dengan perpustakaan. "Udah ahh. Kenyang," ujarku sambil mengelap bibir dengan gorden yang menjuntai. "Mau minum?" tanyanya sembari menjilati jari yang belepotan cream. Aku mengangguk. Aa' berdiri dan menuju kulkas mini di ujung ruangan. Kemudian kembali lagi dengan membawa satu galon mini air putih keunguan. Aku meminum langsung dari bibir galon. Setelahnya dia pun melakukan hal yang sama. Bibir kami bersentuhan tanpa sengaja. (Baca : di galon) Setelahnya, kami menyandarkan diri ke rak buku yang hanya seperempat terisi. Tanganku bergerak menyusuri buku demi buku. Tertegun saat menyadari buku bacaan Aa' ternyata kelas berat. "Kamu suka baca buku?" tanya pria penyayang hewan tersebut. "Suka, tapi lebih demen yang genre action atau horror. Yang romance juga. Komedi juga suka," jawabku sambil merapikan buku yang tumpang tindih dan menyusunnya sesuai judul dan nomor episode. Detektif Kindaichi. Detektif Conan. Kung Fu Boy. Beradu kekuatan dengan Donald Bebek, Asterix dan Obelix, Tin Tin dan kawan-kawan. "Aska," panggilnya merdu. Aku menoleh. Tangannya menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Aku beringsut mendekat dan duduk dengan malu-malu. Tidak berani melihat wajahnya, takut ketahuan kalo aku lagi shy shy cat. Dia menempelkan kepala di pundak kiri. Tangan kanannya meraih jemari kiriku dan menggenggamnya erat. Perlahan napasnya mulai teratur pertanda dia sudah tertidur. Kebiasaan! *** "Satu ... dua ... satu ... dua ... tiga empat lima enam. Ayo, semangat teman-teman!" Teriakan Mama yang dahsyat menyaingi bunyi musik yang menghentak. Dentuman volume bass yang terlalu besar jadi merusak harmoni lagu. Aku masih duduk bersandar di rak buku. Masih belum berani bergerak, takut Aa' bakal menggelinding ke bawah. Saat Isah melongok ke perpustakaan, aku segera melambaikan tangan memanggilnya. "Nyonya, manggil aku?" tanyanya sembari mendekat. What? Nyonya? Isshhh! Dikata ibu-ibu! "Jangan panggil nyonya atuh. Panggil Teteh atau Kakak aja," sahutku. "Iya, deh. Teteh manggil aku?" "Ho oh. Tolong ambilin bantal dong. Pegel nih." Isah mengangguk dan melesat dengan cepat ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa dua buah bantal, bed cover, selimut, kasur lipat, tenda instant dan lentera. Isah menyusun semuanya dengan rapi, kemudian membantuku memindahkan kepala Aa' ke atas bantal. Pria kesayangan masih tertidur pulas. Tidak terganggu sama sekali dengan suara berisik di dekat kolam renang. Aku merebahkan diri di atas lantai. Menggeliat ke kiri dan ke kanan. Tak lupa senam lantai gaya ulat bulu lagi jalan. Kemudian aku beranjak keluar perpustakaan bersama Isah. "Aska, baju ganti kamu ada di tas warna merah keabuan di dalam rak lemari nomor tiga pintu keempat dari kanani!" teriak Mama dalam satu tarikan napas. Aku mengangguk sambil membentuk tanda oke dengan jari. Isah dan aku meneruskan langkah kaki seirama dan senada dengan house music yang sedang diputar. Kemudian kami berpisah. Dia nyangkut di dapur, sedangkan aku naik ke lantai dua. Kamar utama sudah rapi. Tidak ada bekas adu ngorok semalam. Gorden juga sudah disibak. Jendela terbuka lebar. Aku melongokkan kepala keluar jendela. Dari sini terlihat jelas suasana halaman belakang yang beraneka warna. Sesuai warna baju yang dikenakan peserta senam. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Kemudian aku beranjak memasuki walk in the closet. Membuka pintu lemari keempat dari kanan dan menarik tas keluar. Mengaduk-aduk isinya dan hanya menemukan pakaian milik Mama. Aduh, Mama, kumaha yeuh? Aku duduk di lantai sambil melihat sekeliling. Teringat deretan pakaian khusus wanita di pintu kedua. Segera kubuka dan tertegun. Isinya telah bertambah dengan dua buah gaun yang membuatku mengernyitkan dahi. Daster lagi, daster lagi. Tanganku meraih satu set pakaian dalam berwarna hijau keunguan serta daster warna onde-onde lumut. (Readers nggak boleh protes) Bersalto menuju kamar mandi. Terpana saat melihat bak jacuzzi sudah terisi penuh air lengkap dengan gayung. Beberapa menit kemudian aku sudah tampil rapi. Warna daster ini sepertinya cocok dengan warna kulitku yang putih langsat. Aku beralih ke meja rias dan mulai berdandan dengan make up yang sudah tersedia. "Sayang," panggil Aa' dari ambang pintu. Dia berjalan dengan gagah, mendekatiku yang masih sibuk dengan lipstik. "Nggak usah menor-menor. Papi lebih suka kalo Mami tampil alami," ujarnya sambil meletakkan kedua tangan di pundakku. Papi? Mami? (Tertawa keras)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD