Tiga

1955 Words
Teratai Gayatri Ragendra adalah identitas baru yang saat ini harus disandang oleh Adhira Teratai Kusuma. Usianya saat ini lebih muda 11 tahun dari dirinya yang sebelumnya. Menurut informasi dari Galuh, saat ini Teratai memulai hidup barunya di sebuah kerajaan di nusantara yang bernama Kerajaan Akhilendra. Tak pernah muncul sedikit pun dalam mimpi maupun benaknya bahwa ia akan menjelajah waktu ke sebuah kerajaan kuno di abad ke lima belas. “Non, gadis ini bernama Lidya. Dia juga adalah pelayan Nona. Aku sudah memberitahukan padanya perihal Nona. Dan kami janji akan merahasiakannya.” Galuh memperkenalkan seorang gadis muda yang baru saja masuk ke dalam gubuk. “Baiklah. Kalian akan tetap menjadi pelayanku. Aku hanya meminta agar kalian selalu setia kepadaku.” Perkataan Teratai dibalas dengan anggukan dari kedua gadis yang masih berusia empat belas tahun itu. “Non, Paduka Raja memerintahkan kami untuk membawa Nona menemui Raja,” lapor Lidya. “Baiklah, tapi aku ingin mandi terlebih dahulu,” balas Teratai. Galuh dan Lidya pun membawa Teratai ke kolam pemandian yang sudah berisi air dan beberapa jenis bunga yang aromanya sangat memanjakan hidung. Setelah puas berendam, Teratai mengenakan pakaian yang diberikan oleh pelayan. Pakaian tersebut berbentuk seperti kimono dengan tali yang melingkar di pinggang. Ada beberapa sulaman berbentuk bunga di bagian lengan dan dadanya. Bahan kain yang terbuat dari satin berwarna biru muda menambah pancaran kecantikan di wajah Teratai. Galuh dan Lidya membawa Teratai ke kamarnya. Rasa kagum muncul di hati Teratai. Kamarnya saat ini sangat besar dengan banyak ornamen-ornamen ukiran. Kedua pelayannya membantu Teratai mengeringkan dan menyisir rambutnya. Teratai yang terbiasa hidup mandiri sebenarnya merasa risih. Tapi apa mau dikata, dia juga kerepotan kalau harus melakukannya sendiri. “Aku ingin melihat wajahku. Aku butuh cermin. Mengapa tak ada cermin di kamar sebesar ini?” tanya Teratai dengan heran. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling kamar. “Maaf Non, tapi di kamar ini memang tidak diperbolehkan ada cermin,” jawab Galuh. Kepalanya menunduk takut akan dimarahi Teratai. “Loh, memangnya kenapa?” balas Teratai penasaran. ”Cermin hanya boleh ada di kamar Ratu Divya dan Putri Malika. Hanya mereka yang boleh mengetahui kecantikan wajahnya, Nona.” Jawaban dari Lidya membuat Teratai mengernyitkan dahinya. “Apa-apaan ini? Ini namanya ketidakadilan,” ucap Teratai dengan setengah berteriak. “Tapi ini peraturan ini sudah berlangsung sejak dulu dan tidak ada yang berani protes, Non.” Galuh menjawab dengan lirih. “Bawa aku ke kamarnya Malika. Aku memang hanya putri dari seorang selir. Tapi mereka tidak boleh memperlakukanku dengan tidak adil.” Satu tekad terbersit dalam hati Teratai. Dia akan membalas ketidakadilan yang pernah dialami oleh sang pemilik tubuhnya sekarang. “Baik, Non,” jawab Galuh dan Lidya bersamaan. Mereka membawa Teratai ke kamar Malika. “Hei, kau sudah sembuh?” tanya Malika. “Ya. Kenapa, kau tidak suka?” Teratai melangkah masuk ke dalam kamar Malika yang tentunya lebih mewah dari kamarnya. “Berikan aku cerminmu!” perintah Teratai. “Mengapa? Supaya kau bisa melihat wajah jelekmu itu?” ledek Malika. “Tak usah banyak tanya. Aku hanya mau bercermin,” jawab Teratai. Ditatapnya kedua mata Malika dalam-dalam. Malika terkesiap, tak dilihatnya Teratai yang dulu selalu patuh padanya. “Kau pikir kau pantas untuk bercermin? Nanti cerminku akan retak jika ada pantulan wajahmu di sana,” ejek Malika. “Berikan atau aku ambil dengan paksa!” titah Teratai lagi. “Pelayan!” teriak Malika. Seorang pelayan wanita yang berdiri di depan pintu kamarnya segera menghampiri. “Ada apa, Tuan Putri?” tanya pelayan tersebut tanpa berani menatap wajah Malika. “Usir anak selir ini dari kamarku. Cihh ... Menjijikkan,” decih Malika. “Nona harap keluar dari kamar ini!” Sang pelayan menarik tangan Teratai menuju ke arah pintu. Teratai menghempaskan tangan pelayan tersebut dan kembali menghadap Malika. “Aku bilang aku mau cerminmu. Serahkan atau kuhabisi kau!” ancam Teratai. Malika mengangkat tangan kanannya dengan cepat dan ingin menampar Teratai. Namun Teratai menangkap tangan tersebut dan menggenggamnya dengan erat. Malika meringis mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Teratai namun tak bisa. “Arggghhh, lepaskan tanganku!” gertak Malika. Pelayan kembali masuk dan mencoba menarik tangan Teratai agar melepaskan genggamannya. “Sekali lagi kau berani mencoba menamparku, kuhancurkan wajahmu itu.” Teratai menghempaskan tangan Malika dengan keras. “Baiklah, kau bisa mendapatkan cermin itu. Tapi kita bertaruh,” tantang Malika. “Aku terima tantanganmu itu. Sebutkan syaratnya,” jawab Teratai menerima tantangan dari saudara tirinya itu. “Jika kau berhasil mengalahkan pelayanku, maka kau boleh mencakar wajahku dan memiliki cerminku. Tapi jika kau gagal, maka sebaliknya. Kau tak akan mendapatkan cermin itu dan aku akan merusak wajahmu sesuka hatiku.” “Ya, kuterima tantanganmu.” Pelayan yang tadi menarik lengan Teratai kembali masuk ke kamar dan menyerang Teratai dengan pukulannya. Tentu saja kemampuannya masih jauh di bawah Teratai. Tak mau berlama-lama, Teratai langsung mengangkat ujung jubahnya dan menendang perut pelayan tersebut. Hanya dalam satu kali tendangan, sang pelayan jatuh terhuyung-huyung ke lantai. Teratai masih tegak berdiri dan menunggu pelayan tersebut bangkit. Namun bukannya bangkit, pelayan tersebut malah pingsan. Hidung dan mulutnya mengeluarkan darah segar. "Payah.” Teratai mengalihkan pandangannya ke Malika yang masih terbengong-bengong melihat pelayannya tak mampu memberikan perlawanan. “Hei, Malika. Kenapa kau diam saja? Ambil cerminmu dan serahkan kepadaku!” perintah Teratai. Malika segera mundur dan berbalik menghampiri meja riasnya. Sebuah cermin bulat dengan ukiran bunga berwarna keemasan di pinggirannya ia serahkan kepada Teratai. Teratai menerima cermin itu dan menyerahkannya kepada Galuh yang masih menunggu di dalam kamar Teratai. Teratai mendekatkan diri ke tubuh saudara tirinya itu. Dielusnya cincin bermata bunga teratai yang melingkar di jari telunjuknya. “Sekarang aku harus memenuhi syarat yang kau buat,” ujarnya sambil terkekeh. “Kau boleh ambil cermin itu, tapi tolong jangan lukai wajahku.” Malika menutup kedua pipinya dengan tangan mulusnya. “Tapi itu bagian dari perjanjian kita, Adikku.” Teratai menarik tangan kiri Malika dan menggoreskan mata cincinnya yang memang agak tajam ke wajah Malika. Beberapa goresan muncul di sana. Tidak dalam, tetapi tetap membuat Malika meringis kesakitan. “Kau??? Akan kulaporkan kau ke ayahku!” gertak Malika. Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya. “Ayahmu? Apa kau lupa kalau dia ayahku juga?” ledek Teratai. “Tapi dia pasti akan menghukummu,” ujar Malika. “Dan aku akan melawan. Mulai hari ini jangan coba-coba cari masalah denganku.” Teratai meninggalkan kamar Malika diikuti Galuh dan Lidya. - - - Di kamar Teratai Teratai mengamati wajahnya di cermin yang baru saja dirampasnya dari Malika. Cantik, jauh lebih cantik daripada wajahnya yang dulu. Pantas saja Malika tidak mau memberikan cermin itu, karena Teratai jauh lebih cantik darinya. Teratai mengelus wajahnya yang sangat mulus, bahkan dulu wajahnya tak bisa semulus ini walaupun tiap pagi dan malam ia mengolesinya dengan serum dan krim kecantikan. Wajah yang berbentuk hati, dagu yang lancip, hidung yang mancung, bibir yang kecil tapi penuh, sepasang mata yang bulat lengkap dengan bulu mata yang lentik. Awalnya Teratai sempat kecewa karena harus terlahir kembali di tubuh Teratai yang dianggap lemah. Namun sekarang ia bersyukur karena memiliki wajah dengan kecantikan jauh di atas rata-rata. “Non Tera, Paduka Raja dan Ratu Divya ingin bertemu,” lapor Galuh yang berjalan tergopoh-gopoh. “Ya, tunggu sebentar. Aku masih mau mengagumi kecantikanku ini,” jawab Teratai malas. “Tapi titah Raja adalah yang nomor satu, Nona.” “Ya, aku akan segera ke sana.” Teratai meletakkan cermin di atas meja rias. “Tapi, Non. Bagaimana kalau Nona dihukum lagi?” tanya Galuh. “Mereka tak akan bisa menghukumku lagi.” Teratai bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan kamarnya. “Non, tapi Nona ‘kan masih sakit. Saya khawatir Nona nanti kenapa-kenapa,” lirih Galuh. Ia sudah menjadi saksi betapa kejamnya Raja Ragendra jika menghukum Teratai. “Sudah, kau tenang saja.” Teratai mengibaskan lengannya, “Ayo ikut aku. Tunjukkan di ruangan mana mereka menungguku!” Teratai berjalan membiarkan Galuh di depannya karena dia tidak tahu sama sekali mengenai ruangan-ruangan yang ada dalam istana yang megah itu. “Paduka Raja, Nona Teratai sudah datang. Dia menunggu di luar,” lapor seorang prajurit berjubah coklat. “Suruh dia masuk!” perintah Raja Nagendra. Ia duduk berdampingan dengan Ratu Divya di singgasana berlapis emas. Tak lama kemudian Teratai masuk bersama Galuh. Tak seperti Galuh yang selalu menunduk, mata Teratai menatap ayah dan ibu tirinya tanpa gentar. “Ada apa Ayah dan Ibu memanggil saya?” tanya Teratai. Raja dan Ratu yang mendengar nada suara Teratai merasa terkejut. Tak pernah mereka mendengar nada suara Teratai yang seperti ini. Bahkan tatapannya seperti tatapan orang lain. “Apa yang kau lakukan kepada putriku?” hardik Raja Nagendra. “Ohh, masalah itu rupanya. Dia sendiri yang memintaku melakukannya,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Lagipula apakah putrimu hanya Malika, Ayah? Bukankah aku juga putrimu?” lanjut Teratai membuat sang raja dan ratu terperangah. “Kau sudah berani merebut cerminnya. Tidakkah kau tahu bahwa di seluruh kerajaan ini hanya aku dan putriku yang boleh memiliki cermin?” tanya Ratu Divya. “Aturan yang aneh,” kekeh Teratai. “Lagipula aku sudah berkesempatan untuk bercermin. Ternyata wajahku jauh lebih cantik daripada kalian.” “Apa kau bilang? Berani-beraninya kau mencemoohku dan putriku. Dan karena ulahmu itu wajah putriku --” “Jadi lebih jelek?” potong Teratai. “Hahaha ...” tawa Teratai terdengar membahana di dalam istana. “Pengawal!” teriak Raja Ragendra. Dua orang pengawal masuk lengkap dengan pedang di tangan masing-masing. “Bawa dia! Kurung dia di penjara! Dasar anak tak tahu diuntung.” Raja Ragendra bangkit dari kursinya. Dua orang pengawal menarik lengan Teratai. Tak diduga, Teratai menghempaskan lengannya dan dengan cepat memukul wajah salah satu pengawal. Tak siap, pengawal tersebut tak dapat mengelak. Teratai kembali memukul wajah pengawal tersebut dan merobek wajahnya dengan mata cinin di jari telunjuknya. Beberapa luka sobekan muncul di wajah pengawal tersebut. Kali ini lukanya dalam, tidak seperti luka di wajah Malika. Pengawal yang lainnya mencoba menyerang Teratai tetapi ia terhuyung-huyung saat Teratai menendang tulang keringnya. Kesempatan ini digunakan Teratai untuk mengambil pedang yang terlepas dari tangan sang pengawal. Kemudian ia menghunus pedang tersebut ke lengan sang pengawal. Pengawal tersebut merintih kesakitan karena lengannya sudah robek. “Anda tidak akan bisa menghukum saya,” ucap Teratai kepada Raja Ragendra. “Aku tak segan-segan membunuh putri kesayanganmu itu,” ancam Teratai. Raja Ragendra turun dari singgasananya dan berjalan mendekati Teratai. “Siapa kau?” Raja Ragendra menangkup wajah kecil Teratai dengan satu tangan. Ia menatap wajah gadis itu dalam-dalam. Mencoba mencari jati diri sesungguhnya dari putrinya tersebut. “Aku putrimu. Atau apakah mungkin kalau aku adalah anak selingkuhan selirmu?” ledek Teratai. Ia melepaskan tangan sang ayah dari wajah cantiknya. “Kalau kau bukan putriku sudah pasti kau kuhabisi di dalam perut ibumu,” hardik Raja Ragendra. “Oh ya, putrimu itu kalah bertaruh denganku. Dan tentu saja aku harus menepati perjanjian yang sudah kami buat sebelum pertaruhan itu. Lagipula, aku hanya mencakar wajahnya dengan pelan. Kalian tak perlu khawatir. Dan tolong ajarkan putri kalian itu untuk bersikap sopan kepada kakaknya!” Teratai berbalik meninggalkan ayahnya yang masih terheran-heran dengan keberanian putrinya itu. “Galuh, kau tinggal di sini!” perintah raja. “Apa yang terjadi dengan nonamu itu?” tanya sang raja dengan penuh selidik. “Sa...saya tidak tahu, Paduka. Non Teratai mulai bersikap aneh semenjak sadar setelah hukuman pemukulan itu,” jelas Galuh yang masih menunduk. “Baiklah. Awasi dia terus. Jika ada hal-hal yang aneh tolong beritahukan kepada saya!” perintah sang raja yang kemudian dibalas anggukan cepat dari Galuh. Dengan cepat ia melangkah dari ruang itu setelah mendapatkan ijin dari raja. “Apa yang terjadi pada anak ini? Mengapa dia tiba-tiba menjadi keras kepala dan berani memberontak?” gumam sang raja pelan. Dalam diam ia berjalan meninggalkan ruangan diikuti Ratu Divya yang juga terkejut melihat perubahan pada diri Teratai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD