"Apa, pak?" tanya Vina ragu-ragu.
"Besok, kamu harus temani aku untuk pergi ke acara client kita. Pakailah pakaian yang rapi."
"Jam?" Vina memicingkan matanya. Menunggu jawaban dari Dion. Dia tidak bisa membagi waktunya secara tiba-tiba apalagi dirinya bekerja di dua tempat sekaligus.
"Jam 8 malam,"
"Maaf, pak! Saya tidak bisa. Saya kasih ada pekerjaan lain."
"Apa sebegitu pentingnya pekerjaan kamu dari pada perintah bos?" tanya Vina.
"Semuanya penting, pak! Saya juga harus bekerja sesuai jam. Jika saya telat saya juga harus membayar denda."
"Kamu bekerja dimana?" tanya Dion.
"Bapak, tidak perlu tahu, maaf!" Vina menundukkan pandangan matanya.
"Oke, baiklah! Kamu boleh pergi sekarang." Dion tidak mau memaksa Vina. Dia kembali fokus pada pekerjaannya.
Sementara Vina dia merasa sangat bersalah. Vina berjalan keluar dengan sangat hati-hati. Dalam hati dirinya tidak tenang jika menolak ajakan sang bos. Tapi, dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lagi.
Vina menghela napasnya. Dengan segera keluar dari ruangan itu. Kedua tangan menggenggam erat obat yang diberikan sang bos. Vina kembali ke tempat dia bekerja.
"Vina, gimana?" Sisil yang baru menyelesaikan pekerjaannya. Dia mendorong kursi duduk di samping Vina. Dia siap mendengarkan cerita apa saja dari Vina.
"Nih..." Vina memberikan kotak obat di atas meja Sisil. Seketika wanita itu memicingkan matanya bingung.
"Apa ini?" tanya Sisil.
"Bukanya kamu yang bilang pada bos jika aku sakit perut?" Vina beranjak duduk. Lalu menghela napasnya kasar.
Sisil tersenyum tipis. Dia sengaja melibatkan lirikan menggoda pada Vina.
"Cie... ada yang di perhatiin bos, nih?" Sisil mencolek lengan tangan Vina.
"Apaan, sih!" wajah Vina seketika memerah malu.
"Sudah, lupakan semuanya." kesal Vina. "Kenapa tadi kamu bilang aku sakit perut, jika aku tiba-tiba jawab tidak. Dia pasti marah padaku."
"Lagian, kamu dari tadi kemana saja? Bos mencarimu. Tapi, kamu tidak ada." Sisil menakutkan kedua alisnya.
"Bentar, jangan-jangan kamu pergi sama laki-laki tampan tadi? Kalian kemana? Apa itu pacar kamu? Cie... yang punya pacar baru, jangan lupa bayar pajak." goda Sisil.
"Bayar pajak?" Vina mengerutkan keningnya bingung.
"Pajak apa? Aku tidak punya kendaraan apapun." Vina mengerjapkan kedua matanya. Dia terlihat begitu polosnya.
"Sudah aku bilang. Jika dia pasti suka denganmu."
"Aaarrggg... Gak tahu, apa yang kamu bicarakan." kata Vina kesal.
"Astaga, naga... Vina, jangan terlalu polos. Kamu sudah dewasa, pasti tahu lah, mana laki-laki yang diam-diam perhatian. Meskipun dia suka marah-marah. Tapi, dia perhatian padamu." Sisil menjelaskan dengan penuh semangat. Dia ikut bangga jika sampai sahabatnya itu bisa dekat dengan bos.
Vina terdiam, dia memutar otaknya untuk berpikir sejenak. Sembari mengerutkan bibirnya beberapa detik. Seketika dia mulai teringat tentang Dion.
"Bentar!" Vina mengangkat tangannya sebahu.
"Kamu bilang pajak? Apa kamu pikir aku jadian dengan, bos?" teriak Vina. Sontak membuat karyawan lain menoleh ke arahnya dengan tatapan anehnya.
"Sssttt... pelankan suaramu." Sisil menepuk lengan Vina. Seketika kedua mata Vina berkeliling. Dia melayangkan senyuman terpaksa pada karyawan yang menatap ke arahnya.
"Maaf," kata Vina. Beberapa karyawan tidak menghiraukannya. Mereka kembali bekerja lagi.
Vina mendekatkan wajahnya. Menekankan nada suaranya. "Jangan pernah berpikir jika aku bisa suka dengan bos dingin dan kasar seperti dia."
Sisil menarik kedua ujung bibirnya ke bawah. Seolah tidak akan pernah percaya dengan apa yang dikatakan oleh Vina. "Aku yakin, jika kamu pasti akan jatuh cinta pada bos."
"Dia perhatian padamu. Buktinya dia memberikan obat saat aku bilang jika kamu sakit. Coba karyawan lain sakit. Dia pasti menyuruhnya untuk membeli sendiri."
"Terserah!" Vina mengangkat tangannya siku menempel di atas meja.
"Jika benar kamu dekat dengan, Bos. Kamu memang taruhan." gerutu Sisil. Sembari mengerutkan bibirnya.
"Aku tidak peduli dengan taruhan itu."
Setelah lama berbincang. Vina dan Sisil kembali bekerja. Dan, seperti biasanya. Beberapa pegawai ada yang memang sengaja untuk meminta Vina membantu pekerjaannya. Dan, itu tidak terjadi satu dua kali saja. Bahkan hampir dua hari sekali atau bahkan sehari sekali. Vina sudah biasa selama bekerja 2 bulan ini.
"Hey... sudah selesai belum?" tanya seorang wanita sembari berjarak pinggang di depan meja Vina.
Vina mengangkat kepalanya perlahan. Menatap ke arah wanita di depannya. "Belum!" jawabnya datar.
"Buruan, aku ingin kamu bantu aku fotocopy. Kamu bisa pergi ke ruang fotocopy. Kamu fotocopy sendiri atau meminta bantuan orang terserah kamu." gerutu wanita itu dengan nada sinisnya.
"Eh... kenapa kamu tidak jalan sendiri ke ruangan foto copy." saut Sisil tak kalah kesalnya. Saat temannya itu selalu saja di tindas pegawai lainya.
"Memangnya kenapa? Dia masih magang disini? Lagian dia anak baru. Jadi wajar saja dia masih butuh belajar banyak dari para atasannya."
"Kamu punya tangan punya kaki. Jalan sendiri, jangan meminta orang lain mengerjakan pekerjaanku." Sisil bangkit dari duduknya. Menatap tajam ke arah wanita di depannya.
"Kamu pegawai rendahan. Jangan ikut campur!" wanita itu tidak terima. Dia mendorong baju Sisil. Namun di tepi sangat kasar oleh Sisil.
"Aw--" rintih wanita itu.
"Sakit, ya!" goda Sisil.
Saat dua wanita sedang bertengkar. Vina masih saja diam Dia sibuk dengan pekerjaannya. Tanpa memperhatikan pertengkaran mereka berdua.
"Ehem..." suara daheman seorang wanita itu seketika mengejutkan semua wanita yang sedang bertengkar itu. Semua mata tertuju pada sumber suara. Seketika pandangan mata mereka tertunduk.
"Apa yang kalian lakukan? Bukanya bekerja malah bertengkar?" bentak sang bos.
"Lisa, lebih baik kamu pergi. Daripada buat keributan disini." pinta Vina. Dia memberikan beberapa lembaran yang sudah dia kerjakan sebelumnya pada Lisa.
"Itu apa?" tanya Dion.
"Pekerjaan, saya!" jawab datar Vina.
"Ya, sudah! Kalian kembali bekerja. Jangan bertengkar disini." pinta Dion.
"Ba-baik, pak!" Lisa mengambil kasar beberapa lembaran di tangan Vina. Lalu memalingkan wajahnya acuh. Dan, segera pergi dari sana. Sebelum kena oleh sang bos. Dan, Dion juga tanpa sepatah katapun pada Vina. Dia hanya melirik sekilas lalu pergi begitu saja. Membuat Sisil semakin penasaran. Apa benar fillingnya. Jika bos suka dengan Vina.
Sementara Vina, dia juga terlihat datar. Bahkan fokus selaku pada layar laptop miliknya.
Sisil kembali duduk, dia melirik ke arah Vina. "Kamu gak pulang? Bukannya nanti kamu juga masih bekerja."
"Iya, ini sebentar lagi selesai."
"Apa kamu langsung ke tempat kerja satunya?"
Vina terdiam sesaat. Dia mengangkat tangan kanannya. Melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukan pukul 5 sore.
"Aku bekerja jam 8 malam. Aku pulang istirahat dulu."
"Ya, sudah! Buruan, kamu pasti lelah hari ini. Tugasmu begitu banyak," ucap Sisil. Dia terus memaksa Vina untuk selesai bekerja.
**
Karin jam menunjukan pukul 6 sore. Setelah selesai semua pekerjaannya. Vina memutuskan untuk segera pulang. Bahkan tanpa beli makanan atau apapun. Dia langsung menuju ke rumah. Dan, kini tubuhnya begitu santainya berbaring di atas tempat tidurnya.
Beberapa detik kemudian. Kedua mata itu perlahan mulai tertutup. Vina tanpa sadar ada sosok yang memperhatikannya dari atas balkon kamar yang memang tidak tertutup gorden.
Laki-laki itu terus memandangi kamar Vina, seolah tidak mau beranjak dari sana. Sembari menikmati minuman hangat duduk di atas balkon kamarnya. Pandangan menghadap ke kamar Vina. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu.