Menepati Janji

1351 Words
Rayya sudah berada di lobbi gedung milik orang tua Dimas. Janjinya untuk menemui lelaki itu di kantornya, ia penuhi sesaat sebelum jam makan siang. Bukannya ia sengaja datang pada jam itu, ramainya toko dan banyaknya pesanan beberapa pelanggan membuat Rayya harus membantu para karyawannya terlebih dahulu. Gadis itu berjalan menghampiri meja petugas depan. Tampak dua orang wanita cantik dengan pakaian kantornya yang tampak elegan, memandang heran padanya dari jarak yang cukup jauh. Hal itu membuat Rayya sedikit mengerutkan kening. Feeling-nya yang mengatakan jika dirinya akan menjadi tontonan bagi sebagian orang di dalam gedung tersebut, sepertinya menjadi kenyataan. Bukanlah sebuah berita rahasia di kalangan pada karyawan PT. Gemilang Sentosa, peristiwa kecelakaan yang melibatkan Dimas sang putra pimpinan perusahaan, bersama dengan kekasihnya, Ria. Peristiwa yang mengakibatkan calon istri sang pewaris tahta itu meninggal di tempat, menjadi topik selama lebih dari dua pekan di dalam ruang lingkup perusahaan. Rayya yang memiliki wajah persis dengan Ria, sebab status kembar yang keduanya sandang, pastinya menjadi perhatian bagi sebagian karyawan yang mengenal Ria ketika masih hidup. "Selamat siang, Mbak," sapa Rayya ketika ia sudah berdiri di depan meja resepsionis. "S—selamat siang. Ehm, ada yang bisa kami bantu, Mbak?" tanya salah seorang karyawan sedikit terbata. "Iya, saya Rayya. Hari ini ada janji untuk bertemu dengan Bapak Dimas, direktur di perusahaan ini. Apakah saya bisa bertemu dengan beliau sekarang?" tanya Rayya dengan senyum yang tak pernah lepas mengembang di bibirnya. "Ah, eh. Baik, sebentar. Saya akan coba menghubungi sekretarisnya dulu kalau begitu." Petugas resepsionis itu mengangkat gagang telepon yang ada di atas mejanya. "Hallo, Mbak Mia. Maaf, di bawah ada perempuan bernama Rayya yang katanya sudah ada janji dengan Pak Dimas hari ini untuk bertemu. Apa boleh menemui sekarang?" [...] "Ah, baik. Akan saya sampaikan. Terima kasih, Mbak Mia." Wanita itu pun menaruh kembali gagang telepon ke tempatnya semula. Kemudian menatap ke arah Rayya dengan senyum ramah yang ia tunjukkan kepada gadis di depannya. "Maaf Mbak Rayya, Bapak Dimas masih ada meeting saat ini. Informasi dari sekretarisnya mengatakan jika meeting sebentar lagi selesai. Untuk itu, Mbak bisa tunggu dulu di lobbi sana," ujar petugas wanita itu sembari menunjuk area lobbi dengan beberapa sofa dan meja di sudut ruangan. "Nanti akan dihubungi jika Pak Dimas sudah keluar dari ruang meeting," lanjutnya lagi. "Ah, iya, baik. Terima kasih, yah, Mbak Putri atas bantuannya. Saya akan menunggu di sana kalau begitu." Rayya berkata dengan senyum yang masih bertahan, lalu kemudian beranjak meninggalkan area meja depan. Namun, baru saja ia berjalan satu langkah, terdengar wanita itu memanggil namanya. "Mbak Rayya, sebentar!" Panggilan itu membuat Rayya menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap ke arah petugas wanita tadi. "Iya, Mbak Putri, ada apa?" Terlihat wanita itu sedikit ragu dan bahkan kebingungan. Entah apa yang saat ini tengah dipikirkannya, sehingga mau tak mau membuat Rayya menautkan kedua alisnya. "Mbak Putri?" "E—eh, iya. Ehm, maaf kalau boleh tau apakah Mbak Rayya ini ada hubungan keluarga dengan salah seorang karyawan yang dulu pernah bekerja di sini?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. "Ria adalah saudara kembar saya." Rayya tahu pasti jika kakak kembarnya itulah yang dimaksud oleh karyawan bernama Putri tersebut. Seketika wajah itu berubah. Tak lagi bingung seperti sebelumnya Rayya lihat. "Oh, benar ternyata dugaan saya. Eh, kenalkan saya Putri, karyawan bagian resepsionis." Wanita itu mengulurkan tangannya dan kemudian berjabat tangan dengan Rayya. "Rayya." "Saya adalah salah satu teman dekat Ria. Kami berdua memang akrab selama di kantor saja, ya ... kamu tahu kalau saudara kamu itu adalah kekasih Pak Dimas, jadi kami tidak terlalu akrab jika sedang berada di luar." "Ya, saya paham." Untung alasan itu segera Putri ungkapkan, jika tidak mungkin Rayya akan menatap curiga wanita di depannya itu karena selama ia tinggal bersama Ria, belum pernah ada teman kantor yang datang ke rumah, walau hanya sekedar main saja. "Putri!" Seorang petugas resepsionis yang lain memanggil Putri, membuat wanita itu mohon diri untuk kembali bekerja, dan meminta maaf kepada Rayya karena tidak bisa menemaninya menunggu selama duduk di sofa lobbi. Gadis itu pun kembali melanjutkan langkah kakinya menuju sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa empuk tersebut. Menunggu hingga meeting Dimas selesai, Rayya memilih untuk berselancar di dunia maya. Memeriksa notif pesan sosial media miliknya, apakah ada pesan yang masuk di luar aplikasi pesan si hijau. Begitu serius menatap layar terang di tangannya, fokus Rayya tiba-tiba terganggu dengan kehadiran suara seorang wanita yang berkata agak keras pada teman Putri yang sedang berada di meja depan. "Maaf, Mbak Niken, Bapak Dimas belum selesai meeting. Setidaknya itu adalah informasi yang kami dapatkan tadi sesaat sebelum Mbak Niken datang." "Jangan bohong, yah, kamu. Saya tahu hari ini tidak ada jadwal Dimas meeting. Bagaimana kalian bisa berkata demikian?" Rayya menggelengkan kepalanya. Begitu ia melihat ke arah asal suara, dilihatnya seorang wanita dengan penampilan formal seperti para pegawai kantoran pada umumnya dengan tas kulit wanita yang ada di tangannya. Tas wanita yang Rayya taksir berharga di atas 10 juta, sepertinya akan pantas di genggam dan terlihat elegan jika bukan wanita itu yang memilikinya. Jujur saja Rayya kesal melihat sikap wanita itu yang tidak tahu etika dan sopan santun. Penampilannya yang seharusnya santun dan menampilkan seorang wanita berpendidikan, ternyata bertingkah minus pada kenyataannya. "Siapa sebenarnya wanita itu?" tanya Rayya dalam hati. Kembali pada perdebatan keduanya, kini sang petugas resepsionis sudah ditemani oleh Putri yang baru tiba entah dari mana. Rayya masih memperhatikan adegan seru di depannya. Ingin ia membantu dua karyawan yang sedang menjalankan tugasnya itu untuk melabrak wanita tersebut. Tapi, siapakah dirinya, yang kedatangannya di gedung itu saja masih belum jelas akhirnya. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak Niken?" tanya Putri dengan pandangan sebal tetapi senyum yang berusaha ia tampilkan. "Saya mau ketemu Dimas, tetapi teman kamu berbohong dengan mengatakan kalau sahabat saya sedang ada meeting." "Teman saya tidak sedang berbohong, Mbak Niken. Hari ini Bapak Dimas memang ada meeting mendadak. Jadi maaf, saat ini Mbak Niken masih belum bisa bertemu dengan beliau. Kalau Mbak Niken tetap ingin bertemu dengan Bapak Dimas, silakan Mbak tunggu di area lobbi seperti biasanya." Tampak wanita yang disebut Niken tersebut diam. Ia mematung dengan ekspresi malu, tetapi masih raut kesal nyata di wajahnya. "Kalau gitu saya tunggu di kafetaria saja. Untuk apa menunggu di lobbi, saya bukan tamu biasa bagi Dimas. Saya itu sahabatnya." "Iya, saya cukup tahu dan mengerti. Jadi, terserah Mbak Niken saja, bagaimana nyamannya. Mbak bisa menemui Pak Dimas jika beliau sudah selesai." "Tanpa kamu beri tahu, saya juga paham, Putri. Biar nanti saya yang hubungi dia saja." "Baik." Rayya salut pada sikap Putri yang menghadapi wanita bernama Niken dengan sikap yang masih tampak santai. Tidak emosi seperti yang biasanya akan terjadi jika Niken bertemu dengan dirinya. Wanita berpenampilan bak wanita karir itu berjalan melewati area lobbi —tanpa menoleh sedikit pun, menuju kafetaria yang ada di sebelah gedung kantor. Atap yang sama namun beda gedung. Rayya tersenyum sinis begitu melihat gaya Niken yang berjalan sengaja dibuat se-elegan mungkin. Lalu kembali menatap layar ponsel yang beberapa saat lalu ia anggurkan. Sekitar lima belas menit kemudian —paska adegan seru yang Rayya simak dari arah lobbi tadi, tiba-tiba Putri memanggil. "Mbak Rayya, Pak Dimas menunggu Mbak di ruangannya sekarang," ujar Putri padanya. "Oh, iya, baik. Terima kasih, yah, Mbak Putri?" "Sama-sama, Mbak." "Oh iya!" seru Rayya yang baru saja akan membalikkan tubuhnya. "Apakah tidak lebih baik mendahulukan wanita tadi untuk bertemu dengan Bapak Dimas ketimbang saya. Melihat sikapnya yang ... maaf, pemandangan tadi membuat saya jadi merasa tidak enak. Putri tahu jika saat ini Rayya tengah membicarakan Niken. "Mbak Rayya tak perlu khawatir. Wanita itu memang begitu setiap datang kemari. Ia selalu merasa memiliki hubungan dekat dengan Pak Dimas. Itulah mengapa ia juga berani protes jika ada hal yang tidak ia suka, kemudian melapor pada Pak Dimas." Rayya tidak begitu terkejut dengan apa yang Putri sampaikan, sebab hal itu mudah terlihat ketika tadi ia menunggu demi janjinya untuk bertemu Dimas, dan melihat wanita itu marah-marah. "Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu. Sekali lagi terima kasih, yah, Mbak Putri. Senang bisa berkenalan denganmu." "Sama-sama, Mbak Rayya." Gadis itu pun segera beranjak ke lantai atas. Sebelumya Dimas sudah memberi tahu lantai bererta ruangan yang akan membuat Rayya mudah untuk mencarinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD