Rayya sudah sampai di lantai lima belas, di mana ruangan Dimas berada. Gadis itu berjalan di sepanjang lorong yang tampak sepi. Ada beberapa ruangan yang ia lewati sebelum akhirnya ia sampai di area meja tinggi dengan seorang karyawan wanita berdiri di sana. Rayya pun berhenti di sana begitu saling berhadapan dengan sang pekerja.
"Selamat siang, Mbak!" sapa Rayya.
"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" Karyawati itu menjawab ramah.
"Saya Rayya, hari ini sudah ada janji bertemu dengan Bapak Dimas. Menurut informasi resepsionis, saya sudah diperbolehkan masuk."
"Oh, Mbak Rayya. Iya betul. Pak Dimas sudah menunggu Mbak di ruangannya."
"Ah, begitu."
"Mari saya antar!"
"Iya, terima kasih. Maaf merepotkan."
Karyawati itu tersenyum menanggapi ucapan Rayya. Lalu mendahului gadis itu berjalan menuju sebuah ruangan yang berada di pojok lorong dengan kaca besar sebagai tembok gedung, menampilkan pemandangan suasana kota.
Sebelum memasuki ruangan dengan tulisan direktur di pintunya, Rayya melewati sebuah area yang terdapat beberapa meja dengan beberapa pekerja yang terlihat sibuk di sana. Lalu ia pun mengikuti langkah kaki karyawati tadi menuju sebuah meja dengan seorang lelaki muda yang tengah bekerja.
Mengetahui akan keberadaan seorang temannya dan sosok orang lain di depan meja kerjanya, lelaki itu mengangkat kepalanya.
"Mas Kevin, ada Mbak Rayya."
Lelaki itu pun menoleh ke arah Rayya, kemudian tersenyum. Lalu ia berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Rayya.
"Selamat siang, Mbak Rayya. Saya Kevin sekretaris Bapak Dimas."
Rayya sedikit ragu mengangkat tangannya dan menerima uluran tangan lelaki itu.
"Saya Rayya."
"Ehm, ya, saya tahu sebab Pak Dimas sudah menunggu Mbak Rayya di dalam."
Rayya tersenyum canggung karena menerima keramahan mereka. Meski pada awalnya tatapan terkejut seperti apa yang Putri —petugas resepsionis, tampakkan tadi, juga mereka alami. Namun, setelah menyadari pesan yang diberikan sang atasan —Dimas, mereka kembali pada mode normal. Setidaknya itulah yang Rayya pikirkan.
"Mas Kevin, kalau begitu saya permisi, yah!"
"Eh, iya, Mia. Terima kasih, yah!"
"Sama-sama, Mas." Karyawati yang mengantar Rayya tadi menuju ke ruangan Dimas, pergi untuk kembali ke tempatnya bekerja. Meninggalkan Rayya yang saat ini menjadi pusat perhatian beberapa karyawan yang ada di area itu. Karyawan yang tadi Rayya lihat sibuk ketika dirinya baru datang.
"Mbak Rayya, ayo! Saya antar ke ruangan Pak Dimas," ucap lelaki bernama Kevin tersebut.
"Ah, iya. Terima kasih."
Gadis itu pun mengikuti Kevin, lelaki yang mengaku sebagai sekretaris Dimas.
Rayya sempat heran ketika mengetahui jika sekretaris direktur, adalah seorang lelaki muda. Bahkan bila diperhatikan para pegawai yang ada di area depan kantor Dimas sebagian besar adalah karyawan laki-laki.
Mereka tiba di depan ruangan berdaun pintu hitam, warna khas lelaki. Kevin kemudian mengetuk pintu ruangan yang jaraknya agak jauh dari area para karyawan tadi bekerja.
"Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam.
Rayya tahu itu adalah suara Dimas. Lantas, Kevin mengajaknya untuk masuk, dan gadis itu pun mengangguk.
Memasuki ruangan kantor milik sang direktur, kesan maskulin lagi-lagi Rayya rasakan seperti saat ia masuk ke dalam kamar milik lelaki itu.
Rayya terus berjalan mengikuti langkah kaki Kevin untuk menghampiri laki-laki yang saat ini tampak sedang duduk di kursi kebesarannya. Gadis itu berhenti melangkah, mengikuti langkah kaki Kevin yang berhenti lebih dulu.
"Selamat siang, Pak Dimas. Saya mengantar Mbak Rayya." Kevin memberi tahu atasannya itu dengan sikap hormat yang begitu terlihat.
"Iya, Kevin. Terima kasih. Kamu boleh kembali ke tempatmu." Dimas yang sejak mula kedatangan dua orang ke dalam ruangannya, sudah mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas yang sepertinya sedang ia tanda tangani, fokus menatap ke arah Rayya.
Lalu hingga lelaki itu meminta anak buahnya untuk pergi, tatapan kedua mata elangnya masih melihat ke arah Rayya. Tak ayal, aksi Dimas tersebut membuat gadis itu bersikap canggung, merasa tak enak hati karena ada Kevin di dekat mereka saat itu.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Kevin pun pergi. Sebelumnya ia mengangguk seraya tersenyum saat akan melewati Rayya.
Tak ada suara dari siapa pun hingga Kevin benar-benar keluar dari ruangan itu.
"Sudah selesai urusannya?" tanya Dimas tiba-tiba, sembari berdiri dari posisinya dan berjalan menghampiri Rayya.
Gadis itu agak kikuk waktu Dimas berhenti di depannya dengan jarak yang begitu dekat. Aroma parfum yang berasal dari tubuh Dimas, menguar ke dalam hidung Rayya, membuat gadis itu sampai memejamkan matanya sebab seolah terbuai dengan wanginya.
Dimas menyadarinya, secara pemandangan itu begitu jelas di depan kedua matanya. Tapi, ia tahu bukan Ria gadis yang saat ini ingin ia peluk dan merengkuhnya ke dalam pelukan meski ia masih belum bisa mengingat peristiwa di mana calon istrinya itu meninggal, tetapi penolakan yang sudah sering dikatakan oleh gadis di depannya saat ini, juga perkataan yang diucapkan oleh kedua orang tuanya mengenai sosok gadis yang sempat ia peluk bahkan hampir ia kecup di toko rotinya beberapa waktu lalu, adalah Rayya, membuat ia harus menerima jika Rayya bukanlah kekasihnya.
"Pesanan kue para pelanggannya sudah beres semua?" tanya Dimas lagi, mengejutkan Rayya yang masih belum menjawab.
Seketika gadis itu pun membuka matanya. Bulu mata yang lentik, serta mata bulat yang mengerjap karena kaget, terlihat menggemaskan di mata Dimas. Seandainya saja, ah, sudahlah lelaki itu tak ingin terlalu jauh berandai-andai.
"S—sudah. Maaf karena itu aku terlambat datang."
"Tidak apa-apa. Secara kebetulan juga aku ada rapat mendadak. Seandainya kamu datang dari tadi pasti akan aku anggurkan dalam waktu yang cukup lama." Dimas tersenyum hangat dengan kedua mata yang masih enggan berpaling.
"Ehm, jadi apa yang harus aku lakukan di sini?" tanya Rayya yang semakin canggung menghadapi sikap Dimas yang masih belum berubah, yakni berdiri dengan tangan kiri masuk kantung celana dan tangan kanan memegang pinggir meja, serta kedua mata menatap sempurna ke arahnya.
"Ah ya, bagaimana kalau kita duduk dulu?" Dimas mengajak Rayya untuk duduk di sudut ruangannya yang lain, dengan seperangkat sofa dan meja berada di sana.
Rayya menoleh ke arah yang Dimas tunjuk, tetapi sebab sikap gugupnya yang masih belum hilang membuat gadis itu terganggu dengan langkah kakinya sendiri ketika akan melangkah. Tak dapat dihindari, Rayya hampir terjatuh jika Dimas tidak sigap menahan tubuh dengan memegang pinggangnya.
"Argh!" pekik Rayya yang akhirnya bersyukur karena terselamatkan dari rasa malu jika ia benar-benar jatuh ke lantai, entah dengan apa posisinya.
Persis seperti adegan drama percintaan dalam layar televisi, begitulah posisi kedua insan itu kini. Rayya dengan tubuhnya yang setengah terlentang hampir terjatuh, berada dalam pelukan Dimas yang sangat cepat menarik keluar tangannya dari saku celana, dan menggapai tangan Rayya dengan begitu tangkas.
Waktu seolah berhenti berputar ketika kedua pasang mata saling menatap dan berusaha menembus seolah ingin mengetahui apa yang saat ini mereka pikirkan.
Hening dan senyap. Bahkan jam digital yang ada di atas meja Dimas pun seolah mati, tak mengeluarkan suara berisik seperti biasanya.
Rayya yang masih belum sadar dengan posisinya yang masih berada dalam pelukan Dimas dan wajah yang seperti tak berjarak, merasakan embusan napas yang menyentuh kulit wajahnya.
Ya, Dimas yang sepertinya kehilangan kontrol, sudah mendekatkan kepalanya untuk menempelkan hidungnya di salah satu pipi sang gadis. Mengendus pelan aroma wangi sabun muka yang masih menempel di sana. Lalu, Dimas menggeser hidungnya hingga ke sisi wajah Rayya, dan berbisik pelan di telinga gadis itu.
"Apakah kamu tidak apa-apa?"
Pertanyaan Dimas sontak membuat Rayya tersadar, hingga kemudian ia pun menjauhkan tubuhnya dengan memegang lengan Dimas yang masih menahan beban tubuhnya supaya melepaskan pelukannya.
"E—ehm, aku baik-baik saja. Makasih!"
Dimas malah tersenyum melihat sikap canggung yang Rayya perlihatkan. Jujur saja jika melihat sikap gadis itu selama ini yang terkesan jutek dan cuek terhadapnya, lelaki itu mendadak teringat sesuatu hal, yaitu Ria —tunangannya, bukan orang seperti itu.
Lalu melihat sikap malu-malu yang saat ini tampak di wajah Rayya pun, membuat Dimas lambat laun yakin kalau gadis itu memang bukan tunangannya karena selama menjalin cinta dengannya, tak pernah sekalipun Dimas melihat wajah malu-malu di diri Ria seperti yang saat ini ia lihat di sikap Rayya padanya. Tapi sekali lagi, kemana ia harus mencari potongan puzzle kenangan yang hilang tersebut?
Dalam suasana hening keduanya, tiba-tiba terdengar dering telepon dari atas meja Dimas. Lelaki itu pun akhirnya bisa melepaskan tatapan dari wajah Rayya, yang otomatis membuat gadis itu merasa lega dan bisa bernapas normal kembali.
Jujur saja berdekatan dengan Dimas mendadak membuatnya terasa sesak, persis seperti ketika pertama kali lelaki itu datang ke toko rotinya sesaat setelah ia mengiyakan permintaan Bu Laksmi untuk menikah dengan putranya itu.
"Ya, hallo?" sapa Dimas, lagi kedua matanya memandang Rayya, membuat gadis itu memalingkan wajahnya.
"Siapa?" tanya lelaki itu lagi pada seseorang di seberang telepon.
"Bilang saja saya sedang ada tamu dan tidak bisa diganggu. Kalau sudah selesai saya akan menghubunginya. Sampaikan seperti itu."
Lalu gagang telepon itu diletakkan kembali ke tempatnya semula. Kemudian Dimas menghampiri Rayya dan memintanya untuk duduk di sofa.
Namun, baru saja Dimas akan menyusulnya duduk, ketukan di pintu ruangannya membuat ia dan Rayya kaget, sontak mereka pun menatap ke arah pintu setelah sebelumnya saling memandang.
Ketika Dimas hendak membuka pintu untuk mengetahui siapa orang yang telah dengan berani mengetuk —bahkan hampir mendobraknya, sesosok wanita yang Rayya samar kenali berdiri di ambang pintu dengan gayanya yang arogan.
"Dimas!"
***