PART. 16

983 Words
Alea hanya diam, saat Lee memandikannya, dan ia tetap diam sampai Lee selesai memakaikan baju di tubuhnya. Lee mendudukan Alea di atas sofa, Alea duduk bersila, sambil memeluk bantalan sofa. Lee menyisir rambutnya, lalu memasangkan bandana merah muda yang ia temukan di atas meja rias, ke atas kepala istrinya. "Tidak usah pakai bedak, dan lipstik ya, kamu lebih cantik natural begini," bisik Lee, dikecup pipi Alea dengan lembut.  Alea masih tetap diam saja, seakan hanya raganya yang di sana, tapi jiwanya entah sedang berada di mana. "Aku suapi sarapan ya," Lee menyodorkan bibir gelas berisi air putih ke dekat bibir Alea. Alea membuka bibirnya, diteguk air putih itu sedikit. "Aku tidak ingin punya anak," gumam Alea, air mata jatuh meluncur di atas pipinya. "Lea, meski kau tidak ingin, tapi dia sudah mulai tumbuh di dalam rahimmu, kau tidak bisa menolaknya," Lee menghapus air mata Alea dengan jemarinya, disuapkan satu sendok nasi plus lauknya ke mulut Alea. "Kau tidak tahu rasa sakit, dan takut yang aku alami, Lee," sahut Alea setelah mengunyah makanannya. Lee senang, Alea tidak lagi histeris saat membahas tentang kehamilannya. "Bagaimana aku tahu, kalau kau tidak mengatakannya padaku, Lea. Aku bukan paranormal," Lee mencoba bercanda. Tubuh Alea tiba-tiba bergetar, ia terisak sambil menutup wajahnya dengan bantal. Lee termangu sesaat, lalu diangkatnya tubuh Alea, ia dudukan di atas pangkuannya. "Ceritakan, apa yang membebani pikiran, dan perasaanmu, Lea." "Ini semua salahku, Lee.... " suara Alea terbata, disela isakannya. "Apa ini ada hubungannya dengan kebakaran di dapur?" Kepala Alea menganguk pelan. "Alea, itu musibah, bisa terjadi pada siapa saja. Kau jangan menyalahkan dirimu terus menerus di sepanjang hidupmu." "Gampang kau mengatakan itu Lee, kau tidak mengalami yang aku rasakan." 'Kau salah Lea, kesalahanku bahkan lebih dari itu, bukan hanya satu nyawa yang melayang karena kesalahanku. Tapi, ada lima nyawa yang harus pergi karena diriku. Tapi, aku menang berperang melawan rasa takutku, aku menang, meski aku harus kehilangan banyak hal karena kejadian itu.' "Lalu kenapa kau takut memiliki anak Lea, aku kira tidak ada hubungannya dengan musibah itu." Lee menatap wajah Alea, yang hanya beberapa senti dari wajahnya. Tangan Lee terangkat, dihapus air mata dari pipi Alea. "Ibuku.... " Alea memeluk bahu Lee, ia menangis di atas bahu Lee. Lee mengusap kepala, dan punggung Alea lembut. "Dia ... mengutukku.... " "Mengutuk bagaimana?" "Dia menyumpahiku.... " "Menyumpahi bagaimana, Lea?" "Aku.... " tangis Alea semakin nyaring, tubuhnya bergetar hebat. Lee mendekap tubuh istrinya dengan erat. Tanpa sadar, dua tetes air mata jatuh di sudut mata Lee. Lee bisa merasakan penderitaan yang dirasakan Alea. Ia tahu rasanya tak lagi diinginkan orang tua, ia tahu rasanya rasa bersalah yang akan mengikuti sepanjang hidupnya. Lee tahu, karena ia mengalami hal pahit sama seperti Alea. Tangis Alea mereda, ia mengangkat kepalanya dari atas bahu Lee. Lee membersihkan wajah Alea dari air mata, dengan tissue yang ia ambil dari atas meja. "Ibuku menyumpahiku, kalau aku akan merasakan seperti yang dia rasakan. Saat aku memiliki anak, maka anakku juga akan bernasib naas seperti adikku, Lee. Agar aku tahu, rasanya kehilangan.... " Alea kembali terisak. "Lea, ibumu mengatakan itu, pasti dalam keadaan emosi, dia tidak sadar apa yang sudah dia ucapkan. Kau harus percaya pada Allah, Alea. Berdoa, meminta kepadaNya, agar apa yang diucapkan ibumu tidak terjadi padamu." "Tuhan tidak mendengarkan aku Lee, Dia tidak menyayangiku, Dia renggut semua yang aku butuhkan dalam hidupku, Dia tidak adil padaku, Dia.... " "Astaghfirullah hal adzim, istighfar Lea!" Lee mengguncang bahu Alea lembut. "Seberat apapun hidup ini, kita tidak boleh marah pada Allah. Kita harus percaya, cobaan yang tengah kita terima, sudah diukur untuk tidak melampaui batas kemampuan kita. Lihatlah dirimu, kau terluka begitu dalam, kau menyimpan trauma, tapi kau mampu bertahan, bahkan bisa sukses seperti sekarang." "Ucapan adalah doa Lee, apa lagi ucapan seorang ibu. Aku.... " "Alea, ibumu mengalami goncangan hebat, emosinya tak terkendali, ucapan apapun bisa terlontar dari mulutnya, tanpa ia sadari. Kau harus lawan rasa takutmu, Lea. Jangan biarkan rasa takut itu menjajah dirimu, membuat hidupmu tidak bahagia. Dia sudah hadir di sini, dia anugerah dari Allah. Berikan dia kesempatan untuk hidup Lea, sebagai penebus rasa bersalahmu, terhadap adik, dan kedua orang tuamu. Jika kau merasa sudah merenggut hidup adikmu, maka sekarang saatnya kau harus memberi kehidupan pada anakmu, Lea." Lee mengusap perut Alea lembut. Alea menundukan kepala, ditatap perutnya yang diusap Lee. "Dia tidak meminta banyak Alea, dia hanya ingin kau beri kesempatan untuk hidup. Kau harusnya bahagia, karena bisa merasakan kehidupan lain di dalam dirimu. Tidak semua wanita memiliki kesempatan seperti dirimu, Lea. Allah sudah memilihmu untuk menerima berkahNya, karena kau istimewa." Jemari Lee berpindah, dari mengusap perut, beralih mengusap pipi Alea. Tatapan mata mereka bertemu, jemari Lee mengusap bibir Alea lembut. Tangan Alea terangkat, disentuh pipi Lee yang berbekas tamparannya, juga sudut bibir Lee yang pecah. Air mata kembali jatuh di pipi Alea. "Maafkan aku karena sudah menyakitimu. Tidak mudah menguasai rasa takut Lee, tidak mudah.... " "Aku tahu Lea, aku tahu." Wajah Alea mendekat, dikecupnya kedua pipi Lee, lalu kedua sudut bibir Lee yang terluka. Lee memejamkan matanya, bayangan masa lalu muncul di dalam benaknya. Matanya terbuka, saat menyadari Alea mengusap dadanya yang terluka karena cakaran. Setelah mandi, Lee memang mengenakan kembali kemejanya yang sudah terlepas kancingnya karena direnggutkan Alea. Alea mendorong d**a Lee, sehingga punggung Lee jatuh di sandaran sofa. "Lea.... " kepala Lee terdongak, saat Alea mengecup luka di dadanya. "Maafkan aku.... " pinta Alea lirih. "Tidak apa Alea, aku tahu tidak mudah menghadapi rasa takut. Tapi, kau tidak boleh menyerah, kau harus lawan, kau harus bisa membebaskan diri dari traumamu. Aku akan membantumu. Kau pasti bisa, demi dia." Lee kembali mengusap perut Alea. "Aku harus menelpon Mas Reno, dia harus tahu soal ini. Aku ingin minta maaf karena sudah menghianati cinta, dan kepercayaannya. Aku harap, dia masih mau menerimaku, dan mau menunggu.... " ucapan Alea terhenti, ditatapnya wajah Lee yang terlihat membeku. "Habiskan sarapanmu, Lea." Lee kembali menyuapkan makanan ke mulut Alea, Alea membuka mulutnya, tatapannya masih pada wajah Lee. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD