Bab 10: Lamaran Pertama

1580 Words
"Pulang kamu gimana? Aku antar, ya! Sekali-kali boleh lah mampir ke tempat kamu! Aku penasaran gimana selera tempat tinggal kamu." Pelita hanya terkekeh kecil menanggapi kata-kata yang dilontarkan Cecilia kepadanya. "Ayolah! Nggak akan nggak, aku nggak akan bocorin alamat kamu ke orang lain! Kita udah kerja sama selama dua tahun nerbitin buku. Tapi di data pribadi penulis yang kamu isi, alamat yang kamu sertakan selalu alamat kamu yang ada di Jogja. Kamu ... sebenarnya orang mana sih? Jogja, Jakarta, atau Bandung?" Pelita tertawa lagi dengan sedikit lebih keras. "Kalau bisa aku pengin liat KTP kamu secara langsung rasanya," tambah Cecil lagi. Yang diajak bicara Cecil kembali tertawa di balik kacamata hitam yang masih dikenakannya. "Buat apa sih, Mbak Cecil?" balas Pelita kemudian. "Aku itu seperti salah satu judul tetralogi novelnya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa. Anggap aja gitu. Jadi tinggalku bisa di mana aja." Cecil menarik kedua sudut bibirnya ke atas sambil mencebik. "Bisa-bisanya! Tch, jadi kamu beneran nggak mau aku anter aja nih?" "Enggak." Pelita menggeleng kalem. "Habis ini aku pesen taksi aja, Mbak." "Hm, terserah deh. Emang si Arina ke mana? Pangeran kamu juga! Tumben, kalian bertiga biasanya sama-sama pas ketemuan sama aku. Pokoknya kamu nggak pernah sendiri, kalau nggak sama Arina ya sama June," lanjutnya lagi. Pelita mendengkus pada Cecil karena menyebut June sebagai pangerannya. "Arina aku suruh pulang, tugasnya lagi numpuk. Kalau Kak June, aku minta dia nganterin Arina," balasnya. Cecil menganggukkan kepala. "Jadi June sekarang jadi pangerannya Arina?" tanyanya dengan niat meledek yang tidak Pelita tanggapi sama sekali. "Haduh, sayang banget dong ...." Pelita hanya diam menunjukkan jika dirinya tidak tertarik dan tidak terpengaruh. "Pelita, padahal ya, aku lihat dari segi mana pun kalian itu cocok. Coba keyakinan kalian sama, udah lama nikah sama punya anak kali ya." Cecil tertawa dengan kalimat pengandaian yang baru saja diucapkannya. Di depannya, Pelita pun hanya mencebikkan mulut dalam diam. Sama seperti Arina, Cecilia juga bisa mengetahui perasaan June pada gadis cantik yang ada di depannya itu dalam sekali lihat. Kentara sekali. Namun, karena perbedaan besar yang menjadi garis pembatas antarkeduanya, mereka tidak bisa bersama. Pelita seorang muslimah dan June seorang umat kristiani. Ada kepercayaan dasar yang selamanya tidak akan bisa disatukan oleh kedua insan ini. Melihat Pelita yang hanya diam, Cecil menyunggingkan senyum samar. "Hidup kamu n****+ banget, ya?" Pelita yang sempat tenggelam dalam lamunan langsung sadar mendengar kalimat Cecil. "Huh? Maksudnya?" balasnya. "Penuh drama," terang Cecil. "Cinta beda agama. Aku pikir ..., cinta beda agama itu cuma ada di film sama n****+. Kalaupun ada dan bener-bener terjadi, aku nggak pernah bayangin kalau orang yang aku kenallah yang bakal mengalaminya. Tapi nyatanya, kamu sama June mengalami itu." Pelita tersenyum tipis lantas terkekeh. "Apaan sih, Mbak? Hubunganku sama Kak June itu nggak seperti yang kamu pikirin. Dia sahabat aku. Udah kayak kakak aku sendiri dari kecil." "Hem. Oke, oke." Cecil manggut. "Tapi menurut pendapatku, persahabatan yang murni persahabatan antara laki-laki sama perempuan itu nggak ada. Dan nggak akan pernah ada." Pelita akan bicara saat Cecil melanjutkan kalimatnya. "Iya .... 'Mungkin' ada. Tapi persentasenya aku yakin nggak akan lebih dari 3%, di seluruh dunia." Pelita langsung tertawa. "Penelitian dari mana tuh?" tanyanya. Cecil menegakkan posisi duduk kemudian menjawab, "Penelitianku lah," lalu ikut tertawa dengan kencang. Seorang laki-laki dengan pakaian formal masuk ke dalam kafe dan mendatangi meja mereka yang membuat Cecilia langsung menghentikan tawanya. "Psstt." Cecil memberikan kode pada Pelita yang gagal Pelita mengerti karena masih asyik tertawa, menertawakan dirinya. "Pelita, udah?" ucap laki-laki yang baru datang itu menyerukan tanya yang kemudian membuat Pelita menghentikan tawanya dan menoleh ke belakang dengan terkejut. "Kak June?!" kaget Pelita. Laki-laki berpakaian formal itu mengembangkan senyum tipis yang hangat, khas miliknya. "Udah selesai meetingnya?" balasnya balik bertanya sambil menatap penuh perhatian wajah Pelita yang cantik. "Udah, June. Kirain lo nggak bisa jemput." Cecil yang menjawab. "Pelita udah mau gue anterin tadi," tambahnya lagi. "Hm." June hanya membalas dengan gumaman. "Kita pulang, ya!" Laki-laki itu kembali bicara pada Pelita lagi. "Em. Iya, Kak," jawab Pelita lirih. "Mbak, aku duluan, ya," ucapnya pada Cecil setelah membereskan semua barang-barangnya dari meja. "Iya. Hati-hati!" Cecil membalas sambil tersenyum. "Padahal aku udah bilang kalau aku bisa pulang naik taksi," gumam Pelita lirih yang tidak June tanggapi sambil berjalan keluar. Laki-laki itu hanya meliriknya sekilas tanpa kata. Keluar dari kafe, Pelita membiarkan June berjalan lebih dulu di depannya. Mereka tidak suka berjalan beriringan ketika sedang bertengkar. June sendiri paham jika Pelita tidak suka dirinya berjalan di belakang gadis itu dalam kondisi apa pun---kecuali dalam keadaan dhorurot seperti saat keduanya dikejar begal satu tahun yang lalu atau saat mereka melakukan pendakian gunung bersama-sama di tahun-tahun sebelumnya. Mama Pelita yang menanamkan i'tikad laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu ketika Pelita mulai menginjak masa remaja dahulu, sebelum Mamanya meninggal tiga tahun yang lalu. Entahlah. Pelita dan June tidak sedang bertengkar. Namun keduanya seolah sama-sama menghindar karena sibuk dengan pikirannya masing-masing. Jujur, kata-kata Cecil tadi sebenarnya berhasil mempengaruhi Pelita. Cinta beda agama dan persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang diliputi cinta. Belum lagi Cecil yang mengatakan jika dirinya dan June terlihat serasi. Pelita tidak bisa mengelak ingatan masa lalunya yang datang kembali tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan June dua tahun yang lalu. Apa yang terjadi pada mereka sebelum Pelita memutuskan pergi meninggalkan Jakarta dan June yang memilih mengikutinya dan meninggalkan semua kehidupan, keluarga, dan teman-temannya. **** Jakarta, dua tahun lalu "Aku sayang kamu Pelita. Menikah sama aku dan kita akan bahagia. I promise." Pelita menggeleng kuat. "Nggak bisa, Kak," balasnya disusul tawa dan air mata yang sekuat tenaga ditahan. June menghela napas berat. "But, why? Aku janji aku akan bahagiain kamu." Ia mengikuti Pelita yang membuka lemari baju dan mengeluarkan pakaiannya dari sana. "Aku cinta kamu." Gadis yang usianya akan menginjak delapan belas tahun dalam hitungan minggu dan baru lulus dari bangku SMA itu membeku mendengar pengakuan June di kalimat terakhirnya. Menghentikan kegiatannya memasukkan pakaian ke dalam koper besar yang diletakkannya di atas ranjang kamar, Pelita menoleh dan berdiri menatap June. "What do you mean?" tanyanya serupa bisikan dengan nada yang sarat ketakutan. June diam sebentar, seolah menimbang-nimbang apa yang akan dikatakannya. Ia kemudian mengambil satu langkah mendekat dan menatap manik hazel milik Pelita dalam-dalam. "Mungkin ini hal yang salah, tapi perasaanku bener, Pelita. Aku cinta kamu." Sekali lagi Pelita membeku. "Aku ... cinta dan sayang sama kamu." June memperjelas pernyataannya tanpa merasa bersalah atau berdosa setelah yakin dengan keputusannya. Pelita sangat terkejut. Ia membuang napas yang ditahannya sejak pengakuan cinta June di awal, menggelengkan kepala lagi dengan kuat kemudian membawa tungkainya melangkah ke jendela pinggir ruangan. "Kamu bercanda kan, Kak?" tanya Pelita lirih sambil membuang pandangannya ke arah luar setelah lama membiarkan keheningan bertahta, mengisi ruang hampa di antara mereka. June tidak menjawab. Di tempat berdirinya, ia memilih menatap Pelita yang terlihat seperti lukisan di depan jendela itu dalam diam. Senja di langit Jakarta terlihat kusam saat June menunjukkan keseriusan ucapannya lewat keterdiamannya. Pelita menangis sambil tertawa melihat langit berpolusinya yang muram mendung di depan matanya. "Tapi kamu sahabatku. Kamu kakakku." Air matanya jatuh satu-satu. "Nggak mungkin, Kak. Kamu nggak mungkin cinta sama aku." Pelita berbalik dan kembali menghampiri June yang masih diam. "Bilang kalau kamu bercanda, Kak. Bilang ke aku sekarang juga!" Pelita mengulas senyum tipis setelah menghapus cairan larikmanya. "Aku nggak bercanda," balas June. "Aku janji aku akan bahagiain kamu kalau kita menikah. Ayo kita sama-sama pergi dari negara ini, Pelita! Om dan Tante Diana nggak akan bisa nemuin kamu. Ayo kita mulai hidup baru!" seru June mantap. Pelita tidak bisa berkata-kata. Ia tidak pernah mengharapkan semua ini dari June. Baiklah. Sejak lama dirinya memang sudah tahu jika June mencintainya. Tapi Pelita tidak pernah menyangka jika June akan mengatakannya. Jujur saja, ada perasaan bahagia di hati Pelita saat mendengar June mengungkapkan perasaannya tadi. Tapi di sisi lain, perasaan takut dan sedih lebih mendominasi. Bagi Pelita, June dan dirinya adalah sebuah kemustahilan. Pelita juga menyanyangi June. Mereka sudah bersama sejak kecil. Tapi mencintai orang yang selama ini menjadi sahabat dan sudah seperti kakak sendiri ... itu tidak mungkin! Pelita memilih beranjak dari hadapan June dan kembali mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. "Aku udah pesen dua tiket penerbangan ke Bali malam ini. Setelah urusan pasport, visa, dan segala macemnya selesai kita akan terbang ke Australia. Kita akan mulai hidup baru di sana." June kembali ke sisi Pelita setelah menelepon seseorang dari posisinya yang tadi. Pelita menoleh. "Kak .... Aku mohon jangan begini," pintanya dengan raut sedih dan memelas. "Kita nggak bisa bersama, Kak. Kamu nggak boleh nikah sama aku!" June menggeleng. "Bisa," jawabnya dengan nada bersungguh-sungguh. "Aku akan jadi muallaf! Kita mungkin masih terlalu muda untuk semua ini, tapi aku akan nunggu kamu sampai kamu siap. Aku janji kita akan bahagia. Aku cinta sama kamu." Seratus persen, Pelita bisa melihat keseriusan dan ketulusan di manik mata laki-laki yang usianya empat tahun lebih tua dari dirinya itu. Ia bisa melihat janji-janji masa depan yang indah pada sepasang manik hangat June. Pelita tergoda. Tapi ia tahu ia tidak bisa menerimanya. Orang tuanya yang saling mencinta saja bisa hancur karena perbedaan mereka, apalagi dirinya yang bahkan tidak tahu dan yakin apa itu cinta. "Nggak, Kak." Pelita mengulas senyum sedih. "Kamu nggak boleh ninggalin apa yang kamu percayai buat aku. Kamu nggak boleh jadi muallaf ... hanya buat menikah sama aku. Kamu tahu apa yang terjadi sama Mama-Papa aku, kan?! Aku nggak mau semua itu terulang. Kalau Kak June mau memeluk Islam, lakukan karena keinginan kamu sendiri, Kak. Jangan karena orang lain." Air mata Pelita semakin deras mengalir di kedua belah pipinya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD