Adhim baru selesai melakukan workout di apartemen yang ditinggalinya saat sebuah pesan masuk ke dalam ponsel canggih yang ia letakkan di atas salah satu meja sudut ruangan.
Adhim melepas sarung tangan tinju yang baru ia gunakan untuk memukuli samsak tinju warna hitam yang menggantung di tengah ruang olahraga itu lantas menenggak air mineralnya setelah pergi mencari tempat duduk.
Laki-laki berambut gondrong yang rambutnya kali ini tampak diikat menggunakan karet itu menyeka keringat yang ada di wajah, leher, dan lengannya dengan handuk kecil lalu meraih ponselnya dari meja dan menyalakannya.
Sebuah pesan singkat datang dari saudara sepupunya, Shodiq Emir Bahauddin. Putra pakdenya yang usianya lebih tua dua tahun dari dirinya.
Cak Shodiq:
Gus Fatih hari ini stay di ndalem.
Laki-laki itu menghela napasnya setelah membaca pesan itu. Tidak berniat membalasnya.
Ndalem adalah sebutan lain untuk kediaman kiai, bu nyai beserta keluarganya di sebuah pondok pesantren. Dan yang disebut oleh Shodiq dengan sebutan Gus Fatih di pesan itu adalah putra Kiai Adnan, pengasuh pesantren di mana Shodiq mengabdikan diri sebagai abdi ndalem yang kini ditugaskan sebagai sopir pribadi keluarga ndalem pesantren itu. Fatih sendiri adalah saudara ipar Adhim. Suami Zulfa, adik tersayangnya.
Meski keluarga Adhim memiliki pesantren sendiri di Kediri, Shodiq dan Zulfa sama-sama nyantri di pesantren keluarga Fatih di Jombang sebelum Fatih menikahi Zulfa. Mereka (Fatih dan Zulfa) baru menikah beberapa waktu yang lalu. Adhim pulang ke pesantrennya di Kediri selama acara pernikahan itu berlangsung dan segera kembali ke Bandung setelahnya.
Kembali meraih botol mineral di meja, Adhim memasrahkan tubuhnya bersandar sempurna di tempatnya duduk lalu menenggak habis sisa air mineral dari botol. Ia menghela napas panjang.
"Semoga kamu bahagia, Fa," gumamnya lirih sembari mendongakkan kepala melihat langit-langit ruangan, mendoakan kebahagiaan Zulfa.
Selama ini, Adhim selalu mengawasi Zulfa di mana pun Zulfa berada. Ia selalu menempatkan seseorang yang dipercayainya sebagai mata-mata untuk mengetahui kabar dan keadaannya.
Di sebuah pesantren yang ada di Lamongan saat adiknya itu masih duduk di tingkat menengah pertama, di pesantren keluarga Fatih di Jombang saat adiknya itu berada di tingkat menengah atas hingga lulus namun memilih menetap di sana untuk memperdalam ilmu agama. Juga sekarang ini---masih di pesantren keluarga Fatih namun dengan status yang berbeda dari santri menjadi menantu.
Adhim tidak pernah melepas pengawasannya dari adiknya itu.
Setelah Zulfa menikah, Shodiq, sepupunya yang sejak lama sudah Adhim percayai untuk mengawasi kehidupan Zulfa sejak adiknya itu menginjakkan kaki untuk pertama kali di Jombang, belakangan selalu mengatakan jika Zulfa tampak kurang bahagia dalam pernikahannya bersama Fatih. Suatu hal yang membuat Adhim merasa khawatir dan terganggu.
Shodiq mengatakan seperti ada kejanggalan dalam pernikahan Zulfa dan Fatih. Untuk ukuran pengantin baru, Fatih sangat jarang berada di ndalem bersama Zulfa dan malah sering menghabiskan waktunya di tempat kerjanya hingga larut malam. Zulfa ditinggal sendirian.
Adhim tentu bertanya-tanya akan hal itu. Apa yang terjadi? Pernikahan adiknya baik-baik saja bukan? Dan pertanyaannya yang paling mendasar adalah apakah Zulfanya bahagia? Sebab sampai nyaris dua puluh empat tahun usianya, kebahagian Zulfa yang masih terus menjadi prioritas dan tujuan utama hidup Adhim. Ia tidak peduli dengan kehidupannya sendiri. Hanya Zulfa yang Adhim pikirkan. Selama Zulfa bahagia, maka Adhim juga bahagia.
Hari ini Minggu. Jam berbentuk bundar yang ada di dinding ruang olahraga sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi ketika Adhim meliriknya. Laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya dan membawa tungkai kakinya melangkah ke kamarnya yang ada di sisi lain apartemen.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Adhim memesan makanan melalui aplikasi yang ada di ponsel. Ia belum sarapan dan hanya melahap sebuah apel dan pisang setelah salat Subuh tadi dari kulkas lalu melakukan workout di ruang olahraga.
Ponselnya berdering saat Adhim sibuk mengunyah burger king yang baru diantar kurir beberapa menit lalu di ruang tengah. Ia meletakkan burgernya yang baru berkurang satu gigitan itu ke meja lantas memeriksa siapa yang menelepon.
Surgaku :)
Bibir Adhim langsung melengkung mengetahui sang ibu yang ternyata menelepon.
"Assalamu'alikum, Umi." Laki-laki itu meletakkan ponselnya ke samping telinga. "Tumben sekali menelpon Adhim duluan? Lanopo (Ada apa)? Kangen Adhim nggeh (ya)?!"
Ia berdiri dari tempat duduknya di sofa kemudian berjalan ke tepi ruangan, berdiri di samping jendela dan menatap kepenatan Bandung yang sudah mulai terlihat ditandai dengan padatnya jalan raya depan apartemennya.
"Wa'alaikumussalam." Suara lembut Nyai Azizah menjawab dari seberang telepon. "Piye, Le (Bagaimana, Nak (laki-laki))? Sudah kamu pikirkan apa yang Umi katakan kemarin hari?"
Adhim langsung menghela napas tanpa suara. Seulas senyum masih merekah di bibirnya. "Yang mana tho, Mi?" tanyanya pura-pura tidak mengerti.
"Jangan pura-pura ndak tahu kamu!" balas Nyai Azizah kemudian. "Bagaimana? Sudah ambil keputusan? Umi dan Abah sudah tua, Le. Segeralah menikah! Dari tiga bersaudara cuma kamu yang belum menikah. Masmu sudah punya putra. Adikmu tidak lama lagi pasti akan menyusul juga. Kamu sendiri bagaimana?"
"He he he." Adhim menunjukkan kekehannya. "Umi ini ... kalau sudah waktunya Adhim pasti akan menikah, Mi. Umi jangan khawatir! Jodoh Adhim sudah diatur sendiri sama Gusti Allah di Lauhul Mahfudz," jawabnya dengan nada tenang.
"Adhim ...."
Adhim bisa mendengar uminya yang berseru geram. Sebal namun masih bercampur sayang.
"Nggeh, Mi?" balasnya.
Adhim bisa mendengar Nyai Azizah yang menghembuskan napas di seberang sana.
"Sudah lihat foto Neng Hafsah yang kemarin Umi kirim?" tanya Nyai Azizah. "Dia putri Kiai Burhan, sahabat baik Abahmu yang pesantrennya ada di Jepara. Bagaimana? Cantik kan?! Neng Hafsah ini masih seumuran Zulfa adikmu. Tapi soal kualitas, jangan ditanya. Sama seperti adikmu Neng Hafsah juga selalu mendapatkan nilai tinggi di setiap mata pelajarannya baik agama maupun umum. Perangainya baik. Cocok sekali untuk kamu nikahi dan jadi menantu Umi."
Adhim terus mendengarkan.
"Abah, kakek, dan buyutnya adalah alim ulama' yang masyhur namanya, Le. Nasabnya bagus! Jika kamu menikah dengannya, insyaallah putra-putri kalian akan jadi putra-putri yang salih dan salihah. Bagaimana? Kamu cocok kan dengan pilihan Umi yang kali ini?!"
Adhim menghela napas panjang. Ia menjauhkan ponselnya sebentar dari telinga kemudian kembali menempelkannya. "Adhim masih belum mau menikah, Mi," jawabnya dengan nada lembut.
"Terus kapan, Le ...?!" sahut Nyai Azizah. "Jangankan adikmu. Gus Aji, sahabatmu juga sudah punya istri. Kamu kapan?! Ini bukan pertama kalinya Umi membicarakan ini dengan kamu, Le. Gus Aji yang dulu pernah melamar adikmu meski ternyata tidak berjodoh dengannya saja sudah menikah. Kamu tidak ingin menyusul? Kamu tidak ingin menjalankan tuntunan Rosul?"
Adhim menggelengkan kepalanya meski ia tahu uminya tidak mungkin melihat. "Umi ... bukan seperti itu," lirihnya. "Adhim hanya ... merasa belum bertemu yang cocok."
"Ya Allah, Le, Le!" keluh Nyai Azizah. "Selalu seperti itu. Kamu ndak punya alasan lain tho selain belum siap menikah sama belum bertemu yang cocok? Neng Hafsah adalah pilihan terbaik untuk kamu saat ini. Jika kamu melepas kesempatan menikah dengannya melalui perjodohan ini, kamu tidak akan memiliki kesempatan lagi, Le. Selain Abahmu, banyak kiai lain yang menginginkan Neng Hafsah menjadi menantu mereka."
Adhim menatap jalanan ramai yang masih penuh sesak di depan mata elangnya. "Umi---"
"Neng Hafsah adalah perempuan terbaik yang bisa kamu nikahi, Le," potong Nyai Azizah. "Meski Neng Hafsah begitu didamba oleh keluarga besar dari pesantren-pesantren lain sebagai calon bu nyainya, dia sendiri yang mengatakan bersedia menikah dengan kamu."
Adhim mengernyitkan dahi.
"Kiai Burhan, Abah Neng Hafsah yang mengatakan semua ini kepada Abah dan Umi. Kamu mungkin tidak mengenalnya. Tapi Neng Hafsah mengenalmu. Dia juga santri Mbah Kiaimu di Ponorogo. Dia adik kelasmu dulu."
Kernyitan di dahi Adhim pudar namun laki-laki itu tetap bungkam.
"Bagaimana? Kamu mau kan dijodohkan dengannya? Jangan tolak Umi lagi kali ini, Adhim!"
Beberapa lama diam, Adhim menghela napas berat terang-terangan. "Umi ...," lirihnya. "Adhim belum bisa. Tolong mengerti Adhim."
Nyai Azizah juga menghela napas di seberang telepon. "Kali ini apa lagi, Le?" tanyanya. "Coba kamu lihat foto Neng Hafsah baik-baik sekali lagi. Selain cantik, dari fotonya saja Umi bisa menyimpulkan kalau dia perempuan yang halus dan penyabar. Sangat cocok dengan kepribadian kamu yang seperti itu. Di mana kamu bisa mendapatkan calon istri sepertinya?!"
Adhim memijat pangkal hidung bangirnya.
Di seberang, Nyai Azizah kembali menghela napas karena tidak mendengar sahutan dari Adhim. "Karepmu piye (Mau kamu bagaimana)? Sekarang coba jelaskan pada Umi, apa alasan kamu menolak dijodohkan dengan Neng Hafsah? Kamu sudah punya perempuan idaman sendiri?"
Wajah Adhim sempat pias selama beberapa detik mendengar pertanyaan terakhir uminya, namun kemudian, laki-laki itu segera memberikan jawaban yang dibuat-buat sendiri olehnya.
"Jepara terlalu jauh, Mi. Kalau dia menikah dengan Adhim, kasihan. Dia harus mau diboyong ke Kediri dan berjauhan dari keluarga besarnya."
Di sisi lainnya Nyai Azizah langsung menghela napas berat sembari menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban Adhim.
"Mau kamu bagaimana tho, Adhiim?!" tanyanya jengkel. "Umi carikan calon istri putri-putri kiai yang pesantrennya ada di daerah Jawa Timur kamu ndak mau. Sekarang dapat yang rumahnya di Jawa Tengah, masih ndak mau juga! Mau kamu bagaimana?"
Wajah Adhim berubah tersenyum mendengar omelan uminya.
"Kamu mau istri yang rumahnya di Jawa Timur? Kalau begitu kemarin-kemarin kenapa kamu tolak semua calon yang Umi tunjukkan ke kamu, Le?! Ya Allah Gusti ... paringi kulo kesabaran (beri hamba kesabaran)."
Adhim kian tersenyum lebar.
"Rungokno (Dengarkan), Umi! Di Jawa Timur, semua putri kiai yang belum menikah sudah Umi tunjukkan ke kamu, Le. Kamu bilang ndak ada yang cocok sama mereka. Terus, yang kamu mau siapa? Katakan! Biar Abah dan Umi lamarkan untuk kamu. Atau ada santri Umi yang kamu sukai? Katakan saja! Umi pasti setuju, Le, asal kamu suka dan mau segera menikah."
Adhim masih menyengir di depan jendela. "Umi ... Adhim hanya belum mau menikah, Mi. Adhim janji, jika Adhim sudah menemukan seseorang yang menurut Adhim cocok untuk Adhim, Adhim pasti akan menikah seperti yang Umi inginkan. Tolong mengerti Adhim. Ya, Mi?"
Nyai Azizah kembali menghela napas. "Yowes sak karepmu (Ya sudah terserah kamu). Kali ini Umi iyakan lagi. Tapi jangan lama-lama, Le! Umi mau tahun ini juga kamu menikah. Eleng (Ingat)! Abah dan Umimu sudah tua. Jangan sampai kamu menikah saat Abah dan Umi sudah tiada."
"Astagfirullah. Umi ...," risik Adhim. "Jangan bicara seperti itu! Insyaallah, Adhim akan segera menikah jika sudah bertemu jodoh Adhim. Kalau begitu sudah ya, Mi. Adhim mau melanjutkan sarapan Adhim."
"Heh!" sergah Nyai Azizah dengan nada terkejut. "Sarapan? Jam segini baru sarapan? Ya Allah, Le .... Ini, ini kenapa kamu harus segera menikah! Kamu punya sakit mag, Le. Jangan teledor makan!"
"He he," kekeh Adhim memutar badan untuk melirik burger king yang masih tergeletak di atas meja. "Nggeh, Umiku yang cantik," balasnya. "Ya sudah ya, Mi," katanya ingin cepat mengakhiri percakapan, tidak ingin uminya sampai bertanya apa yang ia makan.
Nyai Azizah tidak pernah suka jika keluarganya memakan makanan cepat saji. Jadi daripada berbohong, Adhim lebih memilih menghindar agar uminya tidak memiliki kesempatan bertanya.
"Tunggu!" cegah Nyai Azizah. "Jangan ditutup dulu! Ada yang masih ingin Umi katakan ke kamu."
Adhim yang sudah kembali duduk di sofa ruang tengah menjauhkan ponselnya sebentar untuk mengamati sekon panggilan yang masih berjalan di layar ponsel lalu menempatkannya lagi ke samping telinga.
"Nopo (Apa), Mi?" tanyanya dengan sedikit rasa was-was. Apa lagi ini? Jika bukan soal makanan, jangan-jangan Umi mau membahas masalah perjodohan lagi denganku, batinnya.
"Ini soal adikmu, Zulfa."
Adhim langsung terduduk tegak di tempat duduknya. "Ada apa dengan Zulfa, Mi?" tanyanya bernada khawatir.
Di seberang panggilan, Nyai Azizah langsung menggelengkan kepala sambil terkekeh lirih.
Selalu, Adhim akan bereaksi 'seheboh' itu jika menyangkut adiknya.
"Umi. Ada apa dengan Zulfa?" tanya Adhim lagi dengan nada yang sama.
"Tidak ada apa-apa, Le," jawab Nyai Azizah. "Umi cuma mau bilang, adik dan adik iparmu akan kemari besok. Sudah. Itu saja."
Adhim menghembuskan napas lega. "Sak estu (Sungguh) tidak ada apa-apa kan, Mi?"
"Iya. Umi malah menduga kalau mereka mau menyampaikan kabar baik ke Abah dan Umi besok. Makanya mereka langsung datang dari Jombang."
"Kabar baik?" Dahi Adhim mengernyit.
"Iya, Le. Umi menduga sepertinya adikmu sudah hamil."
Kerutan di dahi Adhim hilang. Laki-laki itu tersenyum miring. Sepertinya tidak, Mi. Adhim malah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah tangga mereka. Hati kecilnya bersuara namun bibirnya tetap diam tertutup rapat.
"Kalau begitu Adhim akan pulang ke Kediri, Mi," katanya kemudian. "Hari ini juga Adhim akan berangkat."
"Heh? Lalu, kuliah kamu bagaimana?"
"Gampang. Itu bisa Adhim urus nanti."
"Hm .... Iya." Nyai Azizah terdengar keras menghela napasnya. "Umi percaya sama kamu. Naik pesawat kan, Le? Soal kepulangan kamu, nanti biar Umi bilang ke masmu supaya dia yang jemput kamu di bandara."
"Ndak usah, Mi. Mas Alim pasti sibuk. Lagipula Adhim mau pulang naik motor Adhim saja. Jadi tidak usah dijemput!"
"Naik motor? Kamu ini! Beneran ndak naik pesawat saja?"
"Nggeh, Mi. Adhim naik motor saja."
"Howalah. Yowes. Pokoknya yang hati-hati di jalan! Umi selalu ndak bisa apa-apa kalau kamu sudah seperti ini. Sama seperti soal kamu yang belum mau menikah, Umi ndak bisa apa-apa, Le."
Adhim meringis mendengar penuturan uminya yang kembali membahas pernikahan. "Ya sudah ya, Mi. Adhim belum sarapan lho," katanya benar-benar ingin mengakhiri panggilan. Perasaannya tidak enak karena uminya kembali ke topik pertama mereka.
"Hm," sahut Nyai Azizah yang membuat Adhim bisa bernafas sedikit lega. "Tapi pikirkan lagi ya Le soal Neng Hafsah," tambah Nyai Azizah menjungkirbalikkan perasaan lega yang baru dirasakan Adhim.
Menghela napas, laki-laki itu akhirnya memejamkan matanya sembari menyandarkan tubuh dengan penuh kepasrahan ke pangkuan sofa. Bersiap mendengarkan wejangan uminya lagi soal pernikahan yang dalam kepalanya belum terbayang sama sekali.
"Kesempatan menikah dengan Neng Hafsah benar-benar sayang jika kamu lewatkan, Le. Dia perempuan terbaik yang bisa kamu nikahi saat ini. Jadi tolong kamu pertimbangkan baik-baik!"
Adhim hanya diam.
"Jika adikmu benar-benar sudah hamil, Umi ingin kamu segera menikah. Jangan sampai anak Zulfa terpaut jauh usianya dengan anak kamu nanti. Jika kamu sudah menikah, meski Zulfa memiliki anak terlebih dulu setidaknya kamu bisa segera menyusul. Anak kalian akan seumuran meski mungkin akan terpaut beberapa bulan."
Adhim kembali menghembuskan napasnya. Ia membuka mata dan menatap burger king yang sudah lama dianggurkannya. Selera makannya tiba-tiba lenyap terbawa angin.
"Ya sudah. Sarapan yang bener ya, Le! Permintaan Umi untuk kamu hanya cepatlah menikah. Ingat umur Abah dan Umimu, Le! Kami tidak lagi muda. Jika kamu sudah punya tambatan sendiri, ya ndak apa. Bagus malahan. Tunjukkan ke Umi! Tapi jika tidak, pertimbangkan baik-baik Neng Hafsah! Lihat sekali lagi foto dan data dirinya yang sudah Umi kirimkan, mungkin kamu berubah pikiran setelahnya. Jangan lupa hubungi Umi ya! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Tut! Teleponnya terputus.
Adhim menghela napas lalu membuka roomchat-nya dengan Nyai Azizah.
Benar. Ada sebuah foto perempuan dan data diri singkatnya di ruang obrolan itu. Nama, umur, tanggal lahir, warna kesukaan, makanan, hobi, dan hal lain sejenisnya. Ia sudah melihatnya kemarin beberapa menit setelah uminya mengiriminya. Tapi hanya sebatas melihat. Tidak lebih.
Foto perempuan itu bahkan masih terlihat sangat buram karena belum Adhim unduh. Dan kini saat Adhim kembali melihatnya, laki-laki itu langsung menghapus foto tersebut berikut keterangan data diri yang menyertainya.
Adhim benar-benar belum ingin menikah. Ia memang belum menemukan seseorang yang cocok menurutnya. Namun itu sebenarnya hanya alasan---Ya, belum menemukan seseorang yang cocok memang benar. Tapi alasan Adhim yang sebenarnya adalah karena Zulfa. Ia ingin memastikan kebahagian Zulfa terlebih dahulu baru memikirkan hal yang lain, pernikahan salah satunya.
Adhim hanya ingin melihat Zulfa bahagia. Karena sekali lagi, kebahagiaan Zulfa adalah tujuan hidupnya. Selama Zulfa bahagia, maka Adhim juga akan bahagia. Laki-laki itu sangat mencintai adiknya, lebih dari apa pun dan dirinya sendiri---setidaknya sejauh ini.
Adhim kembali menghela napas sembari menegakkan duduk dan meraih burger kingnya dari meja.
"Sayang kalau mubazir," gumamnya pada angin lantas mulai melahapnya lagi. Perlahan memakannya meski sudah tidak nafsu sama sekali. []