Di tengah kegiatan belajar, Tristan sesekali menatap Key yang sedang memperhatikan penjelasan guru di depan. Meski gadis itu sudah tak terlihat kesakitan, namun hal itu masih belum cukup bagi Tristan. Setidaknya ia harus tahu siapa orang yang sudah melempar botol itu pada Key dan apa tujuannya.
"Apa mungkin cewek kelas dua belas yang waktu itu, ya?" Tristan membatin. Ia jadi teringat Silvi yang beberapa waktu ke belakang sempat berseteru dengan Key, namun rasanya hal itu tidak mungkin. Sudah beberapa minggu ini Silvi tak mengusik baik Key maupun Ravano, lantas mau apa dia menimbulkan masalah lagi?
"Tristan?"
Si pemilik nama tersentak pelan saat teman sebangkunya menyikut lengannya usai guru di depan sana menegur.
"I-iya, Bu?"
"Jika kamu tidak berniat mengikuti kelas saya, silakan keluar dari sini. Tapi jika kamu masih mau belajar, tolong perhatikan penjelasan dari saya," ujar wanita paruh baya di depan sana.
"I-iya, Bu. Maafkan saya." Tristan menunduk. Lelaki itu sempat melirik teman-temannya yang lain yang menatap ke arahnya, termasuk Key dan juga Adel.
Tristan membuang napasnya pelan dan mencoba mendengarkan penjelasan gurunya.
Hingga akhirnya bel istirahat kedua pun berbunyi. Tak lama setelah guru keluar dari kelas, beberapa murid pergi keluar. Key yang masih membereskan bukunya sempat terkejut begitu melihat Ravano yang tiba-tiba datang ke kelasnya.
"Gue denger katanya ada yang ngelempar botol ke lo. Gak apa-apa?" Ravano mengusap kepala Key untuk memastikan tak ada luka di sana.
"Hm. Gue baik-baik aja kok. Kepala gue udah gak sakit lagi. Udahlah, mungkin orang itu gak sengaja," ujar Key.
"Gak mungkin gak sengaja. Botolnya masih penuh dan segel tutupnya belom dibuka sama sekali."
Ravano, Key, dan juga Adel menolehkan kepala ke belakang, tepatnya ke meja Tristan. Lelaki itu masih duduk di sana dengan kedua tangan yang sengaja dilipat di depan d**a.
"Tapi kan lo gak punya masalah sama siapa-siapa di sini, Key," ujar Adel. "Gak jelas banget kalo misalkan orang itu tiba-tiba dendam sama lo."
Key sempat terdiam sejenak. Ia membenarkan ucapan Tristan dan Adel, tapi ia tetap bertahan dengan pendiriannya.
"Pokoknya gue gak mau tahu siapa dia. Gue gak mau terlibat masalah sama orang lagi, toh gue juga gak pernah nyari gara-gara sana orang, kan?" Key memasukkan sisa peralatan tulisnya ke dalam tas.
"Tapi kalo ternyata orang itu beneran punya masalah sama lo gimana? Mungkin lo pernah nyinggung dia tapi gak inget," balas Ravano kemudian.
"Silvi?" Tiba-tiba Adel berujar hingga ketiga orang di sana beralih menatapnya.
"Heh, mana mungkin! Harusnya gue yang marah sama dia karena ninggalin gue sama anak-anak Panca. Terus sekarang dia mau apa? Ngejar Ravano lagi?" Key membuang napasnya kasar.
"Gue juga sempet mikir gitu sih. Atau mungkin dia nyuruh orang lain buat ngelempar botol itu." Tristan kembali berujar.
"Enggak, enggak. Kalian jangan dulu nuduh. Jujur gue emang masih kesel sama dia tapi kayaknya kali ini bukan dia. Jadi, bisa lupain masalah ini?" Key menatap ketiga orang itu secara bergantian.
Ravano menatap Key selama beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali mengusap kepala gadis itu.
"Pokoknya, awas aja. Kalo sampe hal kayak gini terulang lagi, gue sama Tristan bakal ngasih orang itu pelajaran, siapa pun dia," tegas Ravano. Tak lama setelahnya lelaki itu pergi dari sana.
"Wah, Key. Lo berasa punya dua abang gak sih?" Adel menatap ke arah pintu lalu beralih pada Tristan di belakang.
"Abangnya Key kan abangnya gue juga," celetuk Tristan di belakang sana. Lelaki itu kemudian tertawa saat melihat reaksi Key yang sudah memelotot ke arahnya.
"Maksudnya, kakak ipar, ya?" balas Adel, membuat Key kini beralih menatap tajam padanya.
"Udah, ya. Jangan malah bahas itu," tegas Key. Ia kemudian mengajak Adel dan Tristan ke kantin usai perutnya berbunyi.
Tristan berjalan di belakang Key dan Adel seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kedua matanya menelik ke sekitar, mencoba menemukan hal yang mencurigakan. Rupanya, ia memang tak menurut sepenuhnya dengan peringatan Key untuk melupakan kejadian tadi pagi.
Namun yang dilihat Tristan hanyalah aktivitas biasa. Murid-murid yang tengah bercengkerama di depan kelas, bermain basket di lapangan, berjalan di koridor, dan kegiatan normal lainnya. Dan di saat yang bersamaan ia melihat Silvi yang tengah mengobrol dengan teman-temannya di tepi lapangan.
Apakah memang Silvi pelakunya? Atau justru ada orang lain?
*
"Kalo udah beres langsung pulang." Key menatap Ravano yang sudah naik ke atas motor.
"Iya, iya, bawel."
Sementara di belakang motor Ravano, Kinn terlihat membonceng Adel, membuat Key hampir saja terbahak saat menatap tampang masam lelaki itu.
"Kenapa gue lagi sih? Lo kan bisa minta anter yang lain!" Kinn memprotes.
"Terserah gue. Buruan woy! Lo ketinggalan sama Ravano tuh!" ujar Adel seraya memukul-mukul helm Kinn.
"Sialan lo, Junet! Gue buang juga lo di tengah jalan!" Kinn melajukan motornya dan segera menyusul Ravano yang sudah pergi terlebih dulu.
Key menggeleng-gelengkan kepala menatap kedua orang itu. Benar-benar tak bisa akur, pikirnya. Jika dua orang itu tidak ada sehari saja, pasti Key akan merasa sepi.
"Adel sama Kinn kalo dilihat-lihat agak mirip, ya. Jangan-jangan jodoh," ujar Tristan.
Key tertawa pelan. Gadis itu setuju dengan kalimat Tristan barusan karena dia pun berpendapat sama.
"Eh, astaga! HP gue ketinggalan di kolong meja, Key! Gue balik ke kelas bentar, ya!"
"Hm. Ambil aja, gue nunggu di sini."
Tristan turun dari motornya dan segera berlari kembali ke kelas. Semoga saja tak ada yang iseng masuk ke dalam kelasnya dan mengambil benda itu.
Karena terburu-buru, Tristan sempat menabrak seseorang di koridor dan lelaki itu pun segera meminta maaf, sebelum kembali melangkahkan kakinya.
Lelaki yang barusan ditabraknya itu tak langsung pergi. Ia menatap Tristan yang menaiki tangga, kemudian ia mengusap salah satu bahunya seolah-olah terdapat banyak debu di sana dan pergi.
Sementara itu Key masih berada di parkiran. Gadis itu membuka akun media sosial sembari menuggu Tristan kembali. Dan di saat yang bersamaan, sebuah panggilan masuk.
Key langsung mengangkatnya usai melihat nama kontak mamanya di sana.
"Halo, Ma?"
"Kak Key!"
Key tersentak pelan begitu mendengar suara khas Irina di seberang sana. "Lho, Irina? Kirain mama yang nelepon. Ada apa?"
"Aku mau es krim!" ujar Irina lantang.
"Eh, Irina, gak boleh begitu!" Terdengar suara mamanya menegur.
Key tertawa pelan. "Iya, iya, nanti Kakak beliin. Mau rasa apa?" Ia menatap seorang murid laki-laki yang berjalan memasuki parkiran.
"Rasa cokelat sama vanilla!"
"Oke, siap!"
Kemudian Key mendengar mamanya kembali berbicara pada Irina sebelum akhirnya mengambil alih panggilan itu.
"Key, maaf, ya. Ngomong-ngomong kamu pulang sama siapa?" tanya Karin.
"Iya, Ma. Enggak apa-apa kok. Mungkin aku juga sekalian beli camilan. Aku pulang sama Tristan, soalnya Ravano ada kerja kelompok sama temennya."
"Gitu, ya. Oke deh, hati-hati, ya."
"Mama mau sekalian nitip gak? Takutnya mau makan apa gitu biar sekalian."
"Enggak kok. Mama lagi gak pengen apa-apa. Kalo gitu Mama tutup teleponnya, ya."
Key membuang napasnya pelan usai panggilan itu ditutup. Ternyata, keadaan keluarganya yang sekarang membuat hidupnya jauh lebih baik. Coba saja dulu dia tidak egois sendiri, pasti semuanya akan baik-baik saja sejak lama.
Ia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menyadari kalau ternyata murid laki-laki yang tadi ia lihat itu masih berada di sana dan— menatapnya?
Key langsung membuang pandangannya begitu merasa tak nyaman. Bersamaan dengan itu, ia melihat Tristan yang sudah kembali.
"Ketemu, Tris?" tanya Key seraya memakai kembali tasnya.
"Hm. Untung aja gak ada yang ngambil. Ya udah yuk, pulang."
"Eh, tapi ntar mampir dulu ke minimarket ya, beli es krim. Barusan Irina telepon katanya dia pengen es krim," ujar Key.
"Oke!" Tristan naik ke atas motornya lalu disusul Key tidak lama setelahnya.
Key sempat menatap laki-laki tadi dan entah hanya perasaannya saja atau— orang itu memang sedari tadi memperhatikannya?
—tbc