Ravano mengaduh pelan begitu menyentuh salah satu pipinya yang memar. Handoko yang sudah mengetahui semuanya langsung berujar, "Makanya lain kali kalo mau berantem, lihat-lihat dulu jumlah musuhnya. Kalo kamu udah kalah dari jumlah, lebih baik mundur. Apalagi kalo kamu gak ada hubungannya sama mereka. Itu kan urusan temen kamu. Harusnya kamu langsung bawa lari Key."
"Iya, Pa. Maaf." Ravano menunduk.
Handoko tersenyum tipis. "Udah, sekarang kamu lebih baik sarapan biar tenaga kamu cepet pulih."
"Kak Ravano emangnya habis berantem?" Irina yang menyimak pembicaraan kedua orang dewasa itu berkedip.
"Kak Ravano berantem sama orang jahat." Ravano menjawab seraya memperagakan gerakan memukul dengan kedua tangannya. Dia dan Irina lalu tertawa.
"Ravano kan sok jagoan, Pa." Key menimpali dan mendudukkan dirinya di sebelah Irina.
"Eh, diem lo ya. Udah untung ada gue," ucap Ravano tidak terima.
"Udah, udah. Mama bersyukur kalian masih bisa pulang dengan selamat. Lain kali hati-hati, ya." Karin menatap Key dan Ravano bergantian.
"Iya, Ma."
Handoko dan Ravano mendadak tersedak. Sementara Karin tersenyum. Key menatap Ravano dan papanya dengan kedua alis yang bertaut.
"Kalian kenapa sih?" tanyanya.
Apa gue salah denger? batin Ravano setelah minum. Sementara Handoko kini menatap Key yang sibuk dengan makanannya. Pria itu terkejut saat Key memanggil Karin dengan embel-embel 'Ma'. Dia lalu menoleh pada sang istri, namun wanita itu hanya tersenyum padanya.
Ravano dan Keanna segera berpamitan setelah mereka selesai sarapan. Key baru saja hendak naik ke atas motor Ravano, namun kedua matanya melihat sebuah motor yang berhenti di depan rumah.
***
Key membenarkan rambutnya yang terkena sapuan angin. Perlahan gadis itu menoleh ke belakang, tepat ke sebuah motor yang berada di belakangnya.
"Ravano gak bakalan ilang. Gak usah diliatin mulu," ucap Tristan seraya melirik Key lewat spion. Lelaki itu tertawa pelan.
Key mencubit pinggang Tristan hingga lelaki itu mengaduh. "Gak usah ngomong aneh-aneh," ucapnya. "BTW lo beneran gak kenapa-napa? Luka lo kayaknya masih sakit banget."
"Gue justru lebih sakit kalo liat lo yang kenapa-kenapa." Tristan kembali melirik spion dan tersenyum lebar saat mendapati reaksi Key. Gadis itu langsung membuang muka saat pandangan mereka bertumbuk. Kedua pipinya menghangat.
"Gak usah sok kuat. Kalo sakit ya tinggal bilang aja sakit," ucap Key.
"Lo gak bersyukur banget punya cowok kayak gue. Berapa kali coba gue rela babak belur demi lo?"
"Lo pengen gue pukul?"
"Hah? Cium?"
"Tristan!" Key memukul punggung Tristan cukup keras hingga lelaki itu kembali berteriak. Namun kali ini terdengar lebih keras, membuat Key mendadak panik.
"Lo gak apa-apa?" tanya Key khawatir.
"Punggung gue dipukul pake kayu sama anak-anak Panca. Memar dikit sih, tapi gapapa. Ntar juga baikan." Salah satu mata Tristan menyipit begitu merasakan denyutan di punggungnya.
"Ya ampun, gue gak tahu. Sori, gue bener-bener gak tahu."
"Haha. Iya, gak apa-apa. Santai aja kali. Oh, iya. Tadi lo bilang kalo lo mau cium gue, ya?" Tristan tergelak.
Kedua mata Key memelotot. Gadis itu memukul lengan Tristan. Mereka berdua larut dalam pembicaraan, sampai melupakan seseorang yang sedari tadi berada di belakang mereka.
Kedua sudut bibir Ravano perlahan membentuk lengkungan ke atas. Ravano tersenyum di balik helm yang dikenakannya. Melihat Key bisa tertawa, adalah kebahagiaan tersendiri untuknya. Dadanya berdebar, namun kali ini debarannya terasa berbeda dari sebelumnya.
Membiarkan Key mendapatkan kebahagiaan barunya, sekaligus membiarkan gadis itu melupakan dirinya. Akankah dia benar-benar melepaskan sosok Keanna pada orang lain? Ravano menghela napas pelan. Ketika hatinya dan Key memang tidak ditakdirkan bersatu, namun keduanya masih diberi kesempatan untuk bersama. Ravano sudah cukup bahagia menerima kenyataan itu.
***
Suasana kantin tidak begitu ramai ketika Key datang. Gadis itu datang bersama Adel dan Tristan. Adel tidak melepaskan pandangannya dari Tristan barang sedetik pun begitu dia duduk. Hal itu membuat Tristan menatap gadis itu bingung.
"Kenapa sih, Del? Masih marah?" tanya Tristan.
"Gue gak mau denger lagi berita soal tawuran-tawuran kayak kemarin, apalagi kalo Key terlibat. Lo juga sih, pake ninggalin dia." Adel mulai sewot, membuat Tristan menutup salah satu lubang telinganya dengan telunjuk.
"Dia sendiri yang bilang mau nunggu. Gue udah suruh dia ikut tapi dia lebih milih nunggu. Ya udah, gue juga gak mungkin maksa-maksa kalo dia gak mau," ucap Tristan.
"Ya lo paksa dong! Untung aja kemarin ada Ravano."
"Del, gue kan gak tahu kalo anak-anak Panca nyariin gue. Kalo tahu juga gue pasti langsung nganterin Key pulang. Gak mungkin lah gue libatin cewek gue."
Mendengar kata 'cewek gue', Adel mendadak berdeham. "Gue gak mau tahu. Kalo sampe gue lihat Key lecet lagi, gue tebas kepala lo."
Kedua mata Tristan seketika membulat dan dia langsung memegang lehernya. "Ngeri, oy! Lo psikopat?!"
"Kenapa sih? Ribut mulu perasaan." Key yang baru selesai memesan mendudukkan dirinya di sebelah Tristan.
"Lo yakin betah temenan sama Adel? Dia psikopat gitu kok! Masa dia ngancem mau tebas kepala gue!" Tristan mengadu. Key mengerjap sebelum akhirnya tergelak.
"Gue kan udah pernah bilang sama lo. Adel emang kayak gitu. Tapi dia temen gue yang terbaik!" Key mengacungkan kedua ibu jarinya dan tersenyum lebar. Dia dan Adel melakukan tos. Tristan tercengang dan menggelengkan kepalanya.
Senyuman Adel pudar begitu melihay seseorang. Key yang menyadari itu langsung mengikuti arah pandang Adel. Silvi tampak berjalan mendekat ke arah meja mereka. Adel sudah bersiap melayangkan segala sumpah serapah, namun gadis itu terbengong-bengong saat Silvi hanya melewati mejanya. Benar-benar hanya melewatinya, bahkan gadis itu tidak menatapnya dan Key sama sekali.
"Tuh nenek lampir kenapa dah?" tanyanya heran.
Kening Key berkerut dan menatap Silvi yang kini bergabung dengan teman-temannya di meja yang cukup jauh. "Apa gara-gara kemarin?" gumam Key.
"Kenapa sama kemarin? Dia ngelakuin sesuatu sama lo?" tanya Tristan.
"Sebenernya kemarin itu gue sempet ketemu sama dia. Pas anak-anak Panca dateng, dia langsung pergi ninggalin gue sama mereka— eh! Kalian mau ngapain?" Key dengan cepat menahan Tristan dan Adel yang sudah berdiri dari posisi mereka.
"Kenapa lo gak bilang dari tadi? Muka sok gak ada dosa, ternyata laknatnya masih ada! Kalo lo kemarin diapa-apain sama cowok-cowok itu gimana, Key?!" Adel mulai terlihat kesal.
"Harusnya dia gak ninggalin lo di sana sendirian! Itu keterlaluan, harusnya dia sebagai cewek bisa ngerti! Kalo lo beneran kenapa-kenapa gimana?" sambung Tristan. Dia berusaha melepas tangan Key namun gadis itu tidak membiarkannya pergi.
"Ish, dengerin dulu." Key kembali menyuruh kedua orang itu duduk. Dia kembali menjelaskan, "dia emang ninggalin gue. Tapi kemarin Ravano dateng karena Silvi sendiri yang kasih tahu."
"Hah?" Adel mengerjap tidak yakin. Dia mengucapkan terima kasih ketika pesanannya datang.
"Bukannya dia gak suka sama lo, ya? Kenapa dia kasih tahu Ravano? Kalo dia emang niat ninggalin, harusnya dia gak kasih tahu Ravano," ucap Tristan.
"Justru itu. Makanya gue ngerasa ada yang aneh." Key menanggapi. Dia menatap Silvi yang sedang mengobrol dengan teman-temannya.
"Apa mungkin gara-gara yang kemarin? Yang di bawah tangga. Mungkin ucapan lo nyakitin dia, Tris." Kedua mata Adel menyipit seraya menatap Tristan.
Tristan langsung menunjuk wajahnya dengan telunjuk. "Kok gue?"
"Lo gak inget kemarin ngomong apaan?" Adel menuangkan saus ke dalam mangkuknya.
Tristan berusaha mengingat-ingat.
"Kalo lo ngerasa senior di sini, setidaknya lo harus punya attitude yang baik. Sikap lo yang buruk banyak ditiru sama adik kelas lo. Lo tahu kenapa sikap Key kasar sama lo? Karena lo juga kasar sama dia."
"Gue sekarang berhak ikut campur. Urusan Keanna, bakalan jadi urusan gue. Lo yang gak berhak ikut campur. Lo bukan siapa-siapa."
"Gak ada yang salah kok sama ucapan gue. Kenapa dia sampe begitu? Ya bagus sih, Key jadi gak perlu buang-buang tenaga lagi." Tristan memasukkan siomay ke dalam mulutnya.
"Gue juga capek sih. Gak ada kapoknya emang dia ngejar-ngejar Ravano mulu. Oh, iya. Ngomong-ngomong Ravano gimana Key? Lukanya gak parah, kan?" tanya Adel.
"Nggak kok. Babak belur juga sih, tapi gak separah Tristan." Key melirik lelaki di sebelahnya.
"Gini-gini juga gue rela babak belur demi Keanna. Sampe masuk rumah sakit juga."
Key tergelak dan langsung mengacak puncak kepala Tristan. Tawanya terhenti saat seseorang menghampiri mejanya.
"Bisa lo ikut gue sebentar?"
Tristan mendongak dan melihat Ravano yang tengah menatapnya. Ravano melirik Key sejenak dan mengusap puncak kepala gadis itu sebelum akhirnya pergi dari sana.
Tristan lalu meminum minumannya dan segera beranjak dari sana. Adel menggigit ujung garpu dan menatap Key. Namun Key hanya menggelengkan kepala seraya menatap kepergian Ravano dan Tristan.
— To be continued