Di tengah kelas yang masih berlangsung, Adel sesekali memperhatikan Key di sebelahnya. Gadis itu memegangi permukaan wajahnya yang tadi terkena pukulan Axcel.
Adel membuang napasnya, "Key, lo yakin gak perlu ke UKS?" tanyanya pelan.
"Hm. Masih bisa gue tahan kok. Besok juga baikan sendiri." Key berujar. Dalam hati ia mengutuk lelaki bernama Axcel itu. Bisa-bisanya tinju sekuat itu digunakan untuk memukul orang lain. Benar-benar tidak memiliki rasa kemanusiaan, Key tidak habis pikir kalau ternyata di sekolahnya ada murid yang kejam seperti itu.
Usai menjelaskan materi, sang guru memberikan beberapa latihan dan ia pun keluar dari kelas.
"Lo istirahat kedua gak makan sama sekali, Key. Lo yakin gak kenapa-napa?" Adel kembali bertanya. Gadis itu menegakkan posisi duduknya dan menatap Key sepenuhnya.
"Iya, Del. Lagian sekarang udah jam terakhir. Ngapain juga gue ke UKS. Gue gak mau ketinggalan materi cuma gara-gara bekas tonjokan begini," jawab Key. Gadis itu masih berfokus pada halaman LKS miliknya.
"Kalo seandainya Om Handoko tahu soal ini, gimana?"
Pertanyaan Adel barusan seketika membuat Key mengentikan kegiatan menulisnya.
Benar juga. Kalau sampai papanya tahu dia habis dipukul orang, papanya pasti akan langsung mengamuk atau parahnya datang ke sekolah.
"Gu-gue ... bakalan sembunyiin ini lah. Gimana pun caranya." Key menjawab mantap. Walau sebenarnya ia sendiri belum menemukan cara yang tepat, namun ia harus benar-benar bisa menyembunyikan wajah memarnya itu.
"Terus Ravano? Lo pikir dia bakalan diem aja gitu?"
"Aduh, Del. Udah deh, lo jangan bikin gue panik sekarang. Gue ntar bakalan bujuk Ravano buat nutup mulut dan pura-pura gak tahu aja. Kalo bisa, gue tutupin nih muka pake bedak yang tebel atau kalo perlu sekalian aja gue ngurung di kamar," jelas Key. Walau ia tahu membujuk seorang Ravano Delvin Arion itu susahnya minta ampun, tapi tak ada salahnya untuk mencoba. Toh hal itu untuk kebaikan mereka berdua juga.
Adel masih menatap Key selama beberapa saat sebelum akhirnya ia mengerjakan tugasnya.
Sementara itu di barisan belakang, Tristan diam-diam memperhatikan Key yang tengah mengobrol dengan Adel. Ia tak bisa mendengar percakapan kedua gadis itu namun ia bisa tahu ke arah mana pembicaraan mereka hanya dengan menatap raut wajah Adel yang tampak khawatir.
"Sial." Tristan menggenggam kuat pulpen di tangannya. Demi apapun dia tak akan pernah mengampuni Axcel setelah semua kekacauan yang dia lakukan, terutama setelah dia memukul wajah Keanna hingga membiru seperti itu.
Di sisi lain, Tristan juga sedikit khawatir jika ternyata Ravano termakan oleh ucapan Axcel sewaktu di kantin. Bagaimana jika Ravano kembali tak mempercayakan Keanna padanya dan berniat menjauhkannya lagi seperti waktu itu?
Tristan saja dulu hampir merasa kepayahan untuk mendapatkan kepercayaan Ravano. Entah apa jadinya jika hal seperti itu kembali terjadi.
Apa yang harus Tristan lakukan? Haruskah dirinya memerintahkan teman-temannya untuk menyerang Taruna? Atau menyerang Axcel?
"Enggak. Mereka semua enggak seharusnya terlibat ini. Karena urusan Axcel itu sama gue dan bukan sama mereka." Tristan membatin.
"Tris, lo baik-baik aja?" Teman sebangkunya berujar.
Tristan mengerjap pelan kemudian mengangguk pelan.
"Gue gak liat kejadiannya sih. Gue juga gak tahu masalah kalian, tapi gue rasa lo agak tertekan sama apa yang dilakuin cowok kelas dua belas itu. Gue ikut prihatin sih pas denger kabar kalo Key juga kena pukul. Tapi, Tris, ketenangan itu penting. Lo harus belajar menenangkan diri karena gak semua masalah bisa diberesin pake emosi."
Ucapan itu membuat Tristan terdiam. Memang apa yang diucapkannya itu benar. Selama ini ia masih bisa menenangkan diri tapi setelah melihat bagaimana Axcel memperlakukan Key, itu membuat pertahanannya runtuh secara perlahan.
Kenapa dia bisa lengah seperti itu? Dia dengan mudahnya berpikir kalau masalahnya bersama anak-anak Taruna berakhir begitu saja, tanpa memikirkan mereka yang mungkin masih menyimpan rencana buruk padanya yang lebih parahnya lagi sampai melibatkan orang-orang terdekatnya.
Key mendongakkan kepala begitu melihat Tristan berjalan melewati mejanya dan keluar kelas.
"Tristan mau ke mana, Key?" tanya Adel yang juga menyadarinya.
"Entahlah. Palingan ke toilet," jawab Key seraya kembali melanjutkan kegiatannya.
"Lo gak khawatir dia pergi nyari Axcel?"
"Enggak, Del. Gue udah cukup tahu sifat Tristan sekarang. Meskipun sifatnya masih sebelas dua belas sama Ravano, tapi Tristan masih bisa ngendaliin diri, gak kayak Ravano yang gampang kepancing emosi."
Adel menatap Key yang masih menulis, kemudian ia menoleh ke belakang, tepatnya ke arah bangku milik Tristan yang kini dalam keadaan kosong.
"Lo kok bisa seyakin itu? Dia cowok lo, Key. Lo gak khawatir?" Adel kembali bertanya.
"Del, gue percaya sama Tristan kok. Justru gue lebih khawatir sama Ravano. Dia itu agak gampang dipengaruhi, gue justru khawatir kalo dia kemakan sama omongan Axcel tadi. Gue harap enggak sih, gue gak mau masalah yang dulu-dulu malah kejadian lagi. Kurang ajar emang si Axcel itu." Key mendengkus pelan.
Selang beberapa menit setelahnya, seseorang meletakkan s**u kotak tepat di halaman buku LKS milik Key. Gadis itu menatapnya sejenak kemudian mengangkat wajahnya dan menoleh ke belakang. Tristan tampak mendudukkan tubuhnya kembali.
"Gila, dia dari kantin?" Adel menatap s**u cokelat itu kemudian ikut menatap Tristan di belakang. "Untung aja gak ada guru yang lihat. Bisa-bisa dia kena masalah lagi," ujarnya lagi seraya menatap guru yang kembali masuk ke dalam kelas.
Key masih menatap Tristan, namun lelaki itu hanya mengangkat kedua bahunya seakan-akan tak melakukan apa-apa.
"Dasar." Key berdecak pelan kemudian kembali menatap s**u kotak itu. Ia menahan tawanya.
*
Langkah Key memelan begitu ia mendapati Ravano yang sudah menunggunya di bawah tangga. Gadis itu menatap Tristan dan Adel sejenak kemudian mendekati lelaki itu.
"Lo nungguin gue?"
"Hm. Ayo pulang." Ravano kemudian melangkah dari sana.
Kedua mata Key berkedip dua kali dan ia kembali menolehkan kepalanya pada Tristan. "Ta-tapi ... gue pulang sama Tristan, kan?" tanyanya dengan hati-hati.
"Iya, lo pulang sama Tristan," jawab Ravano tanpa menghentikan langkahnya.
Kedua sudut bibir Key kemudian naik secara perlahan dan ia bisa sedikit bernapas lega. Awalnya ia mengira kalau Ravano akan kembali melarangnya pulang bersama Tristan.
"Gue udah sempet mikir Ravano bakalan ngamuk barusan. Ternyata enggak." Adel berujar pelan.
"Hm. Gue juga udah mikir gitu, Del. Tapi syukurlah Ravano enggak marah, walau auranya agak beda sih." Key menatap Ravano yang berjalan di depan sana.
"Gue harap lo bener-bener gak kemakan sama omongannya Axcel ya, Rav," batin Key. Setelah semuanya sudah membaik, ia tak mau kembali menghabiskan waktunya dengan berdebat bersama Ravano. Ia tak mau hal itu terjadi lagi.
—tbc