Udara panas, bau keringat, kesal, takut, semua bercampur menjadi satu. Key tidak bisa berpikir jernih saat ini. Dia pasti sudah naik taksi atau ojek online sejak tadi jika saja dia cepat menemukannya dan ponselnya tidak kehabisan baterai. Sedari dulu dia tidak pernah memakai angkutan umum jika ke sekolah kecuali jika dia tidak sendiri, alasannya adalah selain rawan kejahatan, angkutan umum juga tidak jarang digunakan untuk tindakan b***t karena tempat yang begitu terbatas apalagi jika sedang penuh.
Key berkali-kali menarik ujung roknya dengan tangan agar menutupi kedua lututnya. Gadis itu mengutuk Silvi dalam hati. Jika saja bukan karena dia, Key tidak akan mengalami semua ini. Harusnya tadi dia memukul wajah Silvi dan mengusirnya dari motor Ravano.
"Ekhem!"
Key mengerjap saat beberapa siswa dari sekolah lain yang duduk di depannya berdeham dan tertawa pelan seraya menatapnya. Hal itu membuat Key risi, dia tidak mau lagi menaiki angkot jika sendiri. Apalagi di jam pulang sekolah. Selain karena banyak bebauan yang membuat perutnya bergejolak, dia juga agak takut apalagi jika isinya kebanyakan laki-laki. Seperti saat ini, hanya ada beberapa murid perempuan dan mereka bahkan sudah turun beberapa saat yang lalu.
Saat Key hendak memindahkan tasnya ke depan, seorang murid laki-laki yang duduk di sebelahnya tiba-tiba melepas jaket miliknya.
"Nih," ujarnya seraya memberikan jaket itu pada Key. Sementara Key hanya menatapnya tanpa berkedip. Mereka tidak kenal. Mau apa lelaki itu?
Orang itu tersenyum melihat reaksi Key. Secara mengejutkan, dia meletakkan jaket miliknya di atas paha Key hingga menutupi lutut gadis itu, membuat murid-murid jahil tadi mendengus sebal.
Key mengerjap. Lelaki itu masih tersenyum padanya. "M-makasih," ucap Key pelan.
"Lo baru pertama kali naik angkot?" tanyanya.
"Enggak sih. Tapi, ini pertama kalinya gue naik angkot sendirian. Biasanya sama temen." Key menatap jaket denim yang berada di pahanya.
Lelaki itu mengangguk pelan. "Lain kali, kalo mau naik angkot sendirian lagi, pastiin tas lo udah dipindahin ke depan dan pake buat nutup paha lo."
Kalimat itu membuat Key menoleh. "G-gue gak bakalan mau naik angkot lagi kok. Pokoknya ini yang terakhir." Key lalu membuang muka, membuat lelaki di sebelahnya itu terkekeh mendengar jawabannya yang terdengar cukup polos.
Tidak lama kemudian, angkot itu berhenti dan tanpa pikir panjang Key segera turun. Gadis itu membuang napasnya lega saat melihat angkotnya melaju menjauh.
"Sial. Hampir aja gue jadi korban pelecehan," gumamnya. Begitu hendak melangkah, dia tersentak begitu menyadari sesuatu lalu menatap tangannya.
Key menepuk jidat. Dia bahkan lupa mengembalikan jaket orang itu. Ditambah lagi, dia tidak tahu di mana lelaki tadi bersekolah.
"Gue gak harus naik angkot lagi kan, biar ketemu sama dia?" Key memijat pangkal hidungnya. Dia sudah membulatkan tekadnya agar tidak akan pernah naik angkutan umum satu itu. Tapi keadaannya justru sebaliknya. Dia tidak mungkin mengejar angkot tadi.
Akhirnya Key memilih pasrah. Dia sudah tidak mau naik angkot. Key berharap dia bertemu lagi dengan lelaki itu agar bisa mengembalikan jaketnya.
Kedua kaki Key berjalan memasuki halaman rumahnya dan dia melihat Ravano yang sepertinya juga baru sampai. Key meliriknya sekilas dan melanjutkan langkahnya.
Ravano dengan cepat segera turun dari motornya dan menahan tangan Key. "Lo gak apa-apa, kan? Lo barusan beneran naik angkot?"
"Menurut lo?" Key mendelik malas.
"Key, gue minta maaf. Gue juga tadi terpaksa. Silvi juga udah pasti gak bakalan mau kalo disuruh turun. Dan lagi gue gak mau urusannya makin panjang."
"Terserah."
Ravano menghela napasnya lalu matanya tidak sengaja melihat sesuatu yang berada di tangan Key. "Itu jaket siapa?"
Key menatap jaket di tangannya sekilas. "Oh, ini? Tadi ada yang ngasih ke gue."
Kening Ravano berkerut. "Ngasih ke lo? Maksudnya?"
"Menurut lo apa? Gue tadi di angkot terjebak sama murid-murid mata keranjang dari sekolah lain. Terus ada yang ngasih ini ke gue buat nutupin paha gue. Setidaknya dia lebih baik, dari pada lo yang ngebiarin gue naik angkot sendirian dan memilih nganterin tuh cewek."
"Gak gitu, Key. Gue tadi juga khawatir sama lo karena lo gak pernah naik angkot sebelumnya. Ditambah lagi HP lo gak aktif," jelas Ravano. Namun Key masih bergeming dan terlihat enggan peduli.
"Udah ah, gue capek." Key berjalan meninggalkan Ravano.
"Key, dengerin gue dulu." Ravano berusaha mengejar Key. Karin yang melihat perdebatan kecil itu langsung bertanya, "ada apa ini?" Dia menatap kedua anaknya bergantian.
"Ravano nyuruh aku naik angkot sendirian dan dia malah nganterin cewek lain," adu Key.
Kedua mata Karin mengerjap. "Cewek lain? Kamu punya pacar, Rav?"
Ravano tampak gelagapan. Dia menatap Key yang sudah menaiki tangga. "Enggak gitu, Ma. Ravano juga terpaksa karena disuruh."
"Marahin aja Ravano. Aku digodain banyak cowok pas di angkot. Untung mereka gak macem-macem," ucap Key sebelum tubuhnya menghilang di ujung tangga yang berbelok ke kamarnya. Hal itu semakin membuat Ravano salah tingkah, apalagi saat Karin menatapnya seolah meminta penjelasan.
"Ma, aku bisa jelasin." Ravano segera angkat bicara. Dia tidak habis pikir, Key yang biasanya jarang mau bicara di rumah kini mendadak mengadu pada mamanya. Semarah itukah dirinya?
***
Key mengelus puncak kepala Irina ketika gadis kecil itu hendak masuk ke kamarnya. Setelah mengingatkannya agar membaca doa sebelum tidur, Key pun segera melanjutkan langkahnya ke kamar.
"Key!" Key berhenti dan membuang napas pelan. Gadis itu menoleh pada Ravano yang berjalan menghampirinya.
"Lo masih marah?"
"Nggak."
Kini giliran Ravano yang membuang napas. "Gue udah bilang sama lo kalo tadi itu gak sengaja. Gue juga khawatir sama lo."
"Gue bosen denger ucapan lo. Itu-itu mulu."
"Key." Ravano menahan pergelangan tangan Key ketika gadis itu hendak pergi. "Gue minta maaf."
"Rav—"
"Gue janji, pokoknya tadi itu yang terakhir. Mama nyuruh gue buat selalu jaga lo."
Kalimat itu lagi. Key mendadak bungkam. Kalimat Ravano benar-benar tidak tepat. Kenapa dia harus mengungkit hal itu lagi di saat seperti ini?
"Ekhem!" Keduanya tersentak dan secara reflek melepaskan tangan mereka yang saling bertaut.
Ravano menunduk saat Handoko dan Karin menatap ke arahnya dan Key. Sementara gadis itu membuang pandangannya ke arah lain.
"Sedang apa kalian? Ini sudah malam. Kalian harus tidur." Handoko menatap kedua remaja itu bergantian.
"I-iya, maaf, Pa." Ravano berkata lirih. Dia lalu menatap Key. "Sleep well, Keanna." Lelaki itu tersenyum tipis dan pergi ke kamarnya. Kalimat Ravano terdengar begitu lirih, hampir tidak terdengar.
"Key? Kenapa masih diem?" tanya Handoko. Key tersadar dari lamunannya dan langsung masuk ke kamar. Kedua matanya mengerjap sesaat setelah menutup pintu.
Sudut bibirnya perlahan membentuk lengkungan ke atas. "Sleep well, Ravano."
Namun hal itu tidak berlangsung lama karena senyuman Key kembali menghilang.
Di luar kamar, kedua orang tuanya terlihat masih berada di sana. Handoko menghela napas sebelum akhirnya berucap, "mereka berdua tidak bisa seperti ini terus."
"Tapi aku yakin, semuanya bisa kembali seperti semula. Perlahan, perasaan mereka akan memudar satu sama lain. Semuanya hanya soal waktu. Mereka akan terbiasa," ucap Karin.
"Tapi ini sudah cukup lama." Handoko memijat pangkal hidungnya. "Apa sebaiknya ... Aku pindahkan saja Key ke sekolah lain?"
Kedua mata Karin mengerjap dan dia langsung memegang lengan suaminya.
— To be continued