Kai dalam suasana hati yang baik, dia merasa bahagia. Nisa dan Andi menyadari hal tersebut. Dia sudah menanyakan hal ini tadi pagi, dan Kai hanya menjawab dia hanya agak lebih bersemangat. Benar-benar aneh untuk melihatnya terlalu sering tersenyum.
Kai pergi ke toilet untuk urusan mendesak, saat sampai ke bilik dia langsung menyelesaikan kebutuhan urusan mendesaknya. Dia melihat seseorang berdiri di sebelahnya untuk urusan yang sama. Saat akhirnya selesai, barulah dia menyadari orang di sebelahnya tidak lain adalah papanya Anima. Tuan Galih Lampauta.
Dia tersenyum menyapa saat tanpa sengaja bertemu tatap dengannya. Galih membalas dengan anggukan, tapi wajahnya masih datar saja. Mengingatkan Kai pada seseorang.
Saat sedang mencuci tangan, Galih mendapatkan telepon. Kai tahu tidak sopan untuk mendengarkannya berbicara, jadi dia buru-buru menyelesaikan cuci tangan. Tapi apa yang didengarnya membuatnya menghentikan langkah mencapai pintu.
"Jangan terlalu gegabah. Aku akan bicarakan tentang pernikahan tersebut pada Anima. Dia berhak tahu sebelum kita memutuskan!" Galih tampak sabar menjelaskan.
Di sisi lain, Kai merasa sesak saat mendengarnya. Anima benar, dia tidak bercanda tentang pernikahannya. Pantas saja dia gelisah akhir-akhir ini. Memikirkan ini, dia juga sedikit kecewa.
Dia menyukai kebersamaannya, meskipun Anima adalah sosok yang dingin, tapi sebenarnya dia perhatian. Akankah dia rela melihatnya bersanding dengan pria lain. Lagi pula, dia tidak memiliki hak apapun untuk memintanya untuk tidak melakukan pernikahan tersebut.
Bruk
"Hei, jangan melamun!" Tama menegur Kai yang berjalan sambil melamun.
Kai juga baru tersadar saat dirinya goyah akan terjatuh. Dia melihat orang yang ditabraknya.
"Maaf, Pak! Saya tidak sengaja!" Kai benar-tidaknya tidak enak, apalagi melihat wajah datarnya yang santai tapi membuat lawan bicaranya bingung dengan reaksinya.
Tama mengabaikan dan langsung melanjutkan langkahnya begitu saja. Dia bukan orang yang suka memperbesar masalah. Lagi-lagi, sikapnya mengingatkan dengan seseorang. Kai merasa mungkin dia hampir gila jika terus membayangkan sosoknya seperti ini.
"Ada apa?" tanya Andi melihat rekannya tidak seceria tadi, bahkan wajahnya agak terlihat sedih.
"Tidak!" Kai menjawab pelan, dia melanjutkan pekerjaannya.
Andi dan Nisa saling menatap, dia seperti cuaca yang tiba-tiba berubah dalam sekejap. Tadinya terlalu bersemangat, sekarang jadi lesu.
"Kalian sudah mendapatkan instruksi bukan tentang acara besok? Ambil daftar tamu dari pihak penyelenggara. Pastikan tidak ada kesalahan!" Pak Rudi mengingatkan kembali, dia sangat sibuk, harus memastikan banyak hal.
Besok ada tamu yang akan mengadakan acara di resort tersebut. Hari ini pada tamu undangan akan datang untuk menginap sebelum acara besok. Resort Anima ini memiliki kelas terbaik dari jajaran Resort lainnya, sehingga hanya orang-orang tertentu yang dapat memiliki budget cukup untuk menyelenggarakan acara di sana.
"Baik, Pak!" Nisa menjawab. Pekerjaan mereka sangat banyak hari ini, menerima daftar tamu yang akan menginap, dan besok juga untuk daftar tamu acara.
"Nona Anima benar-benar hebat. Kudengar di resort utama juga sedang ada acara besar. Orang-orang kaya benar-benar pandai menghabiskan uang. Mengadakan acara besar dengan menyediakan kamar menginap juga!" Andi agak iri dalam nadanya, dia sudah bekerja keras, tapi jangankan menginap di hotel atau resort, untuk bisa membayar apartemen saja dia cukup bersyukur.
"Jangan mengeluh. Setidaknya dari mereka kita bisa mendapatkan gaji yang layak. Semakin maju Resort ini, semakin baik untuk pegawainya!" Nisa menanggapi dengan dewasa.
Kai tersenyum melihat ungkapan positif Nisa. Dia awalnya juga insecure, apalagi jika memikirkan tentang Anima. Tapi lagi-lagi Nisa mengingatkan agar bersyukur dengan semua yang bersifat positif, dapat melegakan.
Di ruangannya, Anima masih terlibat pembicaraan serius dengan papanya. Dia tidak banyak bicara, dan hanya mendengarkan apa yah diucapkan oleh papanya.
"Kau dapat memikirkannya. Papa dan mama akan menunggu!"
Galih menatap putrinya lembut, papa mana yang tidak merasa bangga melihat kesuksesan putrinya, melihatnya hidup dengan baik adalah kelegaan bagi orangtua. Dan dia akan melakukan yang terbaik untuk memilihkan calon yang cocok untuk Anima. Dia tidak akan mau melihat putrinya tidak bahagia setelah menikah.
Semua orangtua tidak ada yang ingin anaknya tidak bahagia. Itulah yang dilakukan orangtua Anima. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja kadang orangtua lupa, kalau hanya anak-anak yang merasakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
"Bisakah Anima menolak untuk menerimanya?" Anima berusaha menekan amarahnya.
Dia masih sangat menghormati orangtuanya. Tidak pernah terpikir untuk menyakiti hati mereka, tapi bagaimana dengan hatinya.
"Nak, kau sudah dewasa. Kami tidak lagi muda, tidak tahu kapan waktu yang tersisa bagi semua orang. Biarkan kami memilihkan laki-laki yang baik untukmu! Kami ingin melihat cucu kami lahir darimu, bahkan kakekmu juga masih ingin melihat kau menimang anak di akhir usianya. Papa tahu kau mungkin masih ingin menikmati waktu sendiri, tapi pikirkan kakek, kami hanya memiliki kamu sebagai penerus!" Galih tidak pernah meminta sesuatu dari putrinya, ini pertama kalinya dia berbicara panjang dan mengutarakan keinginannya.
Anima dalam dilema. Dia melihat wajah papanya. Laki-laki yang telah dengan sabar mendidiknya. Memberikannya kebebasan untuknya menentukan cita-cita.
Bisakah dia melihat kekecewaan di wajahnya?
"Anima tidak bisa bilang tidak. Maka tidak ada yang bisa dikatakan!" Anima menjawab dengan keengganan. Dia menahan semua yang ingin dia katakan, karena hanya akan sia-sia.
Tama melihat Tuan Lampauta baru saja meninggalkan ruangan. Dia akan membawa laporan dari semua persiapan dari acara besok. Tapi begitu akan masuk, dia mendengar suara keras barang pecah.
Saat masuk, dia melihat laptop mahal yang paling penting untuk bosnya itu sudah hancur mengenaskan. Dia masih terlihat tenang, saat berdiri tudak jauh dari darinya.
"Lain kali, laporkan lebih dulu sebelum membiarkan papa atau mamaku menemuiku di jam kerja!" tegur Anima dengan nada dingin pada Tama, tanpa menoleh ke arahnya.
"Baik, nona. Apakah Tuan masih mengejar masalah pernikahan? Kenapa nona tidak menyewa seseorang orang untuk menjadi kekasih anda. Itu bisa menunda rencana pernikahan yang mereka inginkan!" Tama yang memang sudah tahu masalah tersebut, dan Anima memang sering mendiskusikan masalah apapun padanya, dia tidak canggung membicarakannya.
"Itu hanya akan membuat semuanya semakin buruk. Mereka pasti akan memastikan kekasih yang kukenalkan cukup layak di mata mereka!"
Anima berasal dari keluarga terpandang, tidak hanya kaya raya, tapi juga memiliki nama besar yang akui keberadaannya. Siapa yang benar-benar layak, kecuali dia seperti Anggar Anggoro atau Titan Barel. Alan sulit untuk bisa terhindar dari pernikahan, dan Anima benar-benar tidak ingin memilikinya.
"Suruh seseorang membawakan kopi!" Anima duduk di kursinya, dia akan melanjutkan pekerjaan, saat melihat laptopnya sudah rusak dalam keadaan mengenaskan di lantai.
"Belikan aku laptop baru juga!" Anima memijit pelipisnya, dia penuh tekanan.
Tok tok
Tama yang akan keluar membukan pintu. Dia melihat sekertaris Anima membawakan buket bunga besar yang sangat cantik.
Mengecek nama yang tertera, dia menyunggingkan senyum dan menyerahkan buket bunga pada Anima. Bosnya itu melihat kartu ucapan yang tertera nama seseorang.
"Semoga ini bisa menghiburmu!"
Titan Barel
Anima sedikit mengernyitkan keningnya. Laki-laki itu selalu tahu apa yang dipikirkan seseorang dari hanya melihatnya. Tapi kenapa dia bisa tahu, saat mereka bahkan terakhir bertemu saat acara jamuan makan di rumah besar Lampauta.
"Bagaimana jika kita dia saja. Nyonya dan Tuan pasti akan menyukai seorang Titan Barel. Akan lebih bagus lagi kalau anda dan dia terlibat perasaan?" Tama tahu Titan agak menakutkan, tapi caranya berbicara sangat mengesankan di matanya.
"Jangan banyak bicara. Kau salah menilainya jika kita pikir dia juga orang yang akan bisa diajak dalam drama keluarga seperti itu. Sama sepertiku, dia tidak suka pernikahan. Apakah menurutmu kami akan berakhir baik?" Anima menyeringai membayangkan sosok dingin dari seorang Titan Barel.
Tama menggeleng, dia tidak akan bisa membayangkan betapa mengerikan jika nona Anima benar-benar bersama Titan Barel.
Dia segera pergi, karena ikut merasakan tekanan yang dirasakan bosnya. Belum ada jalan keluar yang dapat dia pikirkan.
Di dalam ruangan, Anima mendesah sambil mengusap perutnya. Pandangannya jatuh memperhatikan perutnya yang masih rata.
__