"Beri aku anak, maka aku akan membiayai semua pengobatan ibumu!"
Kai masih terngiang oleh kalimat itu. Dia sedang berjalan gusar menuju rumah sakit. Masih sulit mempercayai apa yang ditawarkan bosnya.
Dia laki-laki normal. Bosnya itu cantik, cerdas dan memiliki kekuasaan. Tidak ada yang kurang darinya. Tapi kenapa wanita itu menginginkan anak dari orang rendahan sepertinya?
Bukan hanya itu yang membuat Kai jadi tidak tenang. Bosnya menawarkan banyak uang demi mendapatkan benih darinya. Tapi semua itu tanpa ikatan pernikahan.
Bukankah itu gila?
Sebenarnya dia merasa seperti menjual keperjakaannya kalau menerima tawaran tersebut. Tapi sekarang ini dia sangat butuh uang untuk ibunya. Jika menolak, dia harus siap untuk melepaskan pekerjaannya. Dan jika menerima, dia akan berada dalam keadaan yang canggung.
Sebenarnya Kai bingung. Kenapa bosnya itu tidak menikah saja. Proses yang benar adalah menikah, lalu memiliki anak. Dia cukup yakin, di luar sana ada banyak laki-laki yang layak untuk mendampingi bos-nya. Tapi kenapa malah bos-nya memilih jalan ini?
Sampai di depan ruangan ibunya, Kai melihat wanita itu sedang berbincang dengan adiknya. Di keluarganya, Kai lah yang harus menopang kehidupan ibu dan adiknya. Karena ayahnya sudah saja meninggal beberapa tahun silam.
"Assalamualaikum!" Kai menyapa dengan senyum lebar.
"Wallaikumsalam, abang kok pulangnya lebih cepet dari kemarin-kemarin?" tanya Dika pada kakaknya.
"Ya dong. Bos kakak izinin kakak pulang cepet," ucap Kai yang sebenarnya, dia menoleh pada ibunya yang juga sedang menyimak obrolannya dengan sang adik. "Ibu hari ini gak kesakitan lagi kan?"
Ada raut kecemasan dalam wajah Kailan. Karena dia takut, ibunya kesakitan sendirian. Adiknya sekolah dan baru pulang jam dua siang, sedangkan dia pulang sore. Dan kadang, di malam hari dia akan menjaga toko untuk tambahan penghasilannya. Tidak ada yang akan menjaga ibunya di pagi hari.
Hatinya ikut sakit melihat ibunya berbaringlah lemah menahan sakit yang menggerogoti tubuhnya sejak beberapa tahun lalu.
"Ibu baik. Ada perawat yang jagain ibu. Kamu gak usah terus-menerus khawatir. Pikirkan tentang kesehatanmu juga!"
Ibu mana yang tidak merasa sedih, saat melihat putranya berjuang keras demi biaya pengobatannya. Badan yang semakin kurus dan wajah yang selalu tampak lelah.
"Kakak makanlah dulu. Tadi Dika bawa makanan dari rumah!" Dika menunjuk bungkusan plastik yang berisi kotak bekal kecil, yang tadinya ingin dia makan sambil menemani sang ibu.
"Lo masak apa?" Kai menghampiri bungkusan plastik tersebut.
Dika menggaruk belakang kepalanya. Dia tidak pandai memasak. Dan tentu saja, yang paling mudah adalah menggoreng telur dadar. Itupun akan ada jejak gosong karena kesulitan membaliknya.
Kai membuka tutup bekalnya, dan melihat nasi dengan telur dadar di atasnya. Dia menahan senyum karena telurnya bewarna agak gosong.
"Makan aja! Kakak tadi udah makan kok!" Kai mengulurkan kotak bekal tersebut.
Dia tidak bohong, karena di tempat kerja, dia memang sudah makan di kantin. Setiap pekerja memang mendapatkan jatah makan siang. Lauknya juga enak, kadang Kai akan merasa tidak enak, kalau dia bisa makan daging atau kadang ayam goreng, sedangkan adiknya hanya makan seadanya dengan telur dadar.
"Yakin? Dika gak akan sungkan loh!" Dika meraih kotak bekal itu, dia memang sangat lapar.
Kai menoleh pada ibunya yang meneteskan air mata. Dia mendekatinya, mencium kening sang ibu dan mengusap rambutnya lembut.
"Jangan nangis. Kai yakin, nanti ibu akan sembuh. Dan bisa masak untuk kami lagi!" Kai meyakinkan dirinya sendiri, selama dia masih sehat, dia akan terus berjuang untuk mereka.
Kembali teringat dengan tawaran bosnya. Kai melihat kesungguhan dari mimik wajah bosnya saat menawarkan hal tersebut. Dia meminta waktu hingga esok hari untuk menjawabnya. Karena masalah keuangannya sedang sangat sulit. Padahal, hari nuraninya berteriak agar dia menolak, tapi pikirannya masih bimbang.
"Kamu mikirin apa?" tanya sang ibu menggenggam tangannya.
Kai menggeleng. Dia tahu, ibunya mungkin akan marah jika dia menerima tawaran tersebut. Karena berhubungan tanpa menikah adalah dilarang. Dan dia malah masih ragu dan berniat mempertimbangkan dulu.
Di apartemen, Anima merasa badannya sedang tidak enak. Dia memasak mie untuk makan malam. Karena ternyata tidak ada makanan lainnya yang bisa langsung dimakan. Dan dia juga sedang malas order makanan.
Setelah mie-nya jadi, dia memindahkan ke dalam wadah. Mengambil sendok, Anima akan bersiap menyantapnya. Saat bel apartemennya berbunyi.
Menghela nafas panjang, Anima beranjak dari duduknya. Dia berjalan lemas menuju pintu. Mengecek lewat layar, dia melihat laki-laki yang berdiri membelakangi pintu. Melihat siluetnya, Anima tidak mengenali sosok itu.
Dia meraih pukulan di samping pintu, berjaga-jaga, jika nanti tamunya itu mungkin orang jahat. Memasukkan sandi pintunya, Anima membuka pintu itu perlahan.
Anima mematung melihat tamu yang berdiri di depan pintunya. Sama seperti Anima, Kai yang langsung membalik tubuhnya juga terkejut melihat bosnya membawa pukulan di tangannya.
"Assalamualaikum!" Kai tersenyum canggung karena melihat penampilan bos-nya yang hanya mengunakan dress mini. Memamerkan paha putih mulus, dan bahu yang terbuka.
"Masuk!" Anima tidak menjawab salam Kai, dia mempersilahkan pegawainya itu masuk.
"Aku tidak mengira kau akan datang secepat itu!"
Anima memang memberikan alamat apartemennya, jika saja Kai sudah memiliki jawaban atas tawarannya. Dia tidak mengijinkan seseorang tahu tentang masalah ini, jadi menyuruh Kai datang ke apartemennya, agar lebih privasi
Kai menggaruk belakang kepalanya. Berjalan mengikuti langkah Anima dari belakang. Dia tidak dipersilakan duduk, jadi memilih mengikutinya.
Sampai di dapur, bos-nya itu ternyata sedang makan. Artinya, kedatangannya mengganggu waktu makan bos-nya.
"Duduklah!" Anima menunjuk kursi di depannya.
Dia sendiri langsung melanjutkan kegiatan makannya. Mengunyah makanannya dengan malas, Anima melirik laki-laki yang duduk di depannya.
Penampilannya sederhana, tapi karena wajahnya sudah tampan, membuatnya jadi tampak cukup enak dipandang. Gaya rambut yang agak berantakan, dan tatapan teduh tanpa keangkuhan. Anima benar-benar merasa kalau laki-laki ini adalah kandidat yang cocok untuk jadi calon ayah anaknya.
Sama seperti Anima, Kai juga sedang memperhatikan penampilan Anima yang terbuka. Dia ingin mengalihkan pandangannya, tapi pemandangan di depannya sulit untuk diabaikan.
Gaya makan Anima yang tetap angkuh meski terlihat malas-malasan. Rambut panjangnya diikat asal. Tidak ada riasan di wajahnya. Tapi sudah terlihat sangat cantik dan berkelas. Membuat nyalinya jadi menciut.
"Jadi apakah kau menerimanya?" tanya Anima yang baru saja menggeser mangkuk mie yang masih tersisa setengah.
Kai masih terlihat gusar. Dia terlihat sedang berpikir keras. Padahal sebelum datang, dia sudah membulatkan tekadnya. Tapi bukan hal mudah untuk memutuskan.
"Aku akan melakukannya, tapi aku mau namaku tercantum dalam akte lahirnya nanti!"
Anima terkejut, karena pegawainya itu sudah memikirkan sejauh itu. Tapi jika mereka tidak menikah, kenapa dia akan mencantumkan namanya dalam akte lahir? Mempertimbangkan hal tersebut, Anima akan menyetujuinya dengan beberapa syarat menyertainya.
"Aku tidak akan mau melakukan bayi tabung. Jadi kita harus melakukannya secara alami. Dan tidak ada yang boleh tahu tentang siapa ayah bayiku nanti!" Anima mengambil resiko besar untuk masalah ini, jadi dia harus memastikan tentang kerahasiaan identitas ayah bayi.
Kai jadi gugup, dia takut apa yang tidak dia putuskan ini akan menjadi masalah di masa depan.
___