BSC 5

1119 Words
Langkah Sheina terlihat begitu tergesa. Untung saja sore itu bagian intinya tidak terlalu sakit lagi sehingga ia tidak begitu kesulitan untuk berlari di koridor rumah sakit. "Kondisi ibu Anda kritis. Tadi ia kembali mencoba mengakhiri hidupnya," ujar dokter yang biasa menangani sang ibu melalui sambungan telepon. Sheina yang saat itu baru saja hendak pulang bekerja sontak terkejut. Padahal sepulang bekerja ia hendak berbicara dengan Chessa. Chessa sejak tadi sudah menuntutnya untuk berbicara. Chessa bukanlah perempuan bodoh yang tidak bisa membaca arti gestur tubuh Sheina. Sebab ia pun pernah merasakannya dulu saat pertama kali bercinta dengan kekasihnya. Jadi ia sangat tahu apa yang terjadi pada Sheina. Namun, yang jadi pertanyaan, dengan siapa Sheina melakukannya? Bukan bermaksud ikut campur. Mungkin kalau Sheina seperti itu di luar jam bekerja, mungkin ia akan mengira kalau Sheina melakukannya dengan kekasihnya. Tapi ini berbeda, mereka di tempat kerja dan kekasih Sheina tidak bekerja di sana. Jelas saja Chessa heran. Apalagi Chessa sangat tahu, Sheina begitu setia dengan kekasihnya, jadi mana mungkin ia melakukan itu dengan laki-laki lain, bukan. Namun, karena telepon dari rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat membuat Sheina terpaksa menunda rencananya itu. Chessa mengerti. Ia pun membiarkan saat Sheina harus segera pergi ke rumah sakit jiwa untuk melihat kondisi sang ibu. Dengan nafas terengah, akhirnya Sheina tiba di rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat. Ibunya sudah dirawat di sana sejak beberapa tahun yang lalu. Lebih tepatnya sejak ibunya mengetahui hubungan terlarang ayahnya dengan adiknya sendiri. Yang semakin membuatnya sakit, ternyata hubungan mereka sudah berlangsung lama. Ibunya bahkan baru tahu kalau keponakannya yang sangat ia sayangi ternyata anak suaminya sendiri. Hati ibunya hancur. Semakin hancur saat orang-orang terdekatnya justru mendukung hubungan keduanya. Ibunya yang selama ini berjuang untuk membahagiakan keluarga justru ditikam dengan belati tajam tepat di relung hati terdalam. Ibu Sheina jatuh sakit. Ia jadi sering melamun. Terkadang ia menangis kemudian tertawa sendiri. Tak jarang pula ia mengamuk membuat Sheina yang saat itu masih remaja benar-benar sedih. Sang ayah kemudian dengan tanpa perasaan memasukkan ibunya ke rumah sakit jiwa. Sheina remaja tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk menentang. Pernah ia protes, tapi sang ayah justru mengurungnya berhari-hari tanpa memberinya makan. Sejak itu, Sheina akhirnya hanya bisa bungkam. Bahkan saat ayahnya lebih menyayangi saudari tirinya dibandingkan dirinya, ia lagi-lagi hanya diam. Sheina hanya bisa menangis dalam diam. Berpikir, kenapa sikap ayahnya begitu kejam pada ia dan ibunya. "Dok, bagaimana keadaan ibu saya sekarang?" tanya Sheina dengan nafas terengah. Dokter yang menangani ibu Sheina menghela nafas panjang. "Syukurlah, keadaan ibu Anda sudah stabil. Beruntung ada yang melihat saat ibu Anda menenggak racun serangga jadi kami bisa segera menanganinya," papar dokter tersebut. Dahi Sheina mengerut. "Racun serangga? Bagaimana bisa di sini ada racun serangga?" "Saya juga tidak tahu. Tadi saat suster menemani ibu Anda ke taman untuk berjemur, tiba-tiba ia sakit perut. Berpikir tempat itu aman, ia pun meninggalkan ibu Anda sebentar. Tapi saat kembali, di saat bersamaan ibu Anda sedang menenggak racun serangga yang entah dari mana datangnya," papar dokter tersebut. "Apa Anda sudah mengecek rekaman cctv di taman itu?" Dokter itu mengangguk. "Sayangnya kamera yang menyorot langsung ke taman belakang tidak berfungsi sehingga kami tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya." Tangan Sheina seketika terkepal erat. "Bagaimana bisa rumah sakit sebesar ini bisa seceroboh itu? Kamera pengawas rusak? Dok, saya membayar mahal-mahal perawatan ibu saya di sini untuk kesembuhannya. Tapi apa ini? Sudah bertahun-tahun, jangankan sembuh, ibu saya justru semakin terlihat seperti kehilangan pikirannya. Dan sekarang diperparah dengan keamanan yang tidak terjamin? Di rumah sakit sebesar ini, kamera pengawas rusak lalu entah dari mana ibu saya mendapatkan racun serangga? Sementara ibu saya saja selama bertahun-tahun hanya bisa duduk di kursi roda. Apa seperti ini pelayanan rumah sakit ini? Kalau kalian tidak bisa bekerja dengan baik, lebih baik saya memindahkan ibu saya ke rumah sakit lain saja," tegas Sheina. Bagaimana ia tidak marah, keselamatan ibunya kini terancam. Entah darimana ibunya bisa mendapatkan racun serangga. Asumsinya, pasti ada yang sengaja memberikannya, tapi siapa? Dokter itu jelas gelagapan. Ia terkejut bukan main dengan apa yang Sheina katakan. "Maafkan atas keteledoran rumah sakit kami. Kami berjanji akan lebih baik lagi ke depannya." "Apa Anda pikir saya masih bisa percaya dengan rumah sakit ini? Bukan sekali, tapi berkali-kali. Dan kalian selalu memberikan alasan yang tidak masuk akal." Memang apa yang ibu Sheina alami bukanlah sekali. Pernah ibu Sheina hampir mengiris pembuluh darahnya sendiri dengan pisau cutter yang entah ia dapatkan dari mana. Pernah juga ia keracunan karena menenggak desinfektan. Hampir mati kehabisan nafas karena alergi yang dipicu oleh makanan. Dulu ibunya meskipun divonis mengalami gangguan mental, ia masih bisa mengenali dirinya. Tapi makin hari kenapa ingatan ibunya semakin menghilang saja. Ia bahkan tidak bisa mengenali Sheina sama sekali. Kesal dengan keamanan rumah sakit yang justru tidak menjamin keselamatan ibunya, Sheina pun mendatangi petugas untuk menanyakan prosedur transfer pasien. Beberapa waktu lalu memang Sheina sudah mencari tahu rumah sakit jiwa lain yang memiliki track record pengobatan terbaik. Sebagai seorang anak tentu ia ingin melakukan yang terbaik untuk sang ibu agar ia bisa segera sembuh seperti sedia kala. Namun, Sheina harus menelan kekecewaan saat mengetahui kalau yang berhak melakukan prosedur transfer pasien adalah ayahnya sebab ialah yang memiliki kuasa atau wali bagi sang ibu. Dengan perasaan tidak menentu, Sheina pun akhirnya memilih pulang ke rumah yang sudah hampir dua tahun ini ia tinggalkan. Ia ingin menemui sang ayah agar memberikan izin baginya untuk memindahkan sang ibu ke rumah sakit lain. *** Sementara itu, di Kenz Hotel, sejak tadi Devon diam-diam memerhatikan wajah Kenzio. Ia tampak tenang sekali bahkan cenderung lebih bersemangat. Sungguh tidak seperti biasanya. Devon sedari tadi was-was kalau Kenzio akan mengamukinya karena tidak menyediakan wanita yang ia pinta kemarin. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kenzio justru bersikap biasa. Padahal biasanya bila ia tidak menuruti permintaannya, maka ia pasti akan mengamuk bahkan tak segan melemparnya dengan apa saja yang ada di dekatnya. Memang seemosional itu Kenzio sekarang. "Sepertinya kau bersemangat sekali hari ini. Padahal baru kemarin kau putus asa seperti orang yang akan menghadapi hukuman pancung," cibir Devon seraya meletakkan map berisi perjanjian kerja sama dengan pihak Heaven Hotel. Kenzio melirik tajam. Namun tidak bersuara. "Oh, ya, apa wanita semalam ada menghubungimu?" Tanya Kenzio tiba-tiba. "Wanita semalam? Maksudmu?" Kenzio berdecak kesal. "Wanita semalam. p*****r itu. Apa dia ada menghubungimu lagi?" Devon jelas saja kebingungan. Kerutan di dahinya sampai terlihat jelas karena bingung. "Kenz, apa kau bermimpi? Aku semalam tidak jadi membawakanmu wanita sebab Madam Lin ditangkap polisi karena kasus prostitusi. Karena kau tidak menghubungiku, aku pikir kau ketiduran karena mabuk." Kenzio jelas saja tersentak. Ia menoleh ke arah Devon dengan tatapan tajam. "Jadi semalam kau benar-benar tidak membawakan wanita untukku?" Meskipun takut, Devon tetap jujur dan menganggukkan kepalanya. Kenzio terperangah. "Kalau bukan p*****r, lantas siapa perempuan yang tidur denganku semalam?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD